tirto.id - Selasa (16/6/2020), sekitar pukul 21.00, Iqbal dan kawan-kawannya sedang santai duduk melingkar di sekitar jalan inspeksi Kali Ciliwung, Kampung Tongkol, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Mereka baru saja kelar mengaji.
"Saya lagi main-main, lihat kaki teman yang cantengan," kata Iqbal, 11 tahun, kepada reporter Tirto, Selasa (23/6/2020).
Tiba-tiba Iqbal merasakan sakit di punggung kanan. Lantas ia berdiri, mengaduh, kemudian duduk lagi. Karena sakit semakin menjadi, dia merebah. "Ketika dibangunkan ada darah," katanya.
Ibunya datang dan lekas membawa bocah yang baru naik kelas 5 di SDN Ancol 01 itu ke rumah dengan berjalan kaki. Si ibu membersihkan lukanya dan mengolesi obat merah. Tapi ternyata lukanya tidak menutup. Saat larut malam, si ibu melihat kasur yang ditiduri Iqbal basah oleh darah.
Rabu pagi, mereka ke klinik untuk memeriksakan kondisi Iqbal. Dia dirontgen dan ternyata hasilnya tak diduga: ada benda menyerupai peluru bersarang di punggungnya. "Pihak klinik merujuk ke Puskesmas Pademangan, tapi puskesmas merujuk lagi ke RSUD Koja," tutur Gatot Sudarto, kakek Iqbal.
Lagi bocah itu dirujuk ke RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur. Sampai di RS Polri dan menerangkan kronologis, pihak rumah sakit meminta jaminan dan mewajibkan ada laporan kepolisian soal kejadian itu sebelum mereka melakukan operasi pengambilan peluru.
"Hari itu besan dan menantu saya lapor ke Polsek Pademangan. Setelah itu dikirim ke rumah sakit, besoknya baru bisa dioperasi," jelas Gatot. Iqbal tak kembali ke rumah. Malam itu ia diinapkan. Peluru itu bersarang dua hari di punggungnya.
Setelah operasi dokter hanya memperlihatkan proyektil itu ke keluarga melalui foto di ponsel. "Dokter katakan itu peluru tajam."
Iqbal dirawat lima hari. Biaya operasi dan perawatan mencapai Rp14 juta, ditanggung oleh asuransi milik anak Gatot. Iqbal kini dalam kondisi stabil.
Imbas peristiwa itu masyarakat setempat waswas. Mereka khawatir suatu hari kena sasaran peluru nyasar juga. Sementara Gatot mengatakan ia ingin perkara ini diketahui publik agar tidak ada lagi kejadian serupa. Ia juga ingin ada yang bertanggung jawab terhadap kasus cucunya.
Hal tersebut juga diungkapkan Kepala Divisi Pembelaan HAM Kontras Arif Nur Fikri. Ia berujar kepolisian bertanggung jawab mengusut perkara karena pihak keluarga korban telah melaporkan peristiwanya. Laporan keluarga korban dapat menjadi dasar penyelidikan.
"Apakah itu proyektil atau bukan? Apakah saat peristiwa ada suara letusan?" katanya ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (23/6/2020).
Ia juga menyayangkan pihak rumah sakit menunda operasi dengan alasan belum ada surat kepolisian. "Proses ini bisa sambil berjalan. Ini benda aneh yang ada di dalam tubuh, tidak tahu efeknya akan panjang (berakibat fatal atau tidak)."
Kapolsek Pademangan Kompol Joko Handono mengatakan benar bahwa Iqbal kena peluru nyasar. "Benar. Saat itu korban sedang bermain," kata dia ketika dikonfirmasi wartawan, hari ini. Polisi masih mengusut perkara ini, katanya. "Uji balistik telah kami lakukan untuk penyelidikan," sambung Joko.
Bukan Kali Pertama
Kasus peluru nyasar bukan kali ini saja terjadi. Awal Mei lalu, seorang warga Kelurahan Pagar Dewa, Kecamatan Selebar, Kota Bengkulu tewas terkena peluru nyasar saat polisi kejar-kejaran dengan pengedar narkoba.
Pada 10 Agustus tahun lalu kejadian serupa menimpa RH, seorang PNS di Badan Penanggulangan Bencana Daerah, saat sedang berada di kantin Universitas Bandar Lampung. Dia ambruk dan tak sadarkan diri usai perutnya terkena peluru nyasar. Peluru itu berasal dari letusan senjata api di sebuah mobil yang parkir di halaman kampus; menembus kaca mobil sebelah kiri lalu mengarah ke kantin yang berada 50 meter dari parkiran. Saat itu ada serah terima senjata antara Bripka Duansyah dan Brigpol Pastiko Jayadi.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan para pelaku dapat dipidana. "Pidana itu bukan hanya sengaja, tapi juga tidak disengaja. Selain persoalan yang lebih serius [yakni] penggunaan senjata api, SOP. Itu juga harus diperiksa," katanya kepada reporter Tirto.
Asfin mengatakan pelaku dalam perkara Iqbal semestinya mudah dicari karena tidak setiap warga negara Indonesia memiliki izin menyimpan, memiliki, dan menggunakan senjata api. Setiap senjata dan peluru memiliki catatan masing-masing. "Indonesia tidak seperti Amerika yang [warganya] boleh memiliki senjata pribadi. Di sana akan rumit karena tiap orang punya izin pakai senjata, di sini tidak. Secara balistik, itu bisa diuji."
Di sisi lain, Asfin mengapresiasi keluarga korban yang berinisiatif buka suara. Oleh karenanya mereka harus diberikan imbalan setimpal, yaitu mendapatkan penjelasan seterang mungkin.
Selain itu, katanya menegaskan, "hak korban yang pertama sekali yaitu negara bertanggung jawab memberitahukan siapa pelakunya, baik itu polisi, tentara, atau warga biasa. Juga pemulihan fisik dan psikologis."
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino