tirto.id - Ada hal yang menarik saat menyaksikan The Crown. Serial tentang kehidupan keluarga kerajaan Inggris itu menceritakan bahwa Ratu Elizabeth II dan Pangeran Philip tidur di kamar terpisah.
Apa ini sekedar fiksi atau memang kenyataan?
Yang mengejutkan, cerita itu benar adanya. Ratu Elizabeth II dan Pangeran Philip tidur di ranjang terpisah selama pernikahan mereka.
Kisah tersebut dibenarkan oleh sepupu Pangeran Philip, Lady Pamela Hick, kepada Sally Bedell Smith untuk biografi Ratu tahun 2012, Elizabeth the Queen: The Life of a Modern Monarch.
Tentu tak ada yang meragukan kisah cinta Ratu Elizabeth dan Pangeran Philip. Hubungan mereka telah teruji oleh waktu sebelum akhirnya dipisahkan oleh maut.
Namun rupanya ada alasan tersendiri di balik pisah ranjangnya pasangan tersebut.
Menurut Lady Pamela Hick, apa yang dilakukan Ratu Elizabeth dan Pangeran Philip terikat dengan tradisi kelas atas alias para bangsawan.
Apa yang dilakukan oleh Ratu Elizabeth dan Pangeran Philip itu kini populer dengan istilah sleep divorce.
"Sleep divorce mengacu pada pasangan yang secara sadar memilih untuk tidur di kamar tidur terpisah, tempat tidur terpisah, atau jenis tidur terpisah lainnya," kata psikolog Susan Albers, PsyD.
Albers sebenarnya merasa kurang sreg dengan istilah sleep divorce karena memunculkan stereotip tentang istri yang mengusir suaminya untuk tidur di sofa setelah bertengkar. Itu sebabnya ia lebih suka menggunakan istilah sleep separation.
Terlepas dari soal istilah, nyatanya tren sleep divorce semakin meningkat.
Survei yang yang dilakukan YouGov pada 2018 mengungkapkan bahwa satu dari tujuh pasangan di Inggris lebih memilih tidur di ranjang terpisah.
Sebanyak 10 persen orang Inggris ternyata memilih tidur di tempat tidur berbeda di kamar berbeda, sementara lima persen lainnya di tempat tidur berbeda di kamar yang sama.
Begitu pula survei YouGov pada 2021 terhadap lebih dari 12.000 orang dewasa Amerika Serikat. Hasilnya, hanya dua pertiga orang Amerika yang ingin berbagi tempat tidur dengan pasangannya.
Apa saja hal-hal yang melatarbelakangi keputusan pasangan untuk tidur terpisah?
Salah satunya, seperti yang diungkapkan Lady Pamela Hick, berkaitan dengan kesulitan seseorang untuk tidur bersama pasangan yang punya kebiasaan mengganggu. Misalnya, pasangan mendengkur atau giginya bergemeretak.
Padahal, tanpa disadari, perbedaan kebiasaan tersebut dapat berpengaruh pada kualitas tidurmu.
Jumlah jam tidur sebenarnya cukup bervariasi, namun Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) di AS merekomendasikan agar orang dewasa setidaknya tidur selama tujuh jam setiap malam.
Menurunnya kualitas tidur yang terjadi terus-menerus karena gangguan selama tidur tentu akan berdampak pada kesejahteraan, dan memengaruhi kemampuanmu untuk beraktivitas sehari-hari.
Tak hanya itu. Kurang tidur dapat berdampak pada berbagai aspek kesehatan, seperti sistem kekebalan tubuh. Artinya, kalau kamu kurang tidur, kamu cenderung lebih rentan terhadap infeksi, yang mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk diatasi.
Perubahan pola tidur dapat menyebabkan peningkatan penyimpanan lemak dan perubahan berat badan sehingga meningkatkan risiko diabetes tipe 2.
Risiko penyakit kardiovaskular akan semakin tinggi jika kamu kurang tidur. Sebab, aktivitas tidur membantu pembuluh jantung menyembuhkan dan membangun kembali serta memengaruhi proses yang menjaga tekanan darah, kadar gula, dan pengendalian peradangan.
Tak sekadar soal kesehatan fisik, kurang tidur memicu timbulnya kondisi psikologis tertentu, meski peneliti belum sepenuhnya yakin apa alasan yang mendasari hal ini.
Menurut hasil penelitian, kurang tidur dapat meningkatkan tingkat kemarahan dan agresi. Sebab, saat kurang tidur, otak tidak dapat berfungsi normal sehingga kesulitan menekan reaktivitas amigdala (pusat emosi di otak).
Kurang tidur bahkan dapat menjadi sumber stes, bikin kerumitan sehari-hari menjadi sumber utama frustasi.
Coba bayangkan apabila ini terjadi setiap hari!
Meski sleep divorce bisa menjadi solusi untuk membantumu tidur lebih nyenyak dan bikin kamu lebih sehat, ada beberapa poin lain yang perlu diperhatikan.
Terapis seks dan konselor pernikahan Katherine Hertlein termasuk yang meragukan metode sleep divorce. Hertlein masih bertanya-tanya tentang motivasi di balik keputusan pasangan untuk tidur di tempat terpisah.
Kekhawatiran lain yang muncul dari sleep divorce adalah berkurangnya keintiman dengan pasangan.
"Tidur di kamar terpisah dapat menciptakan jarak atau keterputusan emosional yang mungkin malah akan membuat seseorang merasa kesepian," papar Albers.
Selain itu, sleep divorce disebut-sebut berpotensi jadi biang keladi rusaknya kehidupan romantis pasangan.
Albers menyebut berpelukan dan bersentuhan sebagai aktivitas penting dalam sebagian besar hubungan. Dengan kata lain, tidur terpisah dapat meredupkan perasaan, membatasi pillow talk, dan mengurangi hasrat.
Soal hasrat, psikolog klinis dan terapis seks Cheryl Fraser pernah melakukan survei terhadap 3.000 pasangan yang menjalin hubungan jangka panjang.
Hasil surveinya menyebutkan, sekitar 33 hingga 40 persen pasangan berhubungan seks tidak lebih dari enam kali dalam setahun.
Menurut Fraser, hilangnya waktu bersama di ranjang turut ambil peran dalam menurunnya kualitas hubungan romantis itu.
"Saat tidur di ranjang yang sama, seks terjadi secara alami," katanya.
Singkat kata, strategi sleep divorce tidak bisa serta merta diterapkan pada setiap pasangan.
Penting untuk mempertimbangkan matang-matang sebelum ambil keputusan. Coba cari titik kompromi tidur yang saling menguntungkan untukmu dan pasangan. Ingat, kualitas tidur yang baik tentunya akan jadi pondasi untuk menjalani hari dengan positif dan produktif.