tirto.id - Sejumlah pihak mendesak pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, untuk bersikap tegas dalam mengantisipasi penggunaan isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017, sebab penggunaan isu SARA dalam politik dinilai dapat membawa dampak buruk bagi bangsa Indonesia dan mencederai hak warga negara untuk memperoleh hak berpolitik yang setara di Tanah Air.
"Presiden harus bicara dan menegaskan bahwa tidak ada tempat dalam republik ini soal SARA. Siapapun punya kesempatan sama di republik ini untuk menjadi kepala daerah," ujar Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos di Jakarta, Jumat (14/10/2016), seperti dikutip dari kantor berita Antara.
Lebih lanjut, dalam kasus dugaan penistaan Al Quran Surat Al Maidah Ayat 51 yang ditudingkan kepada calon Gubernur DKI Jakarta petahana Basuki Tjahaja Purnama, ia menegaskan bahwa hal tersebut masih dapat diperdebatkan, sekaligus menyarankan agar hal itu dikaji dan dicermati betul.
Dia menilai seluruh pihak sebaiknya menahan diri untuk menyimpulkan pernyataan Ahok sebagai sebuah penistaan kitab suci.
Di sisi lain, pernyataan Ketua Majelis Ulama Indonesia yang menyebut kasus Ahok merupakan penghinaan terhadap Al Quran, menurutnya, merupakan suatu sikap personal yang menunjukkan Ketua MUI tengah berpolitik.
"Pernyataan Ketua MUI aneh, karena MUI biasanya mengeluarkan fatwa melalui kajian-kajian dan dirumuskan bersama. Kalau ini, diduga hanya sikap Ketua MUI," jelasnya, sembari menambahkan jika MUI semestinya hanya memberikan teguran terhadap Ahok jika merasa pernyataan Ahok salah.
Sebelumnya, Ahok diduga melecehkan Alquran. Mantan Bupati Bangka Belitung itu dituding menyebut makna yang tertuang dalam surat Al-Maidah 51 adalah bohong saat melakukan kunjungan kerja di Kepulauan Seribu. Ahok sendiri secara personal telah meminta maaf atas pernyataannya itu.
Di sisi lain, peneliti senior Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai, survei terkait pemilihan kepala daerah yang menunjukkan pengaruh sentimen etnis dan agama terhadap calon tertentu telah mengusik nasionalisme, kebhinnekaan dan toleransi di Tanah Air.
"Misalnya survei yang dilakukan sebuah lembaga di Jakarta yang menyatakan jumlah pemilih yang menolak calon gubernur yang beragama lain atau keturunan etnis tertentu mencapai hampir 50 persen. Hasil survei itu mengagetkan karena hasilnya cukup dramatis," kata Karyono.
Menurutnya, hasil survei tersebut mengagetkan sekaligus dramatis karena bisa diartikan hampir setengah dari total pemilih di Jakarta intoleran terhadap calon gubernur yang beragama lain. Bila temuan survei itu benar, maka Karyono menilai rasa kebangsaan dan nilai-nilai kebhinekaan warga Jakarta sedang dalam masalah.
"Berarti nilai-nilai nasionalisme, toleransi dan kebhinnekatunggalikaan di Jakarta dalam keadaan bahaya," ujarnya.
Sebagai catatan, pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 akan diikuti tiga pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur. Mereka adalah Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat yang diusung PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Hanura dan Partai Nasdem. Kemudian Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni yang diusung Partai Demokrat, PPP, PKB dan PAN dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang diusung Partai Gerindra dan PKS.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara