Menuju konten utama

Pemboikotan Metro TV oleh Tim Prabowo dan Wacana Netralitas Media

Wacana netralitas media terhadap politik praktis mengemuka kembali setelah tim kampanye Prabowo-Sandi memboikot Metro TV.

Pemboikotan Metro TV oleh Tim Prabowo dan Wacana Netralitas Media
Pasangan Capres-Cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kedua kiri)-Maaruf Amin (kiri) dan nomor urut 02 Prabowo Subianto (ketiga kiri)- Sandiaga Uno (kanan) berbincang saat menghadiri Deklarasi Kampanye Damai dan Berintegritas di kawasan Monas, Jakarta, Minggu (23/9). Deklarasi tersebut bertujuan untuk memerangi hoaks, ujaran kebencian dan politisasi SARA, supaya tercipta suasana damai selama penyelenggaraan Pilpres 2019. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/kye/18

tirto.id - Kasus pemboikotan Metro TV oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memunculkan kembali wacana tentang netralitas media massa. Dalam kasus ini BPN menilai Metro TV tak berimbang dan tendensius.

Meski tak pernah dinyatakan secara eksplisit, namun pemboikotan ini jelas terkait dengan kepemilikan Metro TV. Stasiun televisi yang resmi mengudara dua tahun setelah Suharto jatuh ini dimiliki Surya Paloh, Ketua Umum Nasdem, partai pendukung Jokowi, lawan Prabowo-Sandi dalam Pilpres.

Tuduhan soal keberpihakan media sebetulnya bukan barang baru. Berdasarkan laporan pengawasan kampanye peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 dari Bawaslu Provinsi, media cetak dan daring yang tidak berimbang dalam pemberitaan jumlahnya mencapai 95 kasus.

Benarkah Harus Netral?

Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan, perusahaan pers memang idealnya terlepas dari urusan politik praktis dan tidak diintervensi oleh siapa pun.

"Kalaupun pers harus berpihak, seharusnya keberpihakan tersebut kepada kepentingan publik, bukan pada suatu kelompok maupun golongan politik tertentu," katanya kepada reporter Tirto, Selasa (27/11/2018) lalu.

Ade Wahyudin menilai, berpihak kepada kandidat tertentu bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap pers itu sendiri.

"Hal ini akan membuat publik lebih memilih informasi alternatif yang tidak bisa dipertanggungjawabkan etika jurnalistiknya. Ini lebih bahaya."

Peneliti Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto mengatakan hal yang kira-kira sama. Berpihak boleh saja, katanya kepada reporter Tirto, Rabu (28/11/2018) pagi, tapi "bukan kepada pihak tertentu, tetapi pada nilai-nilai tertentu seperti anti korupsi dan membela lingkungan hidup."

Sayangnya, dosen dari Universitas Multimedia Nusantara ini mengatakan yang terjadi sekarang adalah media membela masing-masing kandidat. "Dan itu bukan contoh yang benar," tegas Ignatius.

"Dampak pertama dan terburuk dari ketidakindependenan media adalah masyarakat. Masyarakat tak lagi bisa percaya atau bingung mau percaya media yang mana," kata Ignatius. Keadaan seperti itu memunculkan gejala post-truth: saat masyarakat atau publik hanya ingin percaya dengan apa yang mereka percaya saja, bukan berdasarkan fakta atau kebenaran yang sudah diberikan.

Boleh Saja Berpihak, Asal...

Tapi peneliti media Andreas Harsono punya pendapat lain. Ia justru mengatakan bahwa media dan wartawan boleh memihak, asal tidak membabi buta.

"Wartawan boleh punya posisi. Media juga boleh punya posisi. Harian Jakarta Post menjelaskan posisi mereka dukung Jokowi pada Pemilihan Presiden 2014. Ini jamak di berbagai negara. Namun wartawan harus menjaga independensi mereka. Jangan karena dukung Jokowi atau Prabowo lantas tak bisa independen. Kubu Jokowi bisa salah. Kubu Prabowo juga bisa salah," katanya Selasa lalu.

Andreas bahkan mengatakan bahwa netralitas bukan tujuan dari jurnalisme itu sendiri. Tujuan jurnalisme adalah melaporkan kebenaran. "Bukan kebenaran filosofis, tapi kebenaran fungsional. Kita hidup memerlukan kebenaran fungsional, dalam bentuk berita, buat mengatur kehidupan sehari-hari kita."

Apakah mungkin berposisi di satu sisi, dan tetap independen di sisi lain? Menurut Andreas: bisa. Misalnya dengan membedakan antara liputan yang harus cover both side dan editorial.

Andreas mendorong adanya pers yang sehat dan bisa jernih meliput Pilpres—yang mungkin sulit karena para pemilik media kini sudah merapat ke kandidat. Untuk mencapai ini ia mengingatkan para wartawan agar lebih kritis.

"Kadang dalam rangka mendapatkan suara, ada politisi mengeluarkan pernyataan yang mungkin populer tapi berhimpitan dengan rasialisme dan sektarianisme. Mereka sebarkan ketakutan dan kebencian. Ia berbahaya macam Donald Trump," katanya.

Wartawan, menurut Andreas, perlu menjelaskan kepada khalayak bahwa politisi seperti itu dapat menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan.

"Itu akan membuat jurnalisme lebih bermutu. Makin bermutu jurnalisme, terutama pada masa genting, maka makin bermutu pula masyarakat tersebut," katanya.

Bagaimana Mendorong Pers yang Sehat

Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo punya beberapa kiat untuk mendorong pers yang sehat dan kompeten ketika melakukan peliputan di tahun politik. Salah satunya adalah dengan menjaga independensi ruang berita (newsroom). Ia mengatakan pers tak boleh menjadi "joki politik."

"Penting juga untuk menjaga firewall. Membedakan mana iklan dan mana redaksi. Jangan sampai iklan ditulis di rubrik berita," katanya.

Para pemimpin perusahaan media juga dinilai perlu memahami UU Pemilu secara lebih detail dan komprehensif agar tak terjadi lagi pelanggaran saat Pemilu.

"Yang bahaya kan jika pimpinan media sama orangnya dengan pimpinan redaksi, sama juga orangnya dengan pimpinan politik. Fenomena media abal-abal. Banyak kejadian seperti itu," katanya.

Baca juga artikel terkait BOIKOT METRO TV atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino