Menuju konten utama

Penabrak GrabWheels Tak Ditahan, Polisi Tebang Pilih Tersangka?

DH, pelaku penabrak pengendara skuter listrik, diduga kuat anak pengusaha dan politikus kondang asal Sumatera Barat.

Penabrak GrabWheels Tak Ditahan, Polisi Tebang Pilih Tersangka?
Mobil Toyota Camry hitam terparkir di halaman Polda Metro Jaya. Mobil yang dikendarai DH berstatus sebagai barang bukti usai menabrak pengguna GrabWheels di Senayan, Minggu (10/11/2019). ANTARA/HO-Polda Metro Jaya

tirto.id - DH, diduga kuat bernama Dhanni Hariyona, pengusaha dan anak politikus asal Sumatera Barat, tidak ditahan oleh polisi meski telah berstatus sebagai tersangka setelah menabrak pengendara GrabWheels di kawasan Senayan, Jakarta.

Alasannya, “Dari penilaian penyidik, subjektif, tapi ada dasarnya, bukan karena penilaian penyidik semata-mata tanpa ada batas aturan," ujar Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya Kompol Fahri Siregar.

Ketika mengendarai Toyota Camry pada Minggu dini hari, sekitar pukul 03.00, Dhanni diduga dalam pengaruh alkohol, ujar polisi. Imbasnya, enam pengendara otopet listrik menjadi korban, dua di antaranya tewas: Ammar Nawar dan Wisnu Chandra Gunawan, keduanya berusia 18 tahun.

Subjektivitas yang objektif dari polisi, sebut Fahri Siregar, membuat Dhanni tidak perlu ditahan. Tapi, harus ingat tiga aturan, "Kami menilai dia tidak dikhawatirkan melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti, dan tersangka kooperatif," tambahnya.

Tiga hal itu yang menjadi dasar polisi tidak menerungku Dhanni, hanya diwajibkan lapor dua kali dalam sepekan.

Fahri berkata putusan itu adalah kewenangan penyidik, “Saya sebagai komandan pun tidak bisa mengintervensi karena ada penilaian langsung dari penyidik.”

“Otomatis kami hargai pertimbangan penyidik, tapi kami paham betul perasaan keluarga. Kami turut berduka cita," lanjut Fahri.

Keluarga korban merasa kecewa atas keputusan tersebut.

Fajar Wicaksono (19), seorang korban luka akibat penabrakan itu, berkata heran mengapa pelaku tidak ditahan.

"Saya juga bingung … masalah menghilangkan dua nyawa, (tapi) tersangka tidak ditahan dengan alasan yang tidak jelas," ucapnya kepada Tirto.

Perihal tuntutan, Fajar berkata kasus ini harus berlanjut sampai pelaku dihukum setimpal.

"Pesan buat kepolisian, ‘Jangan menghalangi kami jika ingin bertemu si pelaku dan tolong lebih tegas dalam penanganan pelaku’," imbuhnya.

Dhanni Hariyona terancam Pasal 310 juncto Pasal 311 UU 22/ 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Jika berpatokan aturan, pelaku bisa dijerat pidana 1,5 tahun-6 tahun penjara dan/atau denda Rp2 juta-Rp12 juta.

Soalnya Terletak pada 'Rasa Keadilan'

Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu berpendapat memang hukum di Indonesia mengenal syarat penahanan.

Ia berkata penahanan untuk tahap penyidikan, sementara kalau pidananya diproses, jika dia tidak ditahan, barulah jadi masalah.

Hal itu tercantum dalam syarat penahanan pada Pasal 21 UU 8/1981 Hukum Acara Pidana (KUHAP). (Pasal 21 ayat 1 berbunyi: “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.)

“Kalau tidak memenuhi syarat untuk ditahan,” ujar Napitupulu kepada Tirto, “tidak perlu (ditahan).”

Meski begitu, problemnya pada “rasa keadilan”.

Penahanan itu jelas pertimbangannya di KUHAP, kata Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur. “Tapi tuntutan publik itu soal rasa keadilan dan ketidakpercayaan terhadap proses penegakkan hukum.”

Isnur berkata “heran” jika melibatkan masyarakat kecil, polisi langsung menangkap dan menahan terduga pelaku.

Ia mencontohkan kasus serupa dengan pelaku penabrak berlatarbelakang keluarga kaya dan punya jabatan tinggi, seperti kasus Rasyid Amrullah Rajasa, anak politikus Hatta Rajasa. Rasyid menabrak mobil hingga menewaskan dua orang.

Isnur menilai wajar jika publik menuntut penahanan pelaku, "Proses penegakkan hukum ini tentu melukai rasa keadilan masyarakat. Kepolisian tidak melakukan proses hukum sebagaimana mestinya.”

Hukum sebagai aturan main semestinya ditegakkan oleh aparat negara kepada siapa saja. "Karena keadilan itu tidak saja untuk terdakwa tetapi untuk masyarakat. Seharusnya kepolisian tidak memberikan perlakukan hukum istimewa karena telah menyebabkan kehilangan nyawa orang lain," jelas Isnur.

Dhanni Hariyona, penabrak pengendara skuter listrik itu, menjabat Wakil Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Sumatera Barat. Dhanni juga lekat diasosiasikan bakal terjun di Pilkada serentak 2020 di Bukittinggi. Isu ini bukan kejutan sebab Dhanni merupakan putra dari pasangan dua politikus kondang asal Sumbar: Emma Yohanna dan Hariadi.

Emma adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah selama dua periode beruntun. Sementara Hariadi adalah politikus dari Partai Persatuan Pembangunan dan pernah menjabat Ketua Dewan Pengurus Wilayah PPP Sumbar.

Reporter Tirto telah berusaha menghubungi Emma dan Hariadi, tapi mereka tidak merespons. Nomor telepon keduanya tidak aktif. Reporter Tirto juga menghubungi Erick Hariyona, kakak Dhanni. Namun, hingga artikel ini dirilis, dia tidak merespons upaya kami menelepon sebanyak 12 kali serta mengirim dua kali pesan WhatsApp.

Baca juga artikel terkait GRABWHEELS atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika & Herdanang Ahmad Fauzan
Penulis: Adi Briantika
Editor: Fahri Salam