Menuju konten utama

Pemerintah Mulai Uji Coba Perdagangan Karbon Maret-Agustus 2021

Pemerintah akan memulai uji coba perdagangan karbon selama Maret-Agustus 2021.

Pemerintah Mulai Uji Coba Perdagangan Karbon Maret-Agustus 2021
Presiden Joko Widodo (kanan) meminpin rapat kabinet terbatas (ratas) soal pengurangan emisi gas rumah kaca di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (6/7/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Pemerintah memulai uji coba perdagangan karbon selama Maret-Agustus 2021. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana menyatakan konsep ini diharapkan dapat mendorong pemangkasan emisi karbon atau gas rumah kaca (GRK).

"Pelaksanaan uji coba pasar karbon ini akan menambah capaian penurunan emisi GRK dalam rangka pemenuhan target emisi khususnya untuk sektor energi,” ucap Rida dalam keterangan tertulis, Senin (22/3/2021).

Uji coba ini akan melibatkan 80 pembangkit listrik. Terdiri dari 19 unit pembangkit berkapasitas lebih dari 400 megawatt (MW), 51 unit pembangkit berkapasitas 100-400 MW, dan 10 unit pembangkit mulut tambang. Dari jumlah itu, 54 pembangkit adalah milik PLN dan 26 adalah pembangkit swasta atau Independent Power Producer (IPP).

Konsep yang diujicobakan mencakup konsep sejumlah konsep seperti cap, trade, dan offset. Konsep-konsep ini mengharuskan adanya pembatasan pengeluaran emisi GRK yang dimiliki masing-masing pembangkit.

“Nilai batas atas caping emisi GRK akan ditetapkan pemerintah berdasarkan intensitas emisi GRK rata-rata tertimbang pada 2019. Perdagangan adalah selisih tingkat GRK terhadap nilai cap," ucap Rida.

Cara kerjanya, pemerintah menerapkan batas emisi yang diizinkan atau disebut cap. Misalnya, batas yang diizinkan adalah 50 ton per pembangkit.

Lalu ada pembangkit A yang mampu menekan emisinya hingga hanya mengeluarkan 25 ton saja sehingga 25 ton lebih rendah dari batas. Sementara pembangkit B masih harus mengeluarkan emisi hingga 75 ton alias 25 ton melebihi batas.

Pada aturan normal, pembangkit B seharusnya dikenakan sanksi karena emisinya di atas ketentuan 50 ton. Namun, pembangkit B masih bisa memenuhi regulasi dengan “membeli” sisa kapasitas 25 ton emisi yang tidak dikeluarkan pembangkit A.

Dengan demikian hitungan akhirnya pembangkit B seolah-olah dapat dihitung hanya mengeluarkan 50 ton padahal kenyataannya ia mengeluarkan 75 ton karena sisa 25 tonnya bisa menyewa dari emisi yang tidak dikeluarkan pembangkit A. Hal ini disebut “trade” dalam perdagangan karbon.

Sementara konsep offset memungkinkan pembangkit membuat komitmen penurunan emisi di area wilayah lain untuk mengimbangi kelebihan emisi mereka. Misalnya, pembangkit B bersedia menanam pohon dalam sejumlah besar atau membantu investasi pembangkit ramah lingkungan. Selama komitmen pembangkit B bisa menurunkan emisi 25 ton, maka kelebihan emisi 25 ton yang ia hasilkan bisa dianggap impas.

Melansir Reuters, konsep ini sempat menuai kritik karena seolah membiarkan perusahaan tertentu untuk tetap menghasilkan emisi yang tinggi selama mereka mampu membayar kepada perusahaan lain yang menghasilkan emisi rendah.

Dengan kata lain, penurunan emisi yang terjadi seolah akan terus tergantikan oleh kenaikan emisi perusahaan lain. Dus dikhawatirkan tidak ada perubahan signifikan dari emisi karbon yang dihasilkan.

Baca juga artikel terkait EMISI GAS RUMAH KACA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri