tirto.id - Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting menilai langkah KPK menerbitkan status daftar pencarian orang (DPO) terhadap tersangka kasus korupsi e-KTP Setya Novanto sudah tepat. PHSK beralasan kejanggalan-kejanggalan dalam upaya KPK memeriksa Novanto membuktikan Ketua DPR itu layak untuk dimasukkan DPO.
"Dengan kondisi terkini yaitu kecelakaan yang dialami SN terakhir dengan berbagai kejanggalannya, posisi KPK yang mendaftarkan status SN dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dengan status buron menjadi tepat," kata Miko kepada Tirto, Jumat (17/11/2017).
Miko mengatakan, prosedur mengenai DPO memang tidak diatur secara spesifik dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Namun, dikatakan Miko, berdasarkan konstruksi hukum bahwa masuknya seseorang dalam status DPO itu karena, pertama, statusnya sebagai tersangka berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Kedua, apabila tersangka telah dipanggil pemeriksaan secara sah dan patut tetapi yang bersangkutan tidak hadir sehingga muncul penilaian yang bersangkutan melarikan diri.
Dari dua indikator itu kemudian diatur lebih lanjut di Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, status SN (Setya Novanto) masuk daftar buronan pun memenuhi unsur.
"Dalam konteks kasus SN, saya kira sudah tepat jika KPK memasukkan nama SN dalam status buron dan meminta kerjasama dengan kepolisian," kata Miko.
Selain itu, Miko mendorong KPK untuk segera mengecek kebenaran kondisi dan kesehatan Novanto. Selain memasukkan dalam status DPO, KPK seharusnya juga meminta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk mengawal proses pengecekan ini secara lebih lanjut.
"Lebih jauh, langkah penangkapan dan penahanan bisa dipertimbangkan KPK dengan terlebih dahulu meminta tim dokter memeriksa kesehatan yang bersangkutan," kata Miko.
Sebelumnya, tersangka KTP elektronik Setya Novanto mengalami kecelakaan saat menuju KPK. Sedianya, Novanto menghadiri pemeriksaan KPK setelah mangkir dalam pemeriksaan dengan kapasitasnya sebagai saksi untuk tersangka Anang Sugiana Sudiharjo, selaku swasta. Novanto telah mangkir 3 kali dalam pemeriksaan sebagai saksi dan 1 kali dalam kapasitas sebagai tersangka.
Akibat ketidakhadiran dalam pemeriksaan selama ini, KPK menerbitkan surat perintah penangkapan untuk Novanto. Penyidik mendatangi kediaman Novanto dan berusaha membawa paksa Novanto ke depan penyidik. Namun, Ketua DPR itu tidak ada di kediaman.
KPK pun berupaya mencari Novanto. Saat hendak memasukkan nama Novanto dalam daftar DPO, mantan Ketua Fraksi Partai Golkar itu mengabarkan akan kooperatif dan memenuhi panggilan KPK. Namun, dalam perjalanan, Novanto mengalami kecelakaan dan dilarikan ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau.
Setnov sendiri ditetapkan sebagai tersangka sebanyak dua kali. Pria yang pernah terjerat kasus papa minta saham itu ditetapkan sebagai tersangka, Senin (17/7/2017). Ketua Umum Partai Golkar itu dnilai telah ikut bersama-sama menerima aliran dana kasus korupsi pengadaan ktp elektronik 2011-2012 dan ikut merugikan negara Rp 2,3T. Pria yang juga Anggota DPR 2009-2014 itu disangkakan melanggar pasal 2 ayat 1 subsider pasal 3 UU 31/99 sebagaimana diubah UU 20/01 Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Namun, penetapan tersebut dipatahkan dalam gugatan praperadilan, Jumat (29/9/2017). Penetapan tersangka Novanto pun dibatalkan setelah Hakim Praperadilan Cepi Iskandar memutuskan penetapan Novanto batal. Namun, tidak semua gugatan praperadilan Novanto dipenuhi pengadilan. Gugatan pencegahan Novanto tidak dikabulkan hakim.
KPK pun kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka, Jumat (10/11/2017). Mereka kembali menyangkakan mantan Ketua DPR terlibat dalam kasus suap KTP elektronik. KPK menyangkakan kembali Novanto melanggar pasal 2 ayat 1 subsider pasal 3 UU 31/99 sebagaimana diubah UU 20/01 Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri