Menuju konten utama

Pengamat Menilai Investor Listrik Asal Cina Bermasalah

Sejumlah pengamat dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menilai pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt oleh syarat masalah. Bercermin dari pengalaman di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, investor listrik asal Cina tersebut menimbulkan banyak pesoalan. Namun kini pemerintah dinilai justru memuluskan jalan bagi investor tersebut memenangkan tender.

Pengamat Menilai Investor Listrik Asal Cina Bermasalah
(Ilustrasi) Pekerja memperbaiki jaringan listrik untuk rumah tangga. Antara foto/Ari Bowo Sucipto.

tirto.id - Institute for Policy Studies (IPS) menilai Presiden Joko Widodo tak belajar dari kasus pembangkit listrik 10 ribu megawatt yang dibangun investor Cina. Padahal laporan Bappenas bahwa infrastruktur ketenagalistrikan yang dibangun investor Cina tidak sesuai harapan pemerintah.

"Proyek 10 ribu MW yang dibangun investor Cina di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membawa persoalan. Celakanya, proyek 35 ribu MW sekarang melibatkan kembali investor Cina," kata Pengamat Ekonomi Politik dari IPS Tarli Nugroho saat dihubungi, Jakarta, Senin (13/6/2016).

Seperti diketahui, Bappenas menyebutkan proyek pembangkit listrik yang dikerjakan oleh Cina telah selesai 90 persen. Namun, kapasitas produksi listriknya hanya 30-50 persen. Bahkan pembangkit listrik yang dibuat Cina masih kalah jauh dibandingkan dengan pembangkit listrik yang dibangun investor Jerman, Perancis dan Amerika Serikat yang kapasitasnya mencapai 75-80 persen.

Menurut Tarli, ada upaya Dirut PLN Sofyan Basyir untuk merancang aturan-aturan tender yang hanya memungkinkan investor Cina menang. Ini juga yang menyebabkan Komisaris Utama PLN Kuntoro Mangkusubroto mengundurkan diri.

Dia menilai hal itu merupakan sebuah masalah, apalagi melihat rekam jejak investor Cina sebelumnya sangat buruk. Aturan itu dibuat untuk kepentingan investor Cina dan menyingkirkan investor-investor lainnya seperti Jepang dan Jerman.

Aturan yang dirancang itu, misalnya, ada ketentuan mengenai jaminan rekening bank sebesar 10 persen dari nilai proyek. Ketentuan itu sangat besar dengan situasi perekonomian dunia seperti ini.

"Yang punya cash money adalah Cina. Secara tidak langsung aturan itu bisa dibaca bahwa ini disediakan untuk investor Cina," ungkap Tarli.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo pada tanggal 8 Januari 2016 lalu telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.

Perpres ini menegaskan, pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan melalui kerja sama penyediaan tenaga listrik dengan anak perusahaan PT PLN (Persero) dilakukan dalam hal adanya kerja sama antara PT PLN (Persero) dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) asing.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto mengatakan atas nama target pencapaian kebutuhan Listrik, Pemerintah melakukan program ambisius yakni menetapkan sebanyak 109 proyek masuk dalam program pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 Megawatt periode 2015 hingga 2019. Dari 109 proyek pembangkit berdaya total 36.585 MW yang akan dikerjakan dalam lima tahun ke depan, 74 proyek berkapasitas 25.904 MW di antaranya akan dikerjakan dengan skema pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP) dan 35 proyek lainnya berdaya 10.681 MW dikerjakan PLN.

"Target ambisius PLN hingga 2015 ternyata dilakukan dengan cara-cara yang tidak wajar. Proses pengadaan barang dan jasa melalui mekanisme penunjukkan langsung merupakan celah terjadinya kongkalikong dengan BUMN dengan investor, ataupun elit politik dengan elit bisnis," kata Yenny.

Karena itu, Fitra mendesak PLN menunda proses penunjukkan langsung ini dan disesuaikan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu, Peraturan BUMN tentang Keuangan Negara dan Aturan Pengadaan Barang dan Jasa. Kemudian pihaknya menolak liberalisasi kelistrikan yang seharusnya dikelola sepenuhnya oleh pemerintah, jika ini dilakukan maka tarif listrik akan lebih mahal, disesuaikan harga pasar dan berakibat pada subsidi yang dicabut, sehingga rakyat menjadi korban harga listrik yang mahal.

Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Agung DH