Menuju konten utama

Pelecehan Seksual di Angkutan Publik Tinggi, Kemenhub Akan Evaluasi

Kepala Pusat Pengaduan Transportasi Berkelanjutan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Ari Widianto berjanji akan berkomunikasi dengan pihak internal Kemenhub untuk merencanakan regulasi yang dapat menekan pelecehan seksual di transportasi publik.

Pelecehan Seksual di Angkutan Publik Tinggi, Kemenhub Akan Evaluasi
Relawan mengangkat poster ajakan untuk mencegah pelecehan seksual di Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Jumat (9/2/2018). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Kepala Pusat Pengaduan Transportasi Berkelanjutan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Ari Widianto menyampaikan bahwa dirinya akan berkomunikasi dengan pihak internal Kemenhub untuk melakukan evaluasi dan perencanaan regulasi yang berkaitan dengan pelecehan seksual di transportasi publik.

"Saya akan komunikasi dengan internal kami. Ternyata saat bicara gerbong perempuan, dikatakan, hati-hati itu hanya jangka pendek. Nah, ini kan bentuk masukan baru. Yang kami kira sudah optimal, ternyata masih kurang, jadi perlu kami evaluasi lagi," ujar Ari saat ditemui di Komnas Perempuan, Jakarta Pusat, pada Rabu (27/11/2019).

"Lalu yang diperlukan mereka adalah edukasi untuk masyarakat. Nah, ini kan kami bisa kerjasama dengan banyak pihak, membuat modul, sosialisasi, dan sebagainya," lanjutnya.

Ari juga menyampaikan bahwa ia berencana untuk membahas penguatan regulasi untuk pencegahan pelecehan seksual di transportasi umum.

"Regulasi itu bisa dari segi pencegahan. Namun, apabila di UU masih merasa perlu didetailkan, maka detailnya tidak hanya di peraturan pemerintah, tapi peraturan menteri perhubungan," ujar Ari.

Ari berharap, peraturan menteri itu bisa menjadi payung regulasi pelayanan transportasi dan disertai kerjasama antar operator penyedian layanan transportasi publik untuk membuat SOP.

"Perlu ada kerjasama dengan penyedia transportasi publik. Kalau kereta, kewenangannya PT KAI, kalau di bus, kewenangannya Damri, kalau pesawat , kewenangannya Garuda. Kami mesti bikin regulasi atau bangun SOP, ataupun sarana, prasarana, dan teknologi," ujar Ari.

Usulan Ari tersebut merupakan respon dari data pelecehan seksual di transportasi publik yang sering terjadi. Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) mengeluarkan hasil Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik. Survei tersebut diadakan oleh pada 2018 yang berfokus pada pelecehan seksual di transportasi publik.

Berdasarkan hasil survei tersebut, KRPA memaparkan sebanyak 46.80 persen responden mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum. Data tersebut diambil dari 62.224 responden.

Transportasi umum (15.77 persen) menjadi Iokasi kedua tertinggi terjadinya pelecehan, setelah jalanan umum (28.22 persen). Moda transportasi umum yang dilaporkan terjadi pelecehan antara Iain adalah bus (35.80 persen), angkot (29.49 persen), KRL( 18.14 persen), ojek online (4.79 persen), dan ojek konvensional (4.27 persen).

Pelecehan yang sering terjadi di transportasi umum datang dalam bentuk verbal dan nonverbal atau fisik.

Bentuknya cukup beragam, yakni siulan atau suitan (5392 orang), suara kecupan, komentar atas tubuh (3628), main mata (3325), diraba atau dicekam (1826), komentar rasis (1753), didekati dengan agresif dan terus-menerus (1445), digesek dengan alat kelamin (1411), diikuti atau dikuntit (1215), gestur vulgar (1209), suara kecupan (1001), dipertontonkan masturbasi publik (964), dihadang (623), diperlihatkan kelamin (35), difoto secara diam-diam (11), serta diintip (7).

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika