Menuju konten utama

Pemerintah Akan Menaikkan Harga BBM Subsidi di Tahun Politik?

Meski harga minyak dunia naik dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah dinilai tidak akan merevisi harga BBM subsidi di tahun politik.

Pemerintah Akan Menaikkan Harga BBM Subsidi di Tahun Politik?
SPBU Pertamina. FOTO/Wikicommon

tirto.id - PT Pertamina (Persero) menetapkan harga baru jenis bahan bakar minyak non-penugasan (non-subsidi) yang berlaku mulai Sabtu, 24 Februari 2018. Jenis BBM yang naik meliputi: Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex.

Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero), Adiatma Sardjito menuturkan langkah tersebut diambil seiring evaluasi harga jual BBM non-subsidi yang dilakukan secara periodik. Jika harga minyak dunia bergerak naik, maka harga jual BBM hingga konsumen harus mengalami penyesuaian.

Harga minyak dunia memang menunjukkan tren naik sejak beberapa bulan terakhir. Harga minyak jenis Brent misalnya, naik sebesar US$ 4,99 per barel dari US$ 64,09 menjadi US$ 69,08 per barel pada Januari 2018.

Tidak hanya Brent, minyak jenis West Texas Intermediate juga menguat menjadi US$ 63,67 per barel dari sebelumnya US$ 57,95. Peningkatan harga minyak mentah utama di pasar internasional tersebut diakibatkan beberapa faktor, salah satunya kesepakatan pembatasan produksi negara anggota OPEC dan Non OPEC di akhir November 2017.

Tren kenaikan minyak mentah dunia membuat Indonesia Crude Price (ICP) ikut naik. Tim Harga Minyak Indonesia menyatakan, dari hasil perhitungan Formula ICP, harga rata-rata ICP minyak mentah Indonesia, pada Januari 2018 mencapai US$ 65,59 per barel, naik sebesar US$ 4,69 dari US$ 60,90 per barel pada Desember 2017. ICP ini di atas ketentuan APBN 2018 yang dipatok US$ 48 per barel.

Melihat ICP pada Januari jauh di atas ketentuan yang dipatok dalam APBN 2018, apakah harga BBM subsidi akan ikut naik?

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro memprediksi, pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM subsidi dalam waktu dekat ini. Alasannya, kata dia, di tahun politik, menjaga harga BBM subsidi tetap stabil adalah hal yang sangat penting.

“Mungkin orang melihatnya beda-beda, mungkin tokoh politik melihatnya untuk pencitraan. Tapi kalau saya melihatnya di tahun politik itu memang perlu kondisi yang kondusif dari segi harga energi,” kata Komaidi, kepada Tirto, Minggu (25/2/2018).

Menurut Komaidi, harga energi memiliki pengaruh besar terhadap kemaslahatan masyarakat luas, sehingga perlu dijaga kestabilannya.

“Makanya dikondisikan itu tidak ada kenaikan. Tapi itu tentu harus ada yang dibayar kan. Salah satunya, ya subsidi itu karena sudah dipilih, ya pemerintah harusnya konsekuen, harus ada subsidi. Di APBN-nya juga ditetapkan enggak ada kenaikan,” kata dia.

Meski harga minyak mentah dunia diprediksikan bisa menyentuh level tinggi USD 80 per barel, Komaidi tetap meyakini pemerintah tidak akan melakukan revisi ketentuan harga BBM subsidi.

“Enggak akan ada revisi atas keputusan pemerintah. Kalau yang disampaikan Menkeu [Sri Mulyani] dan Menteri ESDM [Ignatius Jonan] kan gitu, kalau keputusan pemerintah kan enggak akan naik ya sampai 2019,” kata Komaidi.

Berdasarkan kesepakatan pemerintah dan DPR, kata Komaidi, selisih harga antara harga minyak mentah dunia dengan kebutuhan BBM subsidi akan ditanggung Pertamina. Menurut dia, tujuan pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat menjelang tahun politik ini harus dipahami sebagai sesuatu yang penting.

Namun, kata Komaidi, pemerintah juga harus membuat formulasi untuk Pertamina agar dapat menanggung beban biaya stabilisasi harga BBM subsidi tersebut. Menurut Komaidi, perusahaan pelat merah itu sudah memiliki beban sangat berat, mengingat adanya program BBM Satu Harga.

“Jauh sebelumnya, kan, udah disampaikan bahwa Pertamina sudah cukup berat menanggug cashflow-nya untuk menanggung itu semua. Apalagi untuk menjalankannya BBM Satu Harga juga, butuh banyak biaya. Jadi, mau enggak mau harus ada formulasinya,” kata dia.

Menurut Komaidi, cara alternatif yang bisa dilakukan pemerintah untuk membantu Pertamina menjaga harga BBM subsidi di tengah gejolak harga minyak dunia, salah satunya dengan mengurangi kewajiban dividen ke pemerintah. Langkah lain, bisa juga dengan mengurangi tanggung jawab pajak.

Kata dia, takaran pengurangan dividen atau pajak nantinya bisa disesuaikan dengan klaim beban yang ditanggung Pertamina. “Dimainkan saja di kantong kiri, kantong kanannya. Penugasan ini harus ada kompensasinya. Tujuannya bagus, tapi harus dibentuk dengan cara yang benar,” kata dia.

Komaidi menuturkan, solusinya tidak bisa dengan cara subsidi silang di internal Pertamina. Dalam konteks ini, misalnya, Pertamina tidak boleh menutup defisit subsidi BBM dengan cara menaikkan harga produk BBM non-subsidi.

“Itu enggak sehat nantinya. Nanti Pertamina bisa over memberikan harga untuk [BBM] non-subsidinya. Harganya terlalu tinggi dibanding yang wajar atau pesaingnya, seperti Total, Sell. Daya saing Pertamina bisa menurun,” kata dia.

Sementara ini, kenaikan rata-rata harga BBM non-subsidi yang diberlakukan Pertamina per 24 Februari 2018, berkisar Rp100 hingga Rp 300 di semua wilayah Indonesia. Menurut Komaidi, hal itu masih cukup wajar, belum mengindikasikan ada praktik subsidi silang.

“Kenaikkan ini saya lihat karena variabelnya harga minyak mentah dunia naik. Kalau digunakan untuk subsidi silang, itu kalau yang lainnya enggak naik, tapi Pertamina menaikkan. Tapi, ini harganya juga enggak jauh berbeda dengan para pesaingnya,” kata dia.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa. Menurut Fabby, harga BBM subsidi tidak akan terkerek naik di tahun politik. Kendati demikian, kata Fabby, hal itu tentu akan mempengaruhi laba Pertamina.

“Tahun politik saya kira sangat membutuhkan keterjagaan harga BBM subsidi. Dan beban dimandatkan ke Pertamina karena mungkin dianggap Pertamina masih bisa menanggung harga itu. Tapi, memang sekarang tinggal Pertamina gimana mengefisiensikan pengadaan BBM subsidi,” kata dia.

Menurut Fabby, kebutuhan subsidi saat ini sebenarnya tidak terlalu besar yang dibebankan kepada Pertamina. Hal ini dikarenakan subsidi BBM tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya. Apalagi, saat ini yang BBM yang disubsidi hanya jenis solar dan minyak tanah. Sementara BBM jenis Premium (RON 88) sudah tidak lagi disubsidi, melainkan pemerintah hanya menentukan dan menetapkan harganya.

Pada 2017, Pertamina masih mampu membukukan laba USD 2,41 miliar atau Rp32,24 triliun. Namun, perolehan laba ini turun 24 persen dibandingkan 2016 yang mencapai USD 3,15 miliar. Salah satu faktor penyebab turunnya laba ini adalah BBM yang tidak berubah di tengah harga minyak dunia yang naik tahun lalu.

Sementara itu, pihak Kementerian ESDM saat diminta tanggapannya soal komitmen pemerintah mempertahankan harga BBM subsidi, belum memberikan tanggapan pasti. Sementara Vice President Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito hanya melontarkan tanggapan “Saya tidak tahu.”

Baca juga artikel terkait KENAIKAN HARGA BBM atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz