tirto.id - Seno, petani tembakau asal Jember, tengah berbahagia. Pria berumur 65 tahun ini mengaku hasil panen daun tembakau sepanjang 2017 sudah jauh lebih baik ketimbang tahun sebelumnya.
“Tahun lalu (2016) itu kemarau basah. Dari total lahan yang ditanam tembakau, mungkin hanya 20 persen saja yang bisa dipanen. Nah, tahun ini musim keringnya lumayan tegas, jadi hampir semuanya bisa dipanen,” katanya kepada Tirto.
Tak hanya hasil panen, harga jual daun tembakau dari petani juga bagus. Menurutnya, harga jual daun tembakau varietas kasturi Jember saat ini naik menjadi Rp42.000-Rp55.500 per kg, dari sebelumnya sekitar Rp40.000 per kg.
Dengan penghasilan yang didapat dari budidaya tembakau, Seno mengaku dirinya sulit jika harus diminta pemerintah untuk menggantikan tembakau dengan komoditas lainnya, terutama ketika musim kemarau.
“Susah mas. Kalau musim kering itu yang bisa ditanam hanya tembakau. Ada tanaman kenaf, tapi hasilnya buat apa, dijual juga enggak laku. Pasti pilihnya tembakau, apalagi permintaan dari gudang [pabrik rokok] juga bagus,” tuturnya.
Seno merupakan satu dari jutaan orang yang ada di Indonesia yang terlibat langsung dalam industri hasil tembakau. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, pihak yang terlibat dalam industri ini mencapai 5,98 juta orang, baik langsung maupun tidak langsung.
Dengan fakta itu, tidak bisa dipungkiri industri hasil tembakau menjadi salah satu andalan ekonomi Indonesia. Selain menyerap tenaga kerja yang cukup banyak, kontribusi terhadap penerimaan negara pun juga tidak sedikit.
Baca juga:Seberapa Banyak Rokok Sumbang Pemasukan Kas Negara?
Penerimaan cukai hasil tembakau (HT) misalnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mencatat realisasi penerimaan cukai HT per 28 Desember 2017 menembus Rp145,48 triliun, naik 6 persen dari realisasi sepanjang 2016 sebesar Rp137,93 triliun.
Capaian penerimaan cukai HT itu menyumbang sekitar 97 persen dari total penerimaan cukai sebesar Rp150,81 triliun. Bisa dibilang, pemerintah sangat bergantung terhadap kinerja cukai HT dalam menggenjot penerimaan cukai.
Dari penerimaan cukai HT, pemerintah dapat membiayai berbagai pembangunan di berbagai bidang, mulai dari infrastruktur, pendidikan dan lain sebagainya. Pemerintah bahkan memiliki rencana menggunakannya untuk menambal defisit BPJS Kesehatan.
Baca juga: Menkeu Berencana Tambal Defisit BPJS Kesehatan dengan Pajak Rokok
Meski memberikan sumbangan yang cukup signifikan terhadap pemasukan negara, akan tetapi pemerintah tidak menutup mata terhadap dampak negatif industri ini, salah satunya dari sisi kesehatan. Kementerian Kesehatan mengungkapkan dari satu batang rokok terdapat 4.000 jenis senyawa kimia beracun, di mana 70 jenis di antaranya bersifat kanker.
Pemerintah pun mengeluarkan banyak kebijakan dalam rangka mengendalikan konsumsi rokok. Salah satunya adalah menaikkan tarif cukai HT atau rokok. Kenaikan tarif cukai yang berimplikasi pada kenaikan rokok diharapkan mampu meredam konsumsi, terutama di kalangan anak-anak dan remaja.
Sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo, tarif cukai HT naik setiap tahunnya. Pada 2015, rata-rata tarif cukai HT naik 8,72 persen. Pada tahun berikutnya, tarif naik rata-rata 11,19 persen dan pada 2017 naik 10,54 persen. Untuk 2018, naik rata-rata 10,04 persen.
“Kenaikan tarif 10,04 persen itu mempertimbangkan keseimbangan dari semua aspek, seperti kesehatan, tenaga kerja dan penerimaan negara,” ujar Rudy Rahmadi, Kasubdit Penerimaan Ditjen Bea dan Cukai kepada Tirto.
Kebijakan mengendalikan volume produksi rokok dengan menaikkan tarif cukai memang cukup berhasil. Hasil riset Doni Triono pada 2017 dari Politeknik Keuangan Negara STAN yang berjudul "Analisis Dampak Tarif Cukai Hasil Tembakau Terhadap Penerimaan Negara dan Produksi Tembakau Domestik" menyimpulkan bahwa kenaikan tarif cukai membuat pabrik berhati-hati dalam memproduksi rokok.
