tirto.id - Dua puluh lima juta pemilih ganda yang disebut kubu Prabowo-Sandiaga muncul dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS) tidak bisa diremehkan. Seorang pemilih tentu saja hanya punya hak satu suara. Apabila seseorang memilih sampai dua kali, itu adalah pencideraan demokrasi yang serius.
Data itu pertama kali diungkap para sekretaris jenderal partai politik pendukung Prabowo-Sandiaga pada Senin (5/9/2018) malam. Sekjen PKS Mustafa Kemal mengatakan ada 137 juta pemilih di DPS yang diterima partainya dari KPU. Besarnya jumlah pemilih ganda yang mereka temukan mencakup 18,5 persen dari seluruh nama yang ada di DPS.
Sebanyak 25 juta pemilih ganda tersebut setara 1,6 kali lipat jumlah penduduk di Pulau Kalimantan dan 18 kali lipat jumlah penduduk di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pada 2015, BPS menyigi penduduk yang mendiami Pulau Kalimantan dan menghasilkan angka 5,3 juta. Menurut data yang sama, jumlah penduduk di Babel sebanyak 1,37 juta.
Keberadaan pemilih ganda juga berpotensi merugikan parpol, terutama parpol baru. Apabila benar ada 25 juta pemilih ganda, angka itu boleh jadi lebih besar dari parliamentary threshold (ambang batas parlemen) yang akan diterapkan di Pemilu 2019.
Di Pemilu nanti, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 4 persen jumlah suara sah. Suara parpol mesti lebih dari itu agar punya kursi di DPR. Di Pemilu 2014, Komisi Pemilihan Umum menghitung ada sekitar 124 juta suara sah. Anggaplah di pemilu nanti angka itu bertahan, maka ambang batas parlemen akan setara dengan 5 juta suara. Artinya keberadaan 25 juta pemilih ganda yang diklaim kubu Prabowo-Sandiaga sebanding 5 kali lipat ambang batas parlemen.
Beda Kemendagri dan KPU
Pada Rabu (5/9/2018), para sekjen parpol pendukung Prabowo-Sandaga menyerahkan temuan pemilih ganda tersebut kepada KPU.
"Dalam pertemuan para sekjen hari Senin lampau kami sepakat rapat hari ini meminta agar dilakukan penundaan atas penetapan DPS menjadi DPT," kata Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani di kantor KPU.
Pada saat bersamaan, KPU juga mengumumkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilu dan Pilpres 2019. Jumlahnya sebesar 185.732.093. Komisioner KPU Viryan Azis mengatakan penetapan DPT tidak ditunda. Namun, ia menambahkan jumlah DPT bisa saja berubah apabila data pemilih ganda yang disampaikan parpol benar setelah dilakukan pencermatan dalam 10 hari ke depan.
"Setelah DPT ditetapkan, soft file DPT itu sudah kami bagikan ke partai politik, Kemendagri, dan lain-lain. Dilakukan pencermatan selama 10 hari ke depan," ujar Viryan saat dihubungi Tirto, Rabu (5/9/2018).
Menanggapi potensi pemilih ganda tersebut, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh memastikan DPT tidak akan bermasalah apabila KPU menggunakan Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) yang disusun kementeriannya.
"Jadi, kalau struktur DPT itu tidak lengkap, saya pastikan itu bukan menggunakan data DP4. Kan, [dalam DPT] ada yang namanya kosong, datanya ganda, NIK-nya kosong, alamatnya kosong. Saya pastikan itu bukan data dari Dukcapil," kata Zudan saat dihubungi Tirto, Rabu (5/9/2018).
Sebelumnya, tepat lima hari setelah pelaksanaan Pilkada Serentak 2018, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sempat meminta supaya KPU menggunakan DP4. Tjahjo yakin tidak akan ada pemilih ganda dalam DPT jika KPU menggunakan DP4.
Tjahjo sendiri sempat masuk daftar pemilih ganda. Pada Pilkada Serentak 2018, namanya terdaftar sebagai pemilih di TPS 10 Kelurahan Mlatiharjo, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang, Jawa Tengah. Padahal ia sudah ber-KTP DKI Jakarta.
Meski demikian, yang disampaikan KPU justru sebaliknya. Viryan Azis mengaku tidak pernah mendengar apa yang disampaikan Zudan dan Tjahjo bahwa data DP4 dijamin mencegah munculnya pemilih ganda dalam DPT.
"Enggak ada disampaikan oleh Kemendagri. Coba disampaikan ke forum rapat pleno," ujar Viryan.
Viryan juga sangsi DP4 besutan Kemendagri ampuh. Menurutnya, keberadaan data ganda juga muncul dalam DP4.
"[Data Kemendagri] itu juga masih ada yang ganda," tegas Viryan.
Secara peraturan, DP4 yang disusun Kemendagri memang tidak wajib digunakan KPU. Pasal 7 ayat 2 Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2018 menyebutkan DP4 hanya dijadikan pertimbangan KPU untuk memutakhirkan data DPT pemilu dan pemilihan terakhir. Data ini yang akan ditetapkan menjadi DPT Pemilu dan Pilpres 2019.
"Dalam banyak kasus, KPU juga mengakui tidak menggunakan sepenuhnya data dari Kemendagri. [Padahal] kami sudah menyediakan data lengkap," sebut Zudan.
"Terkait dengan penetapan DPT sekarang. Kami akan membantu KPU untuk menyisir data-data ganda itu. Kami sudah siap. Sangat siap," tambahnya.
Masalah Usang yang Tak Pernah Usai
Terlepas dari kemelut dua lembaga tersebut, salah satu hak politik warga negara ialah hak memilih dan dipilih. Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Menurut UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, hak memilih diberikan kepada warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin.
Siapa yang bakal memilih di pemilu amat bergantung pada data DPT yang ditetapkan KPU. Ia yang sudah memenuhi syarat yang tercantum dalam UU Pemilu tetap saja tidak dapat memilih apabila namanya tidak tercantum dalam DPT.
Betapa penting DPT sebagai urat nadi Pemilu dan berpeluang dimanipulasi penguasa, bukan kali ini saja ia dipermasalahkan. Deputi Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Khoirunnisa Agustyati menyebutkan pada dua pilpres sebelumnya, DPT juga bermasalah.
Sebelum Pemilu 2009 berlangsung, media-media lokal melaporkan adanya pemilih fiktif, pemilih ganda, hingga calon pemilih yang tidak masuk DPT. Misalnya, ada 30 ribu suara berlebih di Sumatra Utara, sedangkan di Jambi terdapat 14 ribu pemilih ganda.
Dalam Persaingan, Legitimasi Kekuasaan, dan Marketing Politik: Pembelajaran Politik Pemilu 2009 (2010), Firmanzah mencatat, KPU memperbarui DPT hingga 3 kali saat itu. Namun, hal itu malah bikin masalah baru bagi KPU: sejumlah daerah semisal Jawa Barat surplus surat suara, sementara daerah lain seperti Jawa Timur, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Sulawesi Tengah, dan DKI Jakarta defisit surat suara.
Hingga pelaksanaan pemilu, yakni 9 April 2009, permasalahan DPT dianggap belum tuntas. Karena itu, hasil pemilu pun dianggap cacat hukum. Sejumlah parpol menuntut pelaksanaan pemilu ulang. Meskipun itu urung terjadi, 19 parpol akhirnya mengajukan sengketa DPT ke Mahkamah Konstitusi. Sebanyak 129 wakil rakyat, dipantik Golkar dan PDIP, pun menyetujui penggunaan hak angket DPR untuk menindaklanjuti kisruh DPT. Namun, dua manuver itu nihil hasil.
Lima tahun lalu, Pilpres 2014 juga disebut kubu Prabowo-Hatta cacat hukum. Tim kuasa hukum Prabowo-Hatta berdalih terdapat perbedaan jumlah DPT faktual hasil rekapitulasi KPU pada 22 Juli 2014 dengan SK KPU No 477/Kpts/KPU/13 Juni 2014. Saat mengajukan gugatan sengketa hasil pemilu ke MK, mereka juga memasukkan persoalan DPT dalam poin gugatan.
Keberadaan pemilih ganda, pemilih fiktif, dan adanya warga yang tidak terdaftar di DPT merupakan masalah usang yang tidak pernah diselesaikan penyelenggara pemilu di Indonesia. Jika pemilu benar-benar ingin dianggap luber dan jurdil, maka sekarang lah saatnya persoalan DPT dibereskan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan