tirto.id - Joko Widodo (Jokowi) nampak mengenakan kemeja putih yang terlipat di bagian lengan. Hari itu ia sedang meninjau lahan Waduk Pondok Rangon di Cipayung, Jakarta Timur, Kamis 6 Maret 2014. Sejumlah ekskavator mengeruk sebagian lahan waduk yang luasnya mencapai 18,5 hektare.
Jokowi yang masih menjabat gubernur DKI memberikan arahan kepada Kepala Dinas Pekerjaan Umum (sekarang Dinas Bina Marga) yang waktu itu masih dijabat oleh Manggas Rudi Siahaan. Jokowi meminta proses pembangunan Waduk Pondok Rangon selesai dalam enam bulan. Kondisi waduk yang normal akan mengurangi debit Kali Sunter yang kerap kali meluap dan membanjiri kawasan Cipinang Melayu dan Cipinang Muara, Jakarta Timur.
Ada tiga waduk yang dibangun: Pondok Rangon I, II dan III dengan ukuran masing-masing 11,5 hektare, 5 hektare dan 2 hektare. Di lokasi itu, rencananya juga akan dibuat jalur untuk berlari dan taman bermain, persis seperti yang ada di Waduk Ria-Rio, Jakarta Utara.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada Oktober 2014, karier Jokowi naik. Ia terpilih jadi presiden dan Manggas Rudi Siahaan diberhentikan oleh Plt Gubernur DKIBasuki Tjahaja Purnama. Sayangnya, pembangunan Waduk Pondok Rangon mangkrak sampai hari ini. Pemprov DKI memang punya program normalisasi waduk seperti yang terjadi di Pluit dan Ria Rio dan pembangunan waduk baru sebagai pengendalian banjir.
Saya menyambangi kawasan Waduk Pondok Rangon, Minggu siang (4/3/2018), lahan yang sempat dikeruk ekskavator sudah menjelma jadi hamparan semak belukar. Warga di sekitar lokasi tak ingat persis sejak kapan proyek pengerukan waduk berhenti.
Romi, 27 tahun, warga RT 02/RW 01 Kelurahan Pondok Rangon, Jakarta Timur mengatakan, sejumlah alat berat yang ada di lokasi sudah ditarik Pemprov DKI pada awal 2015. Setelahnya, hampir tak ada aktivitas apapun di sana.
"Ditinggal saja begitu. Sampai sekarang belum ada lagi yang ke sini," ujarnya.
Waduk Pondok Rangon adalah satu dari sekian waduk yang proses pembangunan belum tuntas di DKI Jakarta. Program ini pun dilimpahkan ke gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta selanjutnya, Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC) Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PU dan Perumahan Rakyat Jarot Widyoko, sebagai perwakilan pemerintah pusat, mendorong agar Anies dan Sandi merampungkan pembangunan waduk-waduk. Alasannya karena waduk-waduk tersebut punya peran sentral ketika banjir kiriman dan hujan lebat datang. Debit air yang relatif besar bisa tertampung di sana.
Pembangunan waduk semakin mendesak karena faktanya sungai-sungai di Jakarta mengalami pendangkalan dan penyempitan. Akhirnya air meluber ke jalanan, menyebabkan banjir.
"[Program] normalisasi kali, terus sodetan Ciliwung, belum cukup kalau tidak didukung ketersediaan waduk," kata Jarot.
"Waduk itu fungsinya menampung air yang tidak terserap ke tanah dan masuk ke sungai lewat selokan dan drainase. Kalau sungai sudah penuh karena banjir kiriman, mau tidak mau harus ditampung oleh waduk," tambahnya.
Jarot mencontohkan apa yang terjadi pada awal Februari lalu. Bendungan baru di Ciawi dan Sukamahi, Bogor, tidak mampu mengurangi volume air dari hulu Ciliwung. Debit air dalam jumlah besar di Bendung Katulampa mengalir ke Jakarta yang sungai-sungainya sudah penuh karena hujan lebat. Akibatnya, beberapa kelurahan yang dilintasi Sungai Ciliwung pun teredam hingga ketinggian 3,5 meter.
Belum Jadi Prioritas
Sejak Anies-Sandi menjabat Gubernur-Wakil Gubernur DKI, Oktober tahun lalu, setidaknya sudah kali tiga BBWSCC bertemu Pemprov DKI. Berdasarkan pertemuan itu, Jarot mengungkapkan bahwa pembangunan waduk memang belum menjadi prioritas untuk menangani banjir.
Program prioritas Pemprov DKI untuk saat ini hanya tiga: sodetan Sungai Ciliwung, normalisasi sungai dan pembangunan tanggul laut di pesisir Jakarta. Dua proyek pertama untuk menangani air dari hulu, sementara sisanya agar tidak terjadi air rob di pesisir.
Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI, Teguh Hendrawan, lebih suka menyebutkan pembangunan waduk terhambat karena tak jadi prioritas. Pemprov DKI mengalami masalah untuk melanjutkan proyek Waduk Pondok Rangon karena pembebasan lahan.
Masalah lain yang terjadi di proyek Waduk Pondok Rangon adalah kurangnya alat berat. Sejumlah ekskalator dialihkan dari Waduk Pondok Rangon ke proyek pembangunan Waduk Kampung Rambutan, Cimanggis, dan Pekayon di Jakarta Timur.
Proyek pembangunan waduk lain yang perlu dirampungkan tapi belum jelas realisasinya adalah Waduk Rawa Lindung, Jakarta Selatan, yang luasnya mencapai 14.700 meter. Pemprov DKI perlu membebaskan lahan 2.000-an meter persegi lagi. Kondisi serupa terjadi dengan Waduk Brigrif di Jakarta Selatan.
Tahun ini Dinas SDA DKI Jakarta menganggarkan Rp500 miliar untuk pembebasan lahan. Dari 11 hektare lahan untuk pembangunan waduk, masih ada 6.000 meter persegi yang belum dibebaskan.
Menurut Teguh bila pembangunan kedua waduk itu selesai diperkirakan air hujan yang dialirkan ke Kali Krukut dapat berkurang 30-40 persen.
"Di kali itu kita juga lakukan normalisasi, pelebaran sungai supaya volume air yang ditampung bisa lebih banyak," kata Teguh.
Pernyataan Teguh soal masalah-masalah yang diungkapnya tak sepenuhnya benar. Saat Tirto menyambangi ke proyek Waduk Kampung Rambutan, yang terletak di belakang Stasiun Kampung Rambutan, kondisinya sama seperti di Pondok Rangon. Lokasi proyek kini menjadi rawa-rawa yang dipenuhi eceng gondok.
Yayat, 38 tahun, warga yang tinggal di sekitar lokasi pembangunan, menyebut bahwa alat berat telah berhenti bekerja sejak akhir 2016.
Waduk Kampung Rambutan idealnya menampung air agar Kali Cipinang agar tak meluap. Badan kali selebar 20 meter itu semakin menyempit akibat pemukiman yang dibangun di atasnya. Proyek yang juga mangkrak turut berkontribusi terhadap banjir di sekitar wilayah tersebut.
"Desember tahun lalu kan banjir itu [di Ciracas dan Kampung Rambutan]. Sedengkul ada lah. Enggak lama, sih. Tapi pasti kalau hujan gede kayak gitu," ujar Yayat.
Yuyun, 42 tahun, warga yang rumahnya tepat di depan waduk Kampung Rambutan mengeluhkan mangkraknya pembangunan proyek. Menurutnya, setelah jadi rawa-rawa, hewan seperti ular sering naik ke pemukiman warga.
Ia pun mempertanyakan kapan proyek pembangunan waduk dilanjutkan. "Tadi pagi Dinas Tata Air sih ke sini. Lihat-lihat doang. Kalau lihat-lihat mah sering. Enggak tahu dah kapan dilanjutinya. Lurah-lurah kadang ada aja yang ke sini. Sama, lihat-lihat doang" ujarnya.
Yuyun mengatakan beberapa rumah warga digusur dan pembayarannya terlambat agar proses pembangunan waduk bisa lebih cepat. Namun setelah pengerukan dimulai malah yang terjadi "berhenti di tengah jalan".
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino