tirto.id - Dalam Debat kedua Capres 2019 segmen ketiga yang bertema energi dan pangan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta infrastruktur, kandidat bernomor urut 02 Prabowo mengkritik praktik bagi-bagi lahan yang dilakukan Presiden Joko Widodo.
"Kalau Bapak bangga dengan bagi 12 juta hektare tanah, 20 juta hektare, pada saatnya kita tidak punya lagi lahan untuk kita bagi," ujar Prabowo Subianto.
Sebelumnya, Jokowi menyampaikan pemerintahannya telah membagi 2,6 juta hektare dari 12,7 juta hektare yang disediakan sebagai strategi untuk mencapai reforma agraria sesuai Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 dan TAP MPR nomor 9 tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya.
Menurut Prabowo, jika langkah Jokowi itu diterapkan, hanya satu dan dua generasi yang bakal menikmati. "Tanah tidak tambah banyak tapi bangsa Indonesia bertambah," kata prabowo.
Ia mengatakan setiap tahun jumlah penduduk Indonesia bertambah kurang lebih tiga setengah juta.
"Jadi bagaimana nanti masa depan anak cucu kita. Jadi kami strateginya berbeda," kata Prabowo. "Kami strateginya adalah undang-undang Dasar 1945 pasal 33 bumi dan air dan semua kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara."
Menjawab kritik Prabowo, Jokowi menyatakan bahwa 2,6 juta hektare lahan yang dibagikan kepada rakyat adalah tanah produktif dan tidak diberikan kepada “yang gede-gede”.
"Saya tahu pak Prabowo memiliki lahan yang sangat luas di Kalimantan Timur. Sebesar 220.000 hektare dan juga di Aceh Tengah 120.000 hektare," ujar Jokowi.
Prabowo tidak menampik tudingan Jokowi terkait kepemilikan ratusan ribu hektar lahan tersebut. Namun, Prabowo mengklaim lahan yang dipakai untuk perusahaan kertas adalah Hak Guna Usaha (HGU) atau tanah milik negara. Prabowo juga mengaku siap mengembalikan tanah tersebut apabila dibutuhkan.
"Itu adalah milik negara. Jadi, setiap saat, negara bisa ambil kembali. Dan kalau untuk negara, saya rela kembalikan itu semua. Tapi daripada jatuh kepada orang asing, lebih baik saya yang kelola," pungkasnya.
Kepemilikan Tanah dan Reforma Agraria
Jokowi menyatakan program bagi-bagi sertifikat tanah yang ia lakukan tidak terjadi di masa pemerintahannya saja. Klaim ini memang benar adanya. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan hal yang sama.
Disertasi Noer Fauzi Rachman di University of California, Berkeley berjudul “The Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in Indonesia” (PDF, 2011) dapat menjelaskan bagaimana tahun 2007 SBY menjalankan program bagi-bagi lahan sebagai implementasi kebijakan reformasi pertanahan alias Reforma Agraria.
Saat itu Badan Pertanahan Nasional (BPN) menggandeng organisasi gerakan agraria seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Serikat Petani Pasundan (SPP) di Jawa Barat. Tetapi dalam perkembangannya, konflik agraria tetap saja berlangsung. Salah satu kasus yang paling mencolok adalah konflik antara Serikat Petani Pasundan (SPP) dengan Perhutani.
SPP adalah serikat agraria terbesar di Jawa Barat yang berdiri pada 2000. Sementara Perhutani adalah perusahaan plat merah yang menguasai tanah negara terluas di Jawa yang tidak sependapat dengan reformasi agraria yang digulirkan BPN. Bekerja sama dengan Polda Jawa Barat dan dua LSM lingkungan, Perhutani melakukan Operasi Hutan Lestari (OHL) Lodaya pada 2008 sebagai kampanye untuk menghabisi okupasi tanah yang diorganisir oleh SPP.
Kampanye pembersihan SPP praktis membikin Perhutani memperoleh kembali kuasanya atas tanah-tanah yang diduduki serikat dan menjebloskan beberapa aktivis SPP ke penjara. Operasi seperti ini menegaskan kepada masyarakat bahwa lahan hutan di Jawa yang dikuasai Perhutani dikecualikan dalam program land reform.
Berdasarkan catatan KPA, pada tahun 2017 terjadi 695 konflik Agraria di semua sektor di Indonesia. Konflik paling banyak terjadi di sektor perkebunan, properti, pembangunan infrastruktur, kehutanan, tambang, pertanian. Sampai 2019, sebanyak 216 orang ditahan tanpa prosedur yang jelas terkait dengan kasus agraria di Indonesia. Tingginya angka penahanan disebabkan karena pendekatan represif pemerintah dan pemilik perkebunan hingga 2018.
Menurut peneliti agraria Iqra Anugrah, reforma agraria terlalu sempit bila hanya diartikan sebagai proses bagi-bagi tanah bersertifikat. Pasalnya, reforma agraria adalah upaya redistribusi tanah secara luas kepada rumah tangga tani kecil dan menengah supaya mereka bisa hidup dari tanah itu, dari usaha pertanian dan segala turunannya.
"Makanya Jokowi salah kaprah kalau tujuan rumah tangga tani dapat sertifikat itu agar lebih mudah dapat kredit. Kalau sudah dapat kredit, banyak utang, ya sama saja, tidak bisa hidup dari tanah itu berarti. Dengan kata lain, kebijakan sertifikasi ini ya ujungnya belum tentu menyenangkan,” ujar doktor lulusan Departemen Ilmu Politik Northern Illinois University (NIU) kepada Tirto pada Senin (18/2).
Lebih lanjut Iqra menjelaskan jika peralihan kepemilikan tanah menjadi milik individu seluruhnya akan menyebabkan masalah baru. Misalnya dalam perubahan status kepemilikan tanah adat atau ulayat menjadi milik individu.
"Kepemilikan tanah individual sebenarnya juga rawan dimanipulasi oleh kekuatan pasar. Ketika tiap-tiap rumah tangga tani sudah punya sertifikasi tanah, maka mudah saja bagi negara dan korporasi untuk membelinya. Akibatnya, rumah tangga tani kembali tidak punya tanah atau tidak bisa hidup dari tanah atau tercerabut dari tanahnya."
Tapi solusi Prabowo yang ditawarkan dalam debat soal kembali pada Pasal 33 bukan berarti lebih baik. Pasalnya, pasal 33 UUD 1945 yang dijadikan landasan Prabowo bersifat multitafsir. Sebab, imbuh Iqra, pasal tersebut bisa ditafsirkan sebagai penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) via korporasi negara lewat tangan-tangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Model penguasaan ini justru turut berkontribusi dalam penciptaan konflik agraria antara negara dan warga, alih-alih mendorong penguasaan dan pengelolaan komunal oleh masyarakat.
Untuk mewujudkan reforma agraria yang ideal, Iqra menyarankan agar pemerintah lebih membuka jalur komunikasi dan kerjasama demokratis dengan berbagai organisasi serikat tani. Pasalnya, organisasi-organisasi akar rumput inilah yang terus mengadvokasi kesejahteraan petani. Represi terhadap warga dan aktivis pejuang agraria juga perlu disetop sehingga mereka dapat menyuarakan aspirasinya secara leluasa.
Lebih lanjut, Iqra menegaskan bahwa skema sertifikasi tanah tak mesti atas nama perorangan, melainkan juga komunal sehingga pengelolaannya dipegang oleh masyarakat, terutama untuk aset-aset di pedesaan seperti tanah produktif. Skema ini juga bisa dibarengi dengan pemberian fasilitas bagi berbagai inisiatif ekonomi warga desa yang berhasil mengolah hasil pertaniannya.
Editor: Windu Jusuf