tirto.id - Dua hari setelah Natal di tahun 1983, laki-laki tua berusia 63 tahun itu mendatangi sebuah penjara. Di dalam penjara, ia dipertemukan dengan seorang laki-laki muda yang jadi narapidana di sana. Usia laki-laki muda itu 25 tahun. “Aku memaafkanmu, Sahabat. Aku mengampunimu,” ujar laki-laki itu sambil memeluk laki-laki muda itu, seperti diceritakan dalam Takhta Suci Vatikan (2005).
Laki-laki 63 tahun itu, yang tak lain adalah Paus Yohanes Paulus II. Dan, laki-laki 25 tahun itu adalah Mehmet Ali Agca, yang dua tahun sebelumnya hendak membunuh orang nomor satu di Vatikan itu. Menurut Robert Owen Freedman dalam The Middle East from the Iran-Contra Affair to the Intifada (1991), Mehmet besar dalam kehidupan yang keras. Dia anggota geng jalanan ketika remaja. Lalu mencari uang dengan menjadi penyelundup di daerah antara Turki-Bulgaria. Mehmet mempertangguh diri dengan senjata api dan pergi ke Suriah.
Di sana, dia mendapat latihan persenjataan dan taktik teror selama dua bulan. Saat pulang ke Turki, dia menjadi bagian organisasi sayap kanan bernama Serigala Abu-abu. Organisasi itu berusaha menggoyang pemerintah Turki. Atas komando dari Serigala Abu-abu, Mehmet mengeksekusi seorang editor surat kabar sayap kiri, Abdi Ipekci, di Istanbul di tahun 1979.
Usia Mehmet baru 21 tahun kala itu. Meski sempat tertangkap, Mehmet berhasil kabur atas bantuan kelompoknya. Dia lari ke luar negeri. Pengalaman membunuh Abdi Ipekci membuatnya diperhitungkan. Di masa buronnya, Mehmet bertemu dua kawan Bulgaria dan seorang Turki di Roma. Setelah memasuki Roma melalui Milan pada 10 Mei 1981, Mehmet dan kawan-kawannya merancang sebuah kekacauan.
Mereka hendak menghabisi Paus. Suatu ketika, Mehmet sempat berpikir Paus Yohanes Paulus II adalah lambang kapitalisme. Bagi Mehmet, seperti ditulis oleh Anton Wasels dalam Arab dan Kristen (2004), paus juga tak lebih dari seorang komandan perang bertopeng yang terlibat dalam Perang Salib. Aksi akan dilancarkan di Alun-alun Santo Petrus, yang letaknya di tengah-tengah kota Roma.
Mehmet rencananya bersama Oral Celik yang akan jadi penembak cadangan yang akan meledakkan bom pada 13 Mei 1981 itu. Mehmet menyusup di tengah keramaian. Dia membawa Browning 9mm. Ketika paus melintas dengan mobil terbukanya, tiga peluru Mehmet mendarat di tubuh Paus. Dua di perut dan satu di tangan. Aksi yang dipersiapkan terburu-buru itu rupanya berantakan. Oral Celik bahkan panik dan melarikan diri sebelum bom meledak. Aksi itu gagal total.
Dunia gempar. Pemimpin Katolik sedunia tertembak. Paus terluka parah. Tapi untunglah akhirnya ia selamat setelah lima jam upaya penyelamatan. Mehmet sendiri tertangkap tak lama kemudian. Di pengadilan, Mehmet memberikan pengakuan-pengakuan yang membingungkan. Dia sempat mengaku dia didatangi oleh intelijen KGB yang menawarinya uang tiga juta mark untuk membunuh Paus, namun belakangan disangkalnya. Bulan Juli 1981, dia divonis penjara seumur hidup.
Di dalam penjara, Mehmet kerap meracau soal datangnya kiamat sudah dekat. Tapi apapun yang diracaukan Mehmet, bagi paus dia hanyalah anak domba yang tersesat. Bahkan ada yang menyebut laki-laki yang berkebangsaan Turki kelahiran 9 Januari 1958 itu mengalami gangguan mental. Tak lama setelah selamat dari penembakan itu, Paus tak mengutuk penembaknya di muka umum.
Paus meminta agar umat berdoa untuk Mehmet. Dia sendiri tentu memaafkan Mehmet. Setelah kesehatannya pulih, Paus mengunjungi Mehmet di penjara. Tapi hukum tetap berjalan. Maaf atau ampunan sang Paus tak ada kaitannya penghilangan hukuman.
Mehmet dipenjara hingga 2000 setelah Presiden Carlo Azeglio Ciampi memberikan grasi pada Juni 2000. Dia dikembalikan ke Turki dan dipenjara di sana untuk pembunuhan Ipekci. Hukumannya sempat dianggap selesai pada 12 Januari 2006, tiga hari setelah ulang tahunnya yang ke-48.
Kebebasannya disambut gembira oleh kaum sayap kanan Turki di gerbang penjara. Namun, dia kemudian ditangkap lagi, karena menurut Mahkamah Agung Turki, masa hukumannya di luar negeri tidak dihitung. Saat dipenjara, Mehmet pindah agama dari Islam menjadi Katolik. Mashable pun menulis sang penembak ini kembali ke Roma pada Desember 2014 dan meletakkan mawar putih pada pusara sang Paus yang dulu hendak dihabisinya.
Paus Yohanes Paulus II meninggal pada 2 April 2005, tepat 14 tahun lalu. Ia belum sempat menyaksikan keputusan besar orang yang akan membunuhnya.
=========
Catatan: Naskah ini pernah tayang pada 27 Desember 2016, pada edisi Mozaik 2 April 2019, redaksi mengunggah ulang dengan minor penyuntingan.
Editor: Maulida Sri Handayani