Pasalnya, semakin tinggi tarif, maka semakin tinggi pula biaya yang dibutuhkan perusahaan untuk memproduksi HT. Bahkan, tidak sedikit pabrik yang harus tutup karena belum mampu mengimbangi kenaikan tarif cukai, yang secara langsung berdampak pada harga produk jadi seperti rokok.
Penerimaan Cukai HT di 2018
Lantas bagaimana proyeksi penerimaan cukai HT pada 2018 seiring dengan tarif cukai HT yang naik rata-rata 10,04 persen?
Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menilai kenaikan tarif cukai HT pada 2018 justru akan mengurangi setoran penerimaan cukai HT. Kenaikan cukai yang terjadi hampir setiap tahun dibarengi dengan pertumbuhan volume produksi rokok saat ini dalam tren melambat bahkan mengalami penurunan.
Data Kementerian Keuangan, pertumbuhan volume produksi rokok memang terus melambat sejak 2012. Bahkan, mulai mengalami penurunan volume sejak 2016. Volume produksi HT pada 2012 tercatat 325 miliar batang. Pada tahun-tahun berikutnya, produksi HT masih tumbuh setiap tahun, meski dalam tren melambat.
Pada 2015, produksi HT sempat menyentuh 348 miliar batang. Pada 2016, volume produksi rokok turun 6 miliar batang atau 1,72 persen menjadi 342 miliar batang dari realisasi 2015. Volume produksi diperkirakan turun kembali pada 2017 menjadi 331 miliar batang, dan diproyeksikan turun lagi menjadi 324 miliar batang pada 2018.
“Ini [kenaikan tarif cukai] sama saja menutup peluang industri HT untuk hidup. Apalagi, beban pajak [termasuk pajak rokok dan PPN hasil tembakau] sudah mencapai 60 persen dari harga rokok,” kata Hananto Wibisono, Head Of Department Media Centre AMTI kepada Tirto.
Baca juga: Bayang-bayang Cukai di Saham Perusahaan Rokok
Perkiraan Hananto menyangkut setoran penerimaan cukai HT mungkin benar adanya. Hal itu dikarenakan, penerimaan cukai HT sejak 2012 hingga 2017 juga dalam tren menurun, atau berbanding lurus dengan volume produksi rokok.
Penerimaan cukai HT pada 2012 tercatat Rp90,55 triliun tumbuh 24 persen dari realisasi 2011. Pada 2013, realisasi penerimaan cukai melambat dengan hanya tumbuh 14,4 persen menjadi Rp103,56 triliun. Kinerja penerimaan cukai terus melambat pada tahun-tahun berikutnya. Pada 2016, penerimaan cukai HT hanya naik 11,95 persen menjadi Rp137,93 triliun.
Tren penurunan penerimaan cukai HT berlanjut di 2017 dengan hanya tumbuh 6 persen, menjadi Rp145,48 triliun. Begitu juga dengan 2018, pemerintah hanya mematok target penerimaan cukai HT sebesar Rp148,23 triliun, atau naik 0,5 persen dari target 2017 sebesar Rp147,49 triliun.
Rudy mengatakan proyeksi kenaikan penerimaan cukai HT 2018 juga dikaitkan dengan aturan baru soal waktu pelunasan pita cukai dikurangi menjadi hanya 11,5 bulan dari sebelumnya selama 12 bulan di tahun berjalan. Ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 57/2017 tentang penundaan pembayaran cukai pengusaha pabrik atau importir barang kena cukai yang melaksanakan pelunasan dengan cara pelekatan pita cukai.
“Karena kebijakan itu, sebagian penerimaan cukai HT pada 2018 akan bergeser ke 2019. Untuk nilai penerimaan yang bergeser,” kata Rudy.
Perlambatan pertumbuhan penerimaan cukai HT yang dibarengi dengan penurunan produksi rokok, tak otomatis hanya dikaitkan dengan kebijakan cukai saja. Cukai bukan merupakan satu-satunya instrumen pengendalian konsumsi dan produksi rokok, karena ada faktor lain seperti pembatasan iklan, Pictorial Health Warning (PHW) atau peringatan bergambar, Kawasan Tanpa Rokok (KTR), larangan sponsor olah raga, dan lain-lain yang dibuat pemerintah.
Kebijakan menaikkan tarif cukai memang bukan masalah yang sederhana. Seno bersama petani tembakau lainnya tentu akan terkena imbas tidak langsung dari kenaikan tarif cukai 2018. Namun, yang perlu menjadi catatan, penerimaan negara pun mulai kena kena dampaknya, yang pertumbuhan pendapatan mulai tergerus. Sisi lainnya, penurunan konsumsi rokok akan menjadi hal positif dari sisi kesehatan masyarakat.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti