Menuju konten utama

Pengamat: Jokowi Harus Pimpin Pembangunan Industri Mobil Listrik

"Konduktornya harus presiden, tidak bisa Menperin, tidak boleh pak Jonan (Menteri ESDM). Menteri ESDM mengurusin industri mobil, kacau juga. Jangan seperti itu," ujar Faisal.

Pengamat: Jokowi Harus Pimpin Pembangunan Industri Mobil Listrik
Ilustrasi mobil listrik. iStock Editorial/Getty Images

tirto.id - Pengamat Ekonomi, Faisal Basri mengatakan Presiden Joko Widodo harus yang turun tangan sebagai konduktor untuk membangun industri mobil listrik (electric vehicles/EV).

"Konduktornya harus presiden, tidak bisa Menperin, tidak boleh pak Jonan (Menteri ESDM). Menteri ESDM mengurusin industri mobil, kacau juga. Jangan seperti itu," ujar Faisal di Kantor Pusat PLN Jakarta pada Selasa (10/7/2018).

Menperin diharapkannya dapat mendesak presiden mengambil posisi sebagai konduktor untuk menciptakan industri yang disebutnya sebagai new economy.

"Kita dorong lewat pak Airlangga, ayo pak presiden jadi konduktor mewujudkan new economy. Teman-teman industri harus cepat ketemu presiden," ujar Faisal.

Keterlibatan Jokowi, menurutnya, karena dalam proyek membangun new economy ini melibatkan banyak kepentingan. Ada Kemeterian Keuangan (Kemenkeu) sebagai pendukung fiskal, Kementerian ESDM sebagai pendukung sumber daya, PLN sebagai pemasok sumber daya melalui Stasiun Penyedia Listrik Umum (SPLU) yang didirikan.

Selain itu, ada Kementerian Perdagangan sebagai kontrol tata niaga, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai pengawas emisi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (Kemenristekdikti) sebagai pendukung pengembangan teknologi, dan Kementerian Perhubungan sebagai pengontrol operasional.

Selain presiden harus turun tangan, pemerintah harus memberikan intervensi lebih besar terhadap industri mobil listrik, seperti insentif tambahan sebagai instrumen fiskal bagi investor.

Hal itu karena new economy ini dipandang Faisal dalam jangka pendek kemungkinan menghasilkan private benefit lebih rendah dari pada private cost. Meski ke depan, social benefit lebih besar daripada social cost.

"Kita sadar kelemahan EV, yakni ongkos investasi yang tinggi dan kemampuan jarak tempuh yang relatif pendek. Karena itu, instrumen fiskal atau sistem insentif sangat penting," kata Faisal.

Menteri Perindustrian, Airlangga Hartaro pada Rabu (4/7/2018) telah menyampaikan pada 2025 ditargetkan ada 20 persen dari 2 juta pasar otomotif domestik diisi oleh produk EV, yaitu sekitar 400 ribu unit EV.

Faisal mengamini target tersebut untuk pemerintah berpacu menyiapkan diri mencapai target itu. Sebab, teknologi akan berkembang cepat.

Kajiannya, pada 2029 keberadaan mobil listrik dengan seluruh mobil konvensional sudah kompetitif.

"Karena itu pak Harjanto (Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian) dan semua teman di pemerintah harus betul-betul berpacu," kata Faisal.

Menurutnya, saat ini adalah waktu yang tepat untuk intensif memperhatikan proyeksi perkembangan industri mobil listrik.

"Momentumnya tepat karena sumber kerusakan rupiah adalah BBM, yang mana tidak ada jalan produksi minyak kita naik. Kita impor gila2-gilaan. Tahun ini defisit 8,1 miliar dolar AS, hanya untuk Januari-Mei. Jadi berat memang masalahnya. Ini jadi hikmah (fokus ke industri mobil listrik)," kata Faisal.

Sesuai dengan perjanjian Paris (Paris Agreement), Indonesia harus menurunkan produksi bahan bakar yang bermuatan emisi tinggi, seperti batu bara pembangkit tenaga batu bara, BBM jenis Solar dan Premium.

Baca juga artikel terkait MOBIL LISTRIK atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Otomotif
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yantina Debora