tirto.id - Sejak kemerdekaan 1945, telah terbit berbagai majalah, salah satu produk jurnalistik yang digemari pembaca. Tidak terkecuali majalah sastra. Kelahirannya tidak terlepas dari semangat zaman yang dibawa para sastrawan saat itu.
Majalah sastra mengajak masyarakat untuk memahami pentingnya sastra dalam lalu lintas kehidupan. Kita bisa merujuk pada majalah kebudayaan Siasat yang redaksinya diisi oleh wartawan Rosihan Anwar dan Soedjatmoko. Pada Oktober 1950, Siasat melahirkan “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang mencoba menilik politik melalui puisi.
Setiap majalah sastra yang lahir pada periode itu mengalami pasang surut. Ada yang mati karena kesulitan finansial; diterpa badai politik; kalah dalam persaingan pasar, berjuang di tengah upaya penjajah kembali berkuasa; bahkan bertransformasi dari cetak menjadi digital.
Mimbar Indonesia dalam Gempuran Agresi Militer
Mimbar Indonesia adalah majalah umum yang terbit pertama kali pada 1947. Dalam Seabad Pers Kebangsaan (2008, hlm. 727), disebutkan bahwa sasaran pembaca mereka adalah masyarakat umum. Hal ini sesuai dengan jargon yang diusung: “Suara Rakyat Membangun”. Mimbar Indonesia mengajak pembaca untuk tidak terbuai arus modernitas tanpa pembangunan mental yang sejalan dengan semangat revolusi kemerdekaan 1945.
Meski berstatus majalan umum, rubrik sastra-lah yang menjadi andalan. Bahkan Mimbar Indonesia berperan cukup besar dalam pengembangan sastra Indonesia.
Menurut laman Data Pokok Kebahasaan dan Kesastraan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, sastrawan-sastrawan besar seperti Buya Hamka, Rivai Apin, Utuy Tatang Sontani, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, N. H. Dini, Asrul sani, Sapardi Djoko Damono, hingga Sutan Takdir Alisjahbana turut mengiringi majalah ini melalui karya berupa puisi dan esai.
Majalah ini sangat melekat dengan H. B. Jassin sebagai redaktur dan Soepomo. Selain itu, ada juga Sukarjo Wiryopranoto selaku penanggung jawab. Pada 1952, Sukarjo digantikan Mr. Jusuf Wibisono yang tidak lain adalah menteri keuangan Kabinet Sukiman.
Meski punya peran signifikan, bukan berarti majalah ini berjalan tanpa hambatan. Mimbar Indonesia menghadapi kesulitan penerbitan bahkan sejak tahun pertama. Menurut Ronitua Arif Siregar, dkk dalam artikel jurnal Soepomo di Dunia Pers: Kiprahnya dalam Majalah Mimbar Indonesia 1947-1958 (PDF), penyebabnya saat itu adalah Agresi militer Belanda I.
Dua tahun kemudian, 1949, mereka kembali menghadapi kendala. Kali ini karena Agresi Militer Belanda II. Ketika itu sang penanggung jawab, Sukarjo, juga ditangkap dan dibuang ke Yogyakarta. Ketiga, saat para perwira Angkatan Darat mengepung dan mengarahkan moncong meriam ke Istana menuntut parlemen dibubarkan pada 17 Oktober 1952. Ketika itu militer menutup Mimbar Indonesia.
Tapi tidak ada kesulitan paling berat ketimbang yang keempat. Mimbar Indonesia kesulitan pendanaan akibat pemasukan tidak sebanding dengan pengeluaran pada tahun 1960-an. Pada akhirnya perjuangan majalah ini untuk terbit berhenti pada 1966.
Konfrontasi yang Terhempas Pasca PRRI/Permesta
Majalah kebudayaan yang cukup mencolok berikutnya adalah Konfrontasi, berkantor Jakarta, mulai terbit tahun 1954. Mengutip Data Pokok Kebahasaan dan Kesastraan Kemdikbud, redaksi dikemudikan oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Achdiat Karta Mihardja, Beb Vuyk, dan Hazil Tanzil.
Cerpen, puisi, drama, dan kritik sastra konsisten menyapa pembaca dari berbagai kalangan. Sementara nama-nama yang menghiasi rubrik sastra di antaranya M. Balfas, W. S. Rendra, Ajip Rosidi, Ramadhan K. H., hingga Sapardi Djoko Damono.
Selain itu, menurut Keith Foulcher dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965 karya Wijaya Herlambang (2019), Konfrontasi menjadi semacam “lalu lintas Kebudayaan” Indonesia-Barat. Hal ini karena publikasi terjemahan esai dan sastra dari sumber-sumber internasional.
Usia majalah ini hanya enam tahun. Konfrontasi tutup pada 1960 seiring dengan pembubaran PSI dan Masyumi dan penahanan para kadernya yang didakwa terlibat dalam PRRI/Permesta. Majalah ini dianggap kontrarevolusioner terhadap arus revolusi yang sedang bergaung pada masa Demokrasi