tirto.id - Eddy Tansil adalah legenda kasus pembobolan bank di Indonesia. PT Golden Key Group (GKG), perusahaannya yang bergerak di bidang petrokimia, jadi pintu masuk membobol Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) Rp1,3 triliun. Perusahaan itu mengajukan kredit dan disetujui untuk membangun tiga pabrik yang proyeknya tak pernah terealisasi alias fiktif.
Saat itu, Eddy Tansil mampu membobol bank karena campur tangan kekuasaan.“Kredit yang mulai diberikan pada 1991 dengan cara ilegal itu pada 1994 telah membengkak sampai Rp1,3 triliun. Dalam memperoleh kredit ini, Eddy Tansil sempat memanfaatkan katebeletje atau surat sakti yang ditulis Sudomo,” tulis Kees Bertens dalam buku Pengantar Etika Bisnis (2000:220).
Setelah era Eddy Tansil, aksi pembobolan bank silih berganti mewarnai kasus kejahatan perbankan di Indonesia. Kasus yang masih hangat adalah pembobolan kredit Bank Mandiri cabang Bandung. Kasus yang dinyatakan sebagai kerugian negara atas pemberian fasilitas kredit oleh Bank Mandiri kepada PT Tirta Amarta Bottling Company (TAB) total nilainya mencapai Rp1,83 triliun.
Jumlah kerugian tersebut merupakan hasil hitungan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). I Nyoman Wara, Auditor Utama Investigasi BPK menyatakan, nilai kerugian tersebut merupakan akumulasi dari tunggakan pokok utang PT TAB disertai bunga kredit.
“Kami telah menyelesaikan penghitungan kerugian negara atas kasus Bank Mandiri terkait pemberian kredit kepada PT TAB, dan menyimpulkan hasil pemeriksaan atas perhitungan kerugian negara jumlahnya sekitar Rp1,83 triliun. Perhitungan ini berdasarkan data-data yang kompeten dan valid, yang kami peroleh dari penyidik,” kata Nyoman Wara medio Mei lalu.
Pada perkara Bank Mandiri, kasus ini diduga melibatkan orang dalam dengan ditetapkannya beberapa nama petinggi Bank Mandiri sebagai tersangka antara lain Manager Komersial Perbankan, Relationship Manager, dan Senior Kredit Risk Manager. Keterlibatan pihak PT TAB, antara lain direktur dan kepala kepala bidang akuntansi PT TAB. Modusnya dengan memanipulasi data aset untuk mendapatkan perpanjangan fasilitas kredit, dan uangnya dipakai di luar perjanjian kredit dan kepentingan pribadi.
Kasus kejahatan perbankan memang terjadi dengan berbagai modus. Pada 2013 anak usaha Bank Mandiri yaitu Bank Syariah Mandiri (BSM) cabang Bogor terjerat kasus penyaluran kredit fiktif senilai Rp102 miliar. Kejahatan ini diketahui merupakan bagian dari sindikat perbankan.
Empat orang tersangka ditetapkan dalam kasus ini, tiga orang merupakan karyawan BSM. Modus yang digunakan tersangka adalah dengan memalsukan identitas 197 nasabah fiktif baik melalui identitas nasabah maupun melalui persyaratan administrasi lainnya. Kasus ini bermula dari laporan yang diajukan BSM Pusat kepada Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian Republik Indonesia yang kemudian melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Modus kejahatan perbankan lainnya berupa pemalsuan dokumen yang berujung pada pembobolan dana nasabah. Ini setidaknya pernah terjadi di BSM medio 2014-2015 yang melibatkan dua orang karyawan BSM dengan nilai kerugian dari kasus kali ini mencapai Rp50 miliar. Dua karyawan adalah Manager Marketing BSM Cabang Gatot Subroto dan Trade Specialist Officer BSM.
Kasus lainnya adalah penawaran bilyet deposito palsu oleh oknum karyawan berstatus Kepala Kantor Kas PT Bank Tabungan Negara (BTN). Total kerugian dana nasabah akibat bilyet deposito palsu mencapai Rp256 miliar, yang dilakukan di dua kantor kas.
“Oknum menawarkan produk deposito dengan tingkat bunga jauh di atas yang ditawarkan BTN. Sindikat ini juga memalsukan spesimen tanda tangan dan data nasabah,” ucap Maryono, Direktur Utama BTN seperti dilansir dari Antara.
Kejahatan kerah putih lain berupa kasus dugaan korupsi pencairan deposito juga terjadi di Bank Permata. Salah satu tersangka adalah mantan Kepala Cabang Bank Permata Kenari Jakarta Pusat, yang bekerja sama dengan Direktur Keuangan sebuah perusahaan yaitu PT Bali Tour Development Corporation (BTDC).
Kedua tersangka tersebut diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan melakukan pencairan dana deposito berjangka serta pemanfaatan bunga deposito milik perusahaan, yang sebesar Rp6 miliar. Terdapat dugaan, pencairan serta pemanfaatan bunga deposito tanpa menggunakan bilyet giro yang asli.
Aplikasi pencairan bilyet giro tidak ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, serta pencairan dilakukan tanpa proses konfirmasi kepada PT BTDC sebagai pemilik dana. Kasus serupa juga sempat terjadi di Bank Mega yang melibatkan PT Elnusa.
Dana deposito berjangka dalam bentuk deposito on call milik PT Elnusa senilai Rp111 miliar yang tersimpan di brankas Bank Mega Cabang Jababeka, Cikarang, Bekasi, dinyatakan hilang secara sepihak oleh Bank Mega. Modus raibnya sejumlah dana tersebut melalui pemalsuan bilyet depisito dan spesimen tanda tangan pejabat Elnusa yang dilakukan oleh Kepala Cabang Bank Mega Jababeka.
Enam orang menjadi tersangka dalam kasus ini termasuk Direktur Keuangan Elnusa dan Kepala Cabang Bank Mega Jababeka. Kedua pihak ini diduga mencairkan deposito tanpa sepengetahuan perusahaan. Dana deposito yang dicairkan secara bertahap ini diduga digunakan untuk investasi saham berjangka.
Aksi kriminal pembobolan rekening nasabah juga dilakukan oleh oknum mantan pegawai Bank CIMB Niaga cabang Jemursari, Surabaya yang sempat menjabat Relationship Manager. Ini artinya pembobolan bank bisa terjadi tak hanya terkait orang dalam bank yang masih aktif, tapi mantan karyawan bank pun bisa melakukannya. Modus kejahatan dilakukan dengan membuat aplikasi pengajuan rekening baru atas nama seorang nasabah lalu memindahkan dana melalui e-banking.
“Sebagai seorang manajer, ia memiliki akses untuk melihat data pribadi nasabah. Sementara, tanda tangan nasabah yang dibobol rekeningnya, dipalsukan,” ujar Suparlan Hadiyanto, Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara Rina seperti dilansir dari Kompas.
Kejahatan perbankan lainnya yang cukup fenomenal dan membuat gempar publik adalah pembobolan rekening nasabah yang kemudian berkembang sebagai tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan oleh Inong Malinda, mantan Relationship Manager Citibank di kantor cabang Citibank Landmark, Jakarta Selatan.
Modus operandi yang dilakukan perempuan yang dikenal dengan nama Malinda Dee ini adalah dengan memindahkan sejumlah dana milik nasabah tanpa seizin pemilik dana, ke beberapa rekening yang dikuasai Malinda termasuk ke rekening adik kandung, adik ipar serta suaminya.
Dalam berkas salinan putusan perkara, dijelaskan bahwa Malinda Dee melakukan transfer dana dari rekening para nasabah Citigold Citibank Landmark dengan cara meminta tandatangan nasabah dalam formulir transfer yang masih kosong atau belum diisi.
Dalam praktiknya, kolom tandatangan dalam formulir transfer bahkan sering diisi sendiri oleh Malinda Dee. Selanjutnya, tanpa persetujuan atau permintaan dari nasabah, Malinda Dee mengisi seluruh formulir transfer secara lengkap termasuk nama penerima, nomor rekening penerima, bank penerima, jumlah nominal uang yang dipindahbukukan dan isi pesan.
Ini seolah-olah para nasabah tersebut benar-benar melakukan transaksi dana. Padahal kenyataannya, perbuatan tersebut bukan atas perintah atau tanpa permintaan atau tidak seizin para nasabah yang bersangkutan. Data-data yang ditulis Malinda Dee dalam formulir transfer tersebut merupakan data yang tidak sah atau palsu.
Formulir transfer dana ini kemudian diproses tanpa kehadiran, tanda pengenal, maupun tandatangan nasabah yang sesuai dalam sistem. Padahal dalam ketentuan SOP, transfer dana harus dihadiri oleh nasabah dan menyertakan kelengkapan lainnya. Aksi ini memang tidak mungkin dilakukan Malinda Dee tanpa adanya kepercayaan maupun kedekatan dengan nasabah.
Laporan Tahunan OJK (PDF) menyebutkan, selama triwulan IV-2017 terdapat penambahan 41 pelaku yang merupakan orang dalam bank yang terlibat dalam Tipibank. Sebagian besar kasus dugaan Tipibank setara dengan 75 persen terkait dengan perkreditan dan sisa 25 persen terkait dengan penyalahgunaan dana nasabah. Adapun pelaku dugaan Tipibank didominasi oleh direksi yang mencapai 10 orang setara 67 persen serta pejabat eksekutif sebanyak 5 orang setara 33 persen.
Modus (PDF) yang dilakukan antara lain terkait penyalahgunaan wewenang, melanggar prinsip kehati-hatian, penyimpangan atau melakukan kredit fiktif, dan lainnya.
Yenti Garnasih, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Trisakti menuturkan, kejahatan perbankan yang terjadi di Indonesia sering melibatkan orang dalam bank itu sendiri. “Karena sebetulnya sulit sekali membobol bank tanpa ada kerja sama dengan pihak bank, apalagi bila sistem kontrol berjalan dengan baik,” tulis Yenti dalam materi seminar tentang Optimalisasi Pengejaran Aset Pelaku Tindak Pidana Perbankan dikutip dari laman LPS.
Masih berdasarkan materi seminar tersebut, Yenti menambahkan berbagai modus yang digunakan dalam pembobolan bank yang didalangi oleh orang luar bank, seringkali justru terjadi atas bantuan orang dalam bank. Hal itu dimungkinkan terjadi dengan adanya kerja sama ataupun hanya sekadar membantu dengan mendapatkan upah atau komisi atas hasil kejahatan perbankan tersebut.
Cara konservatif berupa modus pemalsuan, penipuan dan penggelapan atas dana nasabah, masih berpeluang terjadi di era digital ini. “Menarik untuk dicermati adalah bahwa sebagian besar kejahatan perbankan selalu melibatkan oknum bank yang bersangkutan, mulai dari teller sampai dengan top level di lembaga keuangan tersebut,” lanjut Yenti.
Editor: Suhendra