tirto.id - Wacana pembatasan sepeda motor (PSM) di beberapa ruas jalan di Jakarta disebut akan mendatangkan keuntungan finansial hingga triliunan rupiah.
Hal tersebut disampaikan oleh Farhan, Modeler Studi Pembatasan Kendaraan Motor, dalam Focus Group Discussion (FGD) "Rencana Umum Pengendalian Pembatasan Sepeda Motor Jabodetabek" di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (8/8/2017).
Menurut perhitungan Farhan, jika dibatasi, Biaya Operasional Kendaraan (BOK) dapat dihemat cukup besar dan berpengaruh bagi perekonomian Jakarta di masa mendatang.
Saat ini, kondisi exciting BOK di Jabotabek diperkirakan sebesar Rp19,5 triliun pertahun. Jika PSM diberlakukan, BOK Jabodetabek akan mengalami penurunan yang berarti penghematan.
"Sekitar Rp1,944 miliar (penghematan) perhari atau Rp600 miliar pertahun. Nilai tersebut meningkat dari tahun ke tahun sejak dimulai 2018. Dan diperkirakan pada tahun 2035 bisa mencapai Rp7,7 triliun pertahun," ungkapnya.
Biaya operasional kendaraan adalah seluruh biaya yang dikeluarkan oleh kendaraan per-satuan panjang jalan. Sementara komponen biaya tersebut, kata Farhan, antara lain, "Konsumsi BBM, biaya perawatan, serta depresiasi kendaraan tersebut."
Ia menambahkan, "Berdasarkan hasil studi terdahulu, biaya operasional kendaraan satu sepeda motor sekitar Rp350 perkilometer."
Dalam kesempatan yang sama, Budi Hartanto Suseno, konsultan yang ditunjuk Badan Pengelolaan Transportasi Jabodetabek (BPTJ), juga menyampaikan hal senada.
Memang, jika dilakukan di salah satu ruas jalan seperti Sudirman, PSM hanya menghasilkan sedikit keuntungan. Namun, kata dia, jika diberlakukan di banyak ruas jalan di Jabotabek, "itu akan menimbulkan keuntungan macro economic yang luar biasa."
"Dengan membaca apa yang sudah kami sampaikan, bahwa terjadi keuntungan terhadap waktu, terjadi keuntungan terhadap kecepatan, dan biaya. Dituangkan semua dalam biaya, dan secara makro itu, PSM menguntungkan," tambahnya..
Namun, ia mengatakan bahwa adanya PSM tidak serta-merta dapat mengubah perilaku para pengendara motor untuk menggunakan transportasi massal. Berdasarkan wawancara terhadap lebih dari 100 narasumber, hanya 50 persen responden yang memilih mau beralih ke angkutan publik.
"Apakah memilih akan naik public transport atau mau mengambil rute alternatif. Untuk mendapatkan berapa yang pindah ke public transport dan berapa yang pindah ke rute alternatif kami punya kajian berdasarkan studi wawancara," jelasnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Yuliana Ratnasari