tirto.id - Polda Jawa Barat menghentikan penyidikan terhadap Muhammad Rizieq Shihab, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) pada kasus dugaan penodaan lambang negara yang sudah diproses sejak November 2017. Penghentian kasus ini sudah terjadi sejak akhir Februari 2018 dan baru ramai sekarang.
Saat dihubungi Tirto, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Barat, Ajun Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan alasan penghentian penyidikan kasus Rizieq karena tidak cukup bukti.
“Penyidik Ditkrimum Polda Jabar telah menghentikan sekira Februari 2018 akhir,” kata Trunoyudo, Jumat (4/5/2018).
Penghentian ini membuat status tersangka yang tersemat pada Rizieq Shihab otomatis tak ada lagi. Pemimpin tertinggi FPI yang pergi ke Arab Saudi itu kini tinggal menghadapi kasus dugaan chat mesum yang masih disidik di Polda Metro Jaya.
Keputusan Polda Jabar diapresiasi penasihat hukum Rizieq, Sugito Atmo Prawiro. Kepada Tirto, Sugito mengatakan langkah polisi sudah tepat karena memang perkara yang disangkakan kepada Rizieq tidak memenuhi unsur pidana dalam Pasal 154a KUHP
“Apa yang disampaikan Habib Rizieq itu fakta. Bukan hal yang luar biasa,” kata Sugito.
Selain itu, Sugito mengatakan unsur pidana terkait pelanggaran Pasal 320 KUHP pun tidak terpenuhi. “Karena itu tidak memenuhi unsur, kami sudah mengajukan permohonan SP3,” kata Sugito.
Awal Mula Kasus Rizieq di Jabar
Perkara ini awalnya dilaporkan Sukmawati Soekarnoputri pada 27 Oktober 2016 ke Mabes Polri. Ini terkait tuduhan tindak pidana penodaan terhadap lambang dan dasar negara, yang tercantum pada Pasal 154a KUHP, dan Pasal 320 KUHP tentang pencemaran nama baik bagi orang yang sudah meninggal.
Sukmawati memperkarakan ceramah Rizieq yang menyebut "Pancasila Soekarno ketuhanan ada di pantat, sedangkan Pancasila piagam Jakarta ketuhanan ada di kepala." Pernyataan Rizieq ini terekam dalam YouTube.
Sukmawati mengaku menerima video pada Juni 2016. Aduan diterima dalam surat bernomor LP/1077/X/2016/Bareskrim. Kurang dari sebulan tepatnya 22 November 2016, kasus ini dilimpahkan Mabes Polri ke Polda Jawa Barat. Kombes Martinus Sitompul yang saat itu menjabat Kabag Penum Divisi Humas Polri mengatakan pelimpahan dilakukan karena locus delicti kasus itu terjadi di wilayah Jawa Barat.
Hampir dua bulan berselang, tepatnya 12 Januari 2017, Polda Jabar memanggil Rizieq Shihab untuk dimintai keterangan sebagai saksi dan diperiksa selama 6,5 jam. Saat Rizieq diperiksa, massa pendukung Rizieq yakni FPI dan ormas Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) bentrok.
Sekitar 11 hari kemudian atau tepatnya 23 Januari 2017, Polda Jabar menggelar ekspose (gelar perkara). Gelar perkara ini dilakukan untuk menentukan apakah status Rizieq akan menjadi tersangka atau penyidik harus mencari bukti tambahan untuk memperkuat bukti-bukti yang ada.
Sepekan berselang atau 30 Januari 2017, penyidik Polda Jabar menetapkan Rizieq sebagai tersangka dalam dugaan penodaan lambang negara dan disangka melanggar Pasal 154 a KUHP tentang penodaan terhadap lambang negara dan Pasal 320 KUHP tentang pencemaran terhadap orang yang sudah meninggal.
Sepekan setelah ditetapkan tersangka, penyidik memanggil Rizieq buat diperiksa sebagai tersangka pada 7 Februari 2017. Rizieq mangkir dan kembali dipanggil ulang pada 10 Februari 2017. Panggilan kedua ini juga tak diindahkan Rizieq.
Ia baru datang ke Mapolda Jawa Barat pada 13 Februari 2017 guna menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka kasus dugaan penodaan Pancasila dan pencemaran nama baik Sukarno, presiden pertama RI.
Tiga bulan setelah pemeriksaan perdana, polisi melimpahkan kasus tersebut ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat sekitar 2 Mei 2017. Sekitar dua pekan kemudian atau 16 Mei 2017, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat mengembalikan berkas kasus Rizieq ke polisi karena dianggap belum lengkap.
Pada 26 April 2017, Rizieq berangkat umrah ke Makkah. Selepas Rizieq pergi, berkas yang pernah diajukan ke Kejaksaan Tinggi tak juga dilengkapi polisi. Kemudian pada Agustus 2017, Polda Jabar berkoordinasi dengan Interpol Indonesia untuk melakukan pemanggilan Rizieq Shihab yang tengah berada di Arab Saudi.
Enam bulan kemudian atau sekitar akhir Februari 2018, Polda Jabar menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) untuk kasus dugaan penghinaan Pancasila dengan tersangka Rizieq Shihab. Kemudian pada 4 Mei 2018, kasus Rizieq Shihab telah resmi dihentikan Kepolisian Daerah Jawa Barat.
SP3 Rizieq Memunculkan Pertanyaan
Penghentian perkara yang dilakukan polisi terhadap Rizieq sebenarnya merupakan kewenangan penyidik di Kepolisian atau Kejaksaan. Aturan terkait SP3 ini diatur dalam Pasal 109 Ayat 2 KUHAP.
Dalam pasal itu disebutkan, alasan penghentian penyidikan diatur limitatif antara lain: Tidak diperoleh bukti yang cukup, peristiwa yang disangkakan bukan tindak pidana, dan penghentian demi hukum.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Barat Trunoyudo mengatakan, kasus Rizieq dihentikan karena “Sejauh ini, kurang cukup bukti untuk ditindaklanjuti dalam proses penyidikannya.” Alasan ini sesuai dengan alasan yang tertuang dalam Pasal 109 Ayat 2 KUHAP.
Namun, alasan polisi ini terdengar ganjil, bila merujuk pada lini waktu kasus Rizieq di Polda Jawa Barat yang sempat melimpahkan kasus ini ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat supaya bisa disidangkan. Kala itu, Polda Jawa Barat dipimpin Irjen Anton Charliyan, yang kini sudah pensiun dan menjadi Calon Wakil Gubernur Jawa Barat.
“[Berkas] sudah dikirim ke Kejaksaan tinggal menunggu P21 saja. P21 itu berita lengkap jadi dia [tersangka] sudah masuk tahap satu,” ujar Anton seperti dilansir dari Merdeka.com pada Rabu 10 Mei 2017.
Kejanggalan ini juga tampak saat Tirto mencoba meminta nomor surat perintah penghentian penyidikan yang diklaim polisi sudah dilakukan sejak akhir Februari 2018, untuk memastikan informasi. Sayangnya, polisi tak mau memberikan nomor surat tersebut. Sehingga memunculkan tanda tanya soal kebenaran pengakuan dari pihak kepolisian.
“Sejauh ini itu dulu [keterangan soal penghentian perkara],” kata Trunoyudo.
Saat polisi enggan membuka nomor SP3, Sekretaris Jenderal GNPF Ulama Muhammad Al Khaththath mengklaim penghentian kasus ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan Tim 11 Ulama Alumni 212 dengan Presiden Joko Widodo pada Minggu 22 April 2018.
“Jadi ya mudah-mudahan ini hasil dari pertemuan di Istana Kemarin. Ini merupakan follow up,” kata Al Khaththath di Mapolda Metro Jaya, Jumat sore.
Pernyataan Al Khaththath dan keengganan polisi menimbulkan spekulasi ada unsur politik dalam penghentian kasus ini pun berkembang. Hal ini pun tak luput dari perhatian pengamat kepolisian dari Universitas Indonesia Bambang Widodo Umar.
Saat dihubungi Tirto, Bambang mengatakan “Kenapa baru sekarang dikeluarkan SP3? kalau tidak cukup bukti seharusnya sudah dari dulu dikeluarkan. Itu kalau dilaksanakan, tindakan kepolisian profesional.”
Guru Besar Kajian Ilmu Kepolisian ini juga menilai penerbitan SP3 ini pun menjadi politis lantaran turun berdekatan dengan Pilkada. Menurut Bambang, tindakan ini seharusnya dihindari polisi lantaran mengesankan ada pertimbangan politik dalam penerbitan surat ini.
“Seharusnya tidak perlu demikian. Pertimbangan polisi dalam menentukan masalah [seharusnya] hanya dari segi hukum,” kata Bambang yang pernah menjadi perwira polisi dan Komisioner Komisi Kepolisian Nasional.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih