Menuju konten utama

Pemerintah Didesak Reformasi Kebijakan Penggunaan Batu Bara

Polusi udara yang diakibatkan batu bara bisa menyebabkan jantung, stroke, asma dan kanker paru, hingga kematian dini.

Pemerintah Didesak Reformasi Kebijakan Penggunaan Batu Bara
Pekerja perempuan memakai masker yang dibagikan oleh Aliansi Paru Hitam Bengkulu di area Stock File Pelabuhan Pulau Baai, Kota Bengkulu, Senin (26/2/2018). ANTARA FOTO/David Muharmansyah

tirto.id - International Institute for Sustainable Development (IISD) Global Subsidies Initiative (GSI) mendesak Pemerintah Indonesia melakukan kebijakan untuk mengurangi penggunaan batu bara agar dapat mengurangi dampak negatif polusi udara.

Konsultan Peneliti IISD Global Subsidies Initiative (GSI), Bernadethe Luan mengatakan, penggunaan batu bara menciptakan polusi yang memicu maraknya penyakit tidak menular (PTM), mulai dari jantung, stroke, asma dan kanker paru, hingga kematian dini.

Berdasarkan penelitian IISD, pada 2011 Indonesia memiliki angka kematian dini akibat pembakaran batu bara sebanyak 7.500. Angka ini diperkirakan meningkat menjadi 25 ribu pada 2030 apabila tidak segera ditangani.

Luan mengatakan, maraknya penyakit tidak menular (PTM) akibat polusi ini sangat berdampak kepada masyarakat berpenghasilan rendah di Indonesia.

"Bukan tanpa alasan. Biaya berobat menggerus 41-82 persen total pengeluaran rumah tangga per tahun. Karena sebagai penyakit kronis, meski hanya satu anggota keluarga menderita PTM, anggota keluarga yang lain akan turut menderita secara ekonomi dalam kurun waktu yang lama," ujar Luan di Jakarta pada Kamis (26/7/2018).

Bahkan dalam setahun, kata Luan, penderita PTM seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat kehilangan waktu kerja hingga dua bulan. Waktu produktifitas yang hilang tersebut bukan saja berdampak buruk kepada penghasilan keluarga, tetapi juga secara ekonomi.

“Kenyataan ini bukan saja berdampak buruk bagi penghasilan keluarga, tetapi secara ekonomi, pengusaha dan pemerintah Indonesia juga akan terkena imbas. Data WHO mengindikasi bahwa di Indonesia, kematian dini akibat PTM pada angkatan kerja berusia di atas 30 tahun mencapai hampir seperempat dari total kematian akibat PTM,” terangnya.

Menurut Luan, saat ini Indonesia menjadi satu dari lima produsen baru bara terbesar di dunia dan pengekspor batu bara terbesar dunia. Hal itu berdasarkan penelitian International Energy Agency pada 2017.

Sementara data Kementerian ESDM, lebih dari 60 persen lisrtrik di Indonesia dihasilkan di pembangkit listrik batu bara (PLTU) dan jumlah listrik dari batu bara diperkirakan akan meningkat hampir dua kali lipat pada 2027.

Ia mengungkapkan, negara-negara konsumen batu bara besar, seperti Cina dan India saat ini sedang berupaya mengurangi ketergantungan terhadap batu bara untuk mengurangi polusi udara.

Berdasarkan data yang dihimpun IISD GSI, polusi udara akibat batu bara diperkirakan menyebabkan lebih dari 241 ribu kematian dini di Cina pada 2013 dan kematian 169 ribu penduduk di India pada 2015.

Sementara itu, Country Coordinator IISD di Indonesia, Lucky Lontoh mengatakan pemerintah Indonesia harus menguatkan komunikasi lintas kementerian yang terkait batu bara dan polusi udara, antara lain Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kesehatan dan Kementerian Ketenagakerjaan.

“Perlu ada sinkronisasi lintas kementerian dalam hal regulasi dan implementasi kebijakan dalam menangani masalah polusi udara, karena wilayah kerja kementerian-kementerian ini berbeda-beda. Padahal, apa yang mereka kerjakan berkaitan satu sama lain,” ujar Lucky.

Menurutnya, harus ada kajian kebijakan dan program nasional untuk mengatasi masalah ini. "Kebijakan khusus juga wajib dibuat untuk menguatkan penggunaan energi baru terbarukan guna mencapai target 23 persen energi terbarukan di 2025," terangnya.

Selain itu, Lucky juga menegaskan bahwa organisasi, sektor wisata dan perguruan tinggi juga harus berperan aktif meningkatkan penelitian terkait dampak polusi udara akibat batubara.

"Termasuk menggenjot pemahaman dan keterampilan petugas kesehatan tentang identifikasi dan cara penanganan penyakit yang disebabkan," ucapnya.

Menurut dia, penelitian mengenai dampak polusi udara menjadi penting mengingat pekerja di industri batu bara adalah pihak yang rawan mengalami penyakit paru-paru hitam (black lung disease) akibat asap hasil pembakaran batu bara. Akibatnya, ada pengerutan paru-paru akibat debu reaktif, yakni debu silika.

Namun sayangnya, Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Kemenaker Sudi Astono mengatakan penyakit akibat kerja ini belum begitu dipahami oleh industri, bahkan petugas kesehatan yang berada di lingkungan perusahaan.

"Butuh penanganan khusus, yang berbeda dari penyakit biasa, kalau tidak penanganannya menjadi tidak maksimal. Di Indonesia per tahun terdapat setidaknya 105 ribu kecelakaan kerja dengan 50 penyakit akibat kerja," ungkap Sudi Astono.

Baca juga artikel terkait POLUSI UDARA atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto