tirto.id -
Pajak Penghasilan (PPh) baru tercatat sebesar Rp376,2 triliun atau 42,07 persen, dengan rincian PPh Migas sebesar Rp30,16 triliun dan PPh non-migas sebesar Rp346,16 triliun.
Sementara dari jenis PPN dan PPnBM tercatat baru Rp212,32 atau 32,40 persen; serta PBB dan jenis pajak lainnya tercatat 14,79 atau sekitar 53 persen dari target.
Dilihat dari jenisnya, PPh Pasal 21 (karyawan) masih menjadi sumber utama pertumbuhan penerimaan pajak hingga Juni lalu. Penerimaan dari jenis pajak tersebut tumbuh double digits, yakni 14,93 persen (yoy) disebabkan kombinasi pembayaran bonus/THR Idul Fitri 1440H terhadap pegawai/karyawan dan baiknya kondisi pasar tenaga kerja.
"Hal ini sejalan dengan data BPS bulan Mei 2019, yang menunjukkan Upah Nominal Harian Pekerja/Buruh mengalami peningkatan baik tahunan (yoy) maupun bulanan (mom), mengisyaratkan tingkat utilisasi tenaga kerja sepanjang 2019 dalam kondisi sehat," catat Kementerian Keuangan dalam Laporan APBN KiTA yang dirilis Selasa (16/7/2019).
PPh Pasal 22 tumbuh 11,09 persen (yoy), terutama berasal dari potongan/pungutan atas penjualan energi listrik dan bahan bakar, yang didorong peningkatan konsumsi energi menjelang dan sepanjang bulan Mei, bertepatan dengan periode Ramadan– Idulfitri 1440H.
Sementara itu, PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi mengalami perluasan basis pembayar pajak dan peningkatan baseline setoran sebagai hasil dari program pengampunan pajak (tax amnesty), sehingga meskipun telah memasuki tahap normalisasi masih mampu mencatatkan pertumbuhan double digits 13,82 persen (yoy), baik dari setoran masa (bulanan) yang tumbuh 13,27 persen (yoy) maupun setoran tahunan yang tumbuh 15,29 persen (yoy).
Pajak korporasi atau PPh Pasal 25/29 Badan tumbuh 3,40 persen (yoy) atau melambat dibandingkan tahun lalu.
Hal ini disebabkan oleh tingginya pertumbuhan restitusi, yakni mencapai 17,20 persen (yoy); serta melambatnya pertumbuhan laba korporasi dibandingkan pertumbuhan tahun lalu, yang mengakibatkan penerimaan bruto hanya tumbuh 5,56 persen (yoy)---tidak setinggi tahun lalu yang mampu mencapai 10,73 persen (yoy).
"Demikian juga PPh Final yang tumbuh 3,63 persen (yoy), apabila restitusi dikecualikan dari perhitungan penerimaan, secara bruto masih mampu tumbuh 6,27 persen (yoy)," jelas Kemenkeu.
PPN Tergerus Restitutsi
Di sisi lain, PPn dalam negeri masih tergerus cukup besar karena adanya peningkatan restitusi dengan pertumbuhan negatif 2,90 persen (yoy). Namun, jika dilihat pertumbuhan bruto-nya (tidak termasuk restitusi) PPN Dalam Negeri sebenarnya mencapai 5,69 persen (yoy).
Senada dengan hal tersebut, pajak-pajak atas barang impor mengalami pertumbuhan negatif seiring turunnya impor nasional. Nilai impor Indonesia bulan Mei 2019 turun 5,62 persen (mom) dibanding April 2019, dan 17,71 persen (yoy) dibanding bulan Mei 2018.
Hal ini mengakibatkan penurunan PPn Impor dan PPnBM Impor masing-masing 2,10 persen (yoy) dan 1,90 persen (yoy).
PPh Pasal 22 Impor masih tumbuh positif 2,29 persen (yoy), didukung perubahan tarif yang berlaku sejak triwulan III 2018. Khusus untuk PBB, pertumbuhan yang mencapai 265,81 persen (yoy) disebabkan pergeseran waktu (time-shifting) pembayaran lebih awal PBB Migas, dari bulan Oktober dan November di tahun 2018, menjadi bulan Juni di tahun 2019 ini.
Manufaktur, Perdagangan dan Pengolahan Anjlok
Jika dilihat dari sisi sektoral, pertumbuhan penerimaan pajak juga terlihat hampir di semua sektor hingga akhir Juni 2019. Dari enam sektor pajak, hanya satu yang mengalami pertumbuhan lebih baik ketimbang tahun sebelumnya, yakni Transportasi & Pergudangan sebesar 23,1 persen (yoy).
Selanjutnya, ada penerimaan pajak dari sektor Industri Jasa Keuangan, yang tumbuh 8,8 persen (yoy).
"Pertumbuhan penerimaan pajak kedua sektor tersebut lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan PDB sektoralnya (Triwulan I 2019 sebesar 5,25 persen dan 7,33 persen year on year)," tulis Kemenkeu.
Di sisi lain, tekanan restitusi sangat dirasakan oleh sektor Industri Pengolahan, Perdagangan, dan Pertambangan. Sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan juga terpengaruh efek penurunan impor dan terbatasnya ekspansi sektoral.
Apabila dikecualikan dari perhitungan, pertumbuhan bruto non-impor kedua sektor ini sebenarnya positif, masing-masing sebesar 7,4 persen (yoy) dan 9,1 persen (yoy).
Sementara itu, sektor pertambangan juga merasakan tekanan akibat penurunan harga-harga komoditas di pasar global. "Apabila restitusi dikecualikan dari perhitungan, penerimaan bruto sektor Pertambangan hanya mengalami penurunan 4,65 persen (yoy)," catat Kementerian Keuangan.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Maya Saputri