tirto.id - Pemerintah menghapus pungutan ekspor untuk produk kelapa sawit menjadi nol rupiah hingga 31 Agustus 2022. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115 Tahun 2022 yang merevisi PMK 103 Tahun 2022.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu memastikan, pembebasan pungutan ekspor tersebut tak berdampak kepada penerimaan negara. Sebab, menurutnya, penerimaan saat ini masih cukup aman ditopang oleh kenaikan harga komoditas.
"Kan penerimaan negara cuma salah satu aspek yang kita lihat, penerimaan negara sih aman. Anda lihat saja penerimaan kita masih tinggi 40 persen, jadi kita masih aman," kata Febrio kepada wartawan, di Nusa Dua, Bali, Minggu (17/7/2022).
Berdasarkan data, APBN mengalami surplus sebesar Rp73,6 triliun pada semester I-202. Surplus tersebut didorong oleh pendapatan negara pada semester I yang melonjak mencapai Rp1.317,2 triliun sedangkan realisasi belanja negara lebih rendah hanya tercatat Rp1.243,6 triliun.
Febrio menambahkan, penghapusan pungutan ekspor sementara waktu ini bertujuan hanya untuk mempercepat laju ekspor. Karena selama ini ekspor komoditas produk kelapa sawit masih belum maksimal pasca dibukanya larangan ekspor.
"Sebenarnya kemarin sudah jalan juga, pajak ekspornya tinggi sekali di Juni udah bagus dan kami melihat perlu lebih cepat lagi. Jadi kita turunkan aja pungutan ekspor ke 0 hingga akhir Agustus," ujarnya.
Berdasarkan PMK 115 sebelumnya perubahan tarif pungutan ekspor (PE) dilakukan untuk seluruh produk tandan buah segar, biji sawit, kelapa sawit, pungkil, kemudian CPO dan palm oil, dan used cooking oil termasuk fruit palm oil.
"Jadi pajak ekspor diturunkan 0 rupiah, 0 dolar kepada seluruh produk yang berhubungan dengan CPO, dengan kelapa sawit," ujar Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers.
Bendahara Negara itu mengatakan, setelah 31 Agustus 2022 atau mulai 1 September 2022, pemerintah akan menerapkan pungutan ekspor yang bersifat progresif. Artinya, jika harga dalam hal ini, harga CPO-nya rendah maka tarifnya juga sangat rendah. Sedangkan kalau harganya naik, dia akan meningkat menyesuaikan.
"Ini dengan tujuan bahwa kita melalui BPDPKS mendapatkan pendanaan untuk mereka juga melaksanakan program yang berhubungan dengan stabilisasi harga, yaitu seperti biodiesel dan juga dari sisi kadang-kadang digunakan seperti kemarin stabilisasi harga minyak goreng," tutur Sri Mulyani.
Sebelumnya, di dalam PMK 103/2022, tarif pungutan ekspor CPO berlaku sejak 14 Juni hingga 31 Juli 2022 ditetapkan senilai 55 dolar AS hingga 200 dolar AS per ton. Ketetapan pungutan tersebut mengikuti pergerakan harga CPO.
Di dalam beleid tersebut juga dijelaskan tarif pungutan ekspor CPO bakal naik berkisar 55 dolar AS hingga 240 dolar AS per ton mulai 1 Agustus 2022.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri