tirto.id - Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika menilai agenda Reforma Agraria di era presiden Joko Widodo masih jauh dari target karena belum menjawab tujuan dari reforma agraria.
Ia menjelaskan, reforma agraria yang dilakukan sejauh ini justru direalisasikan dengan subjek yang salah dan tidak menjawab tujuan untuk memperbaiki ketimpangan, menyelesaikan konflik agraria, dan menjadi sumber kesejahteraan bagi petani.
"Subjek yang harus diprioritaskan dari reforma agraria adalah petani miskin atau buruh tani yang tidak punya tanah sama sekali sehingga dia menjadi lebih produktif dan sejahtera" kata Dewi di Jakarta, Jumat (21/9/2018).
Menurutnya, pembagian sertifikat tanah yang selalu dilakukan Jokowi bukan bagian dari reforma agraria. Sebab, hal tersebut hanya sertifikasi rutin Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional.
Selain itu, proses reforma agraria yang ada tidak melibatkan secara aktif masyarakat sipil terutama petani menyebabkan terjadinya distorsi penerima manfaat dari reforma agraria. Lebih lanjut, ia mengatakan, reforma agraria yang dijalankan selama ini juga tidak berkontribusi terhadap perbaikan produksi pangan.
"Yang harus diprioritaskan adalah petani-petani penggarap yang mendapatkan tanah secara adil lewat skema reforma agraria, otomatis ia punya kesempatan untuk lebih produktif, untuk produksi pangan," ungkap Dewi.
Ia juga menyayangkan tidak adanya peraturan presiden sebagai landasan pelaksanaan reforma agraria sehingga agenda yang telah dicanangkan menjadi tersendat di tengah konflik agraria yang terus terjadi di lapangan.
Berdasar catatan KPA, pada tahun 2017 ada 695 konflik Agraria di Indonesia yang terjadi di semua sektor. "Paling banyak ada di sektor perkebunan, properti, pembangunan infrastruktur, kehutanan, tambang, pertanian," ujar Dewi.
Penulis: Atik Soraya
Editor: Alexander Haryanto