tirto.id - Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Prof Amin Soebandrio mengusulkan sebuah sebuah konsorsium lembaga riset kesehatan untuk pengembangan vaksin Corona COVID-19.
Cara ini, kata dia, akan mengatasi ego sektoral, sehingga bisa menyatukan visi dan misi untuk pengembangan vaksin.
Hal itu diperlukan karena saat ini ada tim yang diajak terlibat oleh masing-masing kementerian. Ia menyebutkan, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Riet dan Teknologi telah mengundang perguruan tinggi untuk bergabung dalam riset pengembangan vaksin.
"Buat konsorsium supaya tidak ada dualisme karena Kemenkes juga mengundang perguruan tinggi, Kementerian Riset dan Teknologi juga mengundang perguruan tinggi kan, tidak perlu ada kompetisi yang seperti itu, mendingan kan menjadi konsorsium. Itu yang yang mau dibentuk," kata Amin, dikutip dari Antara, Kamis (12/3/2020).
Dalam proses pembuatan vaksin ada tahapannya. Untuk saat ini, Eijkman telah menyampaikan keinginan pembuatan vaksin kepada Kemenristek lewat konsorsium yang diusulkannya. Sesuai arahan Kemenristek, kata Amin, Eijkman yang akan memimpin konsorsium. Namun, masih menunggu respons dari Kemenkes. Bila disetujui, berlanjut pembuatan proposal yang ditargetkan rampung tahun ini.
Ia yakin Indonesia mampu mengembangkan vaksin Corona COVID-19, karena sumber daya manusia memadai. Kendalanya, kata dia, pada dukungan pendanaan.
Menurut Amin, kebutuhan dana untuk seluruh proses pengembangan vaksin diperkirakan menelan dana hingga Rp1 triliun.
"Normalnya, itu bisa ratusan miliar rupiah bisa sampai Rp1 triliun," kata dia.
Pembuatan vaksin, kata dia, memang mahal, karena meliputi tahapan dan pengujian yang melibatkan hewan hingga manusia. Urutannya vaksin dikembangkan di laboratorium, lalu vaksin diberikan ke industri untuk memformulasikannya hingga siap digunakan manusia.
"Siap diberikan ke manusia itu belum langsung bisa dijual karena harus diuji dulu ke manusia dalam jumlah kecil untuk melihat manfaat dan efek sampingnya," kata Amin.
"Setelah itu, promising [menjanjikan] baru studi skala besar. Itu biayanya mahal sekali dan butuh waktu lama. Pengujian di lapangan, artinya clinical trial-nya [uji klinis], bisa lebih panjang daripada pengembangan di laboratoriumnya," lanjutnya.
Penulis: Zakki Amali
Editor: Abdul Aziz