Menuju konten utama

Pemprov Banten Tak Hadir di Sidang Gugatan Polusi Udara

Pemprov Banten tidak hadir dalam sidang gugatan 31 warga negara alias citizen law suit (CLS) kepada sejumlah institusi negara atas tuntutan pemenuhan hak menikmati udara bersih di Jakarta.

Pemprov Banten Tak Hadir di Sidang Gugatan Polusi Udara
Sejumlah warga mengikuti sidang perdana gugatan terkait polusi udara Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (1/8/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Pemprov Banten tidak hadir saat sidang gugatan 31 warga negara alias citizen law suit (CLS) kepada sejumlah institusi negara atas tuntutan pemenuhan hak menikmati udara bersih di Jakarta. Padahal, Pemprov Banten adalah salah satu pihak tergugat dalam kasus ini.

Berdasarkan registrasi nomor perkara 374/Pdt.G/LH/2019/PN Jkt.Pst, para penggugat melayangkan gugatan kepada Presiden RI Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Surat registrasi juga turut mencantumkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Gubernur Banten Wahidin Halim sebagai pihak tergugat.

Pantauan reporter Tirto di ruangan persidangan, beberapa pihak tergugat yang hadir adalah perwakilan dari Sekretariat Negara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Pemprov DKI Jakarta, dan Pemprov Jawa Barat.

"Ini Pemprov Banten enggak hadir? Enggak ada kabar ya," kata Ketua Majelis Hakim Saifudin Zuhri di PN Jakarta Pusat, Kamis (1/8/2019) pagi.

Sidang gugatan tersebut akhirnya ditunda oleh hakim PN Jakarta Pusat. Penundaan sidang tersebut dikarenakan adanya syarat formal yang belum dilengkapi oleh kuasa hukum penggugat, dalam hal ini Tim Advokasi Gerakan Ibu Kota (Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Udara Semesta).

"Pihak termohon sudah sepakat seluruhnya untuk ditunda karena adanya kekurangan formalitas yang harus dipenuhi dalam persidangan kali ini. Jadi, [sidangnya] kita tunda," kata Ketua Majelis Hakim Saifudin Zuhri di PN Jakarta Pusat, Kamis (1/8/2019) pagi.

Hakim mengatakan, persyaratan formal yang dimaksud adalah tidak adanya surat kuasa asli yang diserahkan dalam persidangan. Sementara kuasa hukum penggugat hanya menyerahkan fotokopi surat kuasa.

"Kami mintakan yang asli yang sudah didaftarkan. Kemudian, dilampirkan dengan, untuk para penerima kuasa berita acara sumpah masing-masing, asli dan fotokopinya, termasuk ID card asli dan fotokopinya," tambah hakim Saifudin.

Hakim menetapkan agenda ulang sidang gugatan polusi udara ini pada Kamis (22/8/2019) mendatang.

Salah satu kuasa hukum penggugat, Alghifari Aqsa meminta para pihak tergugat untuk datang tepat waktu di sidang-sidang yang mendatang. Pasalnya, di sidang perdana yang seharusnya sidang berjalan mulu 09.00 WIB, sidang baru dimulai pukul 11.30 WIB.

"Kami harap para pihak tergugat datang tepat waktu di sidang berikutnya. Jadi kalau dijadwalkan jam 09.00, ya jam 10.00 harusnya sudah bisa mulai. Kami siap jam segitu," kata Alghif.

"Jadi pihak tergugat sanggupnya jam berapa?" kata hakim Saifudin bertanya.

Awalnya, salah satu kuasa hukum dari pihak tergugat ada yang meminta pukul 11.00 WIB, namun terdengar suara seruan dari kursi audiens.

"Woo."

"Oke siap, jam 10.00 WIB," kata salah seorang kuasa hukum tergugat.

Menurut Koordinator Tim Advokasi Gerakan Ibukota, Nelson Simamora, buruknya kualitas udara Jakarta ini disebabkan oleh parameter pencemar yang telah melebihi Baku Mutu Udara Nasional (BMUN) sebagaimana yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 dan dan Baku Mutu Udara Daerah Provinsi DKI Jakarta (BMUA DKI Jakarta) sebagaimana yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 551 Tahun 2001 tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan di Provinsi DKI Jakarta.

Nelson memberikan contoh, angka konsentrasi PM 2,5 dari Januari hingga Juni 2019 adalah 37, 82 μg/m3 atau 2 kali lebih tinggi dari standar nasional atau 3 kali lebih tinggi dari standar Badan Kesehatan Dunia (WHO).

"Mengapa hal ini begitu penting? Karena tingginya parameter pencemar yang melebihi baku mutu akan menimbulkan gangguan kesehatan. Setidak-tidaknya 58,3% warga Jakarta menderita berbagai penyakit yang diakibatkan polusi udara yang trendnya terus meningkat setiap tahun yang menelan biaya pengobatan setidak-tidaknya Rp51,2 triliun," kata Nelson, Kamis (1/8/2019) pagi.

"Angka ini diprediksi akan semakin meningkat seiring memburuknya kualitas udara Jakarta apabila tidak ada langkah-langkah perbaikan dari para pengambil kebijakan," lanjutnya.

Baca juga artikel terkait POLUSI UDARA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri