tirto.id - Sentimen anti-asing tak cuma muncul di Indonesia. Di Cina, sekitar satu abad silam, retorika serupa juga pernah mengisi lanskap sosial-politik masyarakat setempat. Bahkan, lahir konsekuensi yang jauh lebih buruk: ratusan orang tewas. Peristiwa inilah yang kemudian disebut “Pemberontakan Boxer” (“Boxer Uprising”).
Pemberontakan Boxer pada dasarnya merupakan gerakan yang mendukung pemberontakan petani pada 1900-an yang berupaya mengusir semua orang asing dari Cina. Nama “Boxer” sendiri adalah sebutan akademisi Barat untuk mereka yang tergabung dalam kelompok militan bernama Yihequan.
Berbeda dengan Pemberontakan Baguadao—yang menyerang Dinasti Qing, orang-orang Boxer—dan para petani—tidak menargetkan pemerintahan, melainkan masyarakat asing. Pemicunya yaitu kemiskinan yang melanda di daratan Cina Utara yang disebabkan oleh bencana alam hingga imperialisme asing. Keadaan tersebut membuat orang-orang Boxer meningkatkan keamanan mereka di provinsi-provinsi Cina Utara. Popularitas mereka pun meroket tajam. Hal yang mencolok: publik percaya bahwa mereka kebal.
Tak sekadar menyasar orang-orang asing, sentimen Boxer juga menargetkan orang-orang yang beragama Kristen. Bagi mereka, orang-orang Kristen dinilai telah merusak tatanan keagamaan di Cina Utara. Pada pengujung 1899, kelompok Boxer menyerang orang-orang Cina Kristen dan misionaris dari Barat. Eskalasi konflik meluas hingga Beijing: gereja dibakar dan orang-orang dibunuh.
Kekacauan yang melanda Cina mendorong negara-negara Barat, seperti AS, Australia, serta beberapa negara Eropa menerjunkan pasukan gabungan guna menumpas pemberontakan Boxer. Pada 7 September 1901, tepat hari ini 119 tahun lalu, upaya itu membuahkan hasil: konflik berhenti dan pemerintahan Cina, diwakili Dinasti Qing, setuju membayarkan repatriasi kepada pihak asing.
Kapitalisme dan Agama
Impian mulia Sarah Alice Young untuk menyebarkan nilai-nilai agama ternyata berujung tragis. Pada akhir 1899, Sarah, seorang misionaris asal AS, ditikam sampai mati di tepi Sungai Kuning. Ia menjadi satu di antara 180 korban tewas yang dibantai oleh pemberontak Boxer, demikian tulis John Gittings dalam “Lost Souls” yang diterbitkan The Guardian (2000).
Bagi Sarah dan rekan-rekannya sesama misionaris, tinggal di Cina pada masa itu adalah pilihan hidup yang berisiko tinggi. Misionaris dipandang oleh banyak orang Cina sebagai agen kekuatan asing yang berusaha merusak tatanan budaya Cina. Praktik keagamaan mereka yang dilihat aneh dituding menjadi biang keladi dari munculnya banjir, kekeringan, hingga kematian yang tak dapat dijelaskan.
Membicarakan kiprah pemberontak Boxer tak bisa dilepaskan dari bagaimana faktor-faktor seperti kemiskinan, sentimen agama, serta imperialisme Barat saling berkelindan dan membentuk satu spektrum konflik yang besar sekaligus kuat.
Asal-usul Boxer, seperti dicatat Peter Perdue dan Ellen Sebring dalam “The Boxer Uprising: The Gathering Storm in North China (1860-1900)” (PDF, 2016), mayoritas diisi para massa petani yang dipersenjatai dengan pedang dan tombak. Identitas mereka kerap disebut dengan “Yihequan” atau “Yihetuan” dan masif bermunculan pada akhir abad ke-18 di wilayah Cina Utara—Provinsi Shandong dan Hebei.
Boxer, yang menarik ribuan petani—khususnya berusia muda—miskin, dikenal memiliki kemampuan bela diri yang unggul. Mereka disebut-sebut punya mantra sekaligus jimat yang dapat bikin tubuh kebal dari segala serangan—termasuk dari peluru tajam. Bahkan, mereka seringkali mengklaim dirasuki oleh dewa-dewa lokal yang memberi mereka kekuatan untuk menyembuhkan orang sakit.
Kehadiran Boxer didorong karena kemiskinan yang merajarela di wilayah Cina Utara. Okupasi negara-negara Barat seperti Jerman di Shandong, Perancis di selatan Cina, hingga Inggris di Lembah Yangtze, yang dianggap mengeruk sumber daya ekonomi secara besar-besaran, semakin bikin situasi tambah susah.
Kelompok Boxer pertama kali muncul di Shandong, bertepatan dengan kedatangan Jerman di wilayah itu. Saat Jerman tiba, Sungai Kuning meluap, membikin tanggul jebol dan banjir besar, sebelum akhirnya kekeringan melanda selama dua tahun. Kondisi ini membikin pemberontak muak dan menyalahkan orang-orang asing atas penderitaan yang ada. Belum lagi banyak bandit yang memeras uang warga dan para pejabat lokal tidak berdaya untuk menekannya.
Target aksi massa Boxer rupanya meluas hingga orang-orang yang beragama Kristen. Narasi tentang ini bisa ditarik usai Perjanjian Perang Candu Kedua antara Dinasti Qing dan Inggris diteken. Di bawah ketentuan yang baru, mengutip Kwang-Ching Liu dalam “Imperialism and the Chinese Peasants: The Background of the Boxer Uprising” yang dipublikasikan Modern China (1989), orang-orang asing, termasuk para misionaris, memperoleh hak untuk menyebarkan agama di pedalaman Cina dan masyarakat diperbolehkan mempraktikkannya tanpa ada hukuman.
Ketentuan itu menguntungkan umat Katolik Perancis, yang secara aktif mempromosikan kegiatan misionaris baru. Tidak seperti eksistensi Kristen sebelumnya di Cina, pada abad ke-16 dan 17, yang mayoritas pengikutnya adalah kelompok elite, kedatangan Kristen jilid kedua ini justru menembus desa maupun kota-kota kecil di Cina seraya menarik para petani yang buta huruf. Di fase kedua pula para misionaris berupaya meleburkan ajaran Kristen dengan praktik Konfusianisme.
Namun, keadaan kondusif ini tak berlangsung lama. Menjelang akhir abad 18, Paus menolak pernyataan Yesuit mengenai kesesuaian ritus nenek moyang Cina dengan ajaran Kristen. Sikap keras Paus dibalas hal serupa oleh kaisar-kaisar di Cina: melarang Kristen untuk masuk.
Walhasil, ajaran Kristen hanya bertahan hidup di bawah tanah, di antara komunitas-komunitas kecil. Situasi diperparah dengan sikap para misionaris yang datang di abad 19: alih-alih mencoba ‘mempertobatkan’ para kaisar dan elite lokal, mereka mengarahkan langsung fokusnya ke penduduk desa dan warga kota. Bagi mereka, para elite ini adalah pesaing utama.
Kebanyakan misionaris Protestan maupun Katolik tersebut begitu percaya dengan superioritas kepercayaan mereka, menolak tradisi Cina, serta bertujuan untuk merombak total nilai-nilai yang dianut warga setempat.
Untuk para bangsawan, agama asing—Kristen—kemudian dilihat sebagai ancaman bagi kekuatan politik lokal. Mereka lalu menyerang Kristen sebagai doktrin yang akan merusak moral maupun stabilitas politik kekaisaran.
Dalam perkembangannya, para misionaris mampu menawarkan makanan, tempat tinggal, maupun perlindungan kepada para pengikutnya. Sementara untuk penduduk desa miskin menganggap bahwa pindah agama mampu mendatangkan privilise seperti, misalnya, menolak pajak, mengenakan pakaian orang-orang asing, hingga dukungan dan bantuan hukum ketika bersengketa atas tanah. Para elite kekaisaran pun tidak bisa mengubah apa-apa mengingat orang-orang Kristen baru tersebut memperoleh perlindungan dari diplomat maupun militer asing.
Dari sinilah lahir pandangan bahwa orang-orang Kristen merupakan wujud kekuatan (asing) yang menganggu keharmonisan masyarakat. Propaganda hingga retorika kebencian anti-Kristen seketika dibakar di tengah massa. Kristen, misalnya, digambarkan sebagai sekumpulan orang-orang asing seperti binatang dan setan dengan kekuatan gaib berbahaya.
Pada awal 1870, orang-orang Kristen di Cina makin terpojok setelah muncul desas-desus—berujung kerusuhan besar—yang menyebut bahwa mereka menyihir anak-anak, memutilasi tubuh, serta mengeluarkan hati maupun mata mereka untuk keperluan pembuatan obat.
Yang tak kalah mengerikan yaitu bahwa orang-orang Kristen dinilai merawat anak yatim untuk kemudian diambil darahnya, dituduh melakukan praktik seksual yang berlebihan, hingga rencana melawan negara. Seruan bernada kebencian ini dimulai pada awal 1860-an, menghasut serangan kekerasan terhadap para penganut dan misionaris Kristen, yang puncaknya ditandai dengan krisis diplomatik berskala besar selepas insiden di Tianjin, di mana seorang pejabat Perancis terbunuh di tengah kerumunan massa yang murka.
Keberadaan orang-orang Kristen juga dianggap sebagai kambing hitam atas kekeringan yang melanda Shandong pada 1900. Masyarakat setempat meyakini bahwa kekeringan adalah bentuk kemurkaan Tuhan karena orang-orangnya berpindah agama. Oleh massa, dan pemberontak Boxer, segala hal yang berhubungan dengan kepentingan asing—dalam hal ini Jerman—dan misionaris, dihancurkan. Dari jalur kereta api, sistem komunikasi, transportasi, hingga aksi penyerangan terhadap orang-orang sipil.
Pada pertengahan 1900, serangan Boxer telah menyebar luas di luar pedesaan Cina utara hingga Beijing. Di kota ini, para pemberontak mengepung kedutaan asing selama 55 hari. Selain itu, di Pelabuhan Tianjin dan Taiyuan, pemberontak membantai orang-orang asing.
Mulanya, dalam menanggapi Boxer, suara Dinasti Qing terbelah: antara yang mendukung atau menumpas. Akan tetapi, kedatangan bala tentara dari negara-negara asing yang mengepung Beijing demi melindungi kedaulatan kedutaan mereka, telah mengubah keputusan Qing akan Boxer. Oleh Tzu Hsi, janda permaisuri Qing, Boxer diminta untuk mempertahankan wilayah Beijing dari kekuatan asing.
Keputusan besar diambil Qing pada Juni 1900 ketika mereka mendeklarasikan perang melawan tentara-tentara asing. Boxer berada dalam daftar milisi yang mendukung Dinasti Qing. Aliansi keduanya berandil dalam terbunuhnya perwakilan Jepang, duta besar Jerman, hingga terbakarnya Kedubes Inggris.
Tapi, perang tersebut telah membikin Qing menelan ongkos mahal. Penjarahan di istana, juga bukti pembantaian dan eksekusi yang dilakukan kelompok Boxer membuat masa depan Dinasti Qing seperti tertutup awan gelap.
Untuk mengakhiri segala kekacauan, langkah negosiasi akhirnya ditempuh kedua belah pihak beberapa bulan setelah pertempuran di Peking. Hasilnya: Qing dipaksa menandatangani perjanjian ganti rugi sebesar 450 juta tael serta eksekusi terhadap mereka yang dianggap terlibat dalam pembantaian.
Kendati begitu, pemberontakan Boxer, pada akhirnya, menandai titik balik—secara dramatis—dalam sejarah kekaisaran Cina dan perlawanan terhadap imperialisme. Di tingkat global, pemberontakan ini menarik perhatian banyak pihak. Lebih dari sekadar kisah pemberontakan, invasi, dan tarik-ulur dialog kedua kubu, eksistensi Boxer menjadi peristiwa yang benar-benar menyerap atensi global dengan kekuatan yang tertinggi.
Kemenangan kekuatan asing dalam pemberontakan Boxer berandil dalam gembosnya posisi Dinasti Qing. Usaha menjaga legitimasi Qing sempat ditempuh para imperialis agar pemberontakan massa dengan skala yang jauh lebih besar maupun konflik sesama dinasti dapat dicegah. Namun, upaya tersebut bisa dikata terlambat: 11 tahun kemudian, dinasti benar-benar runtuh oleh kekuatan nasionalis Cina.
Editor: Ivan Aulia Ahsan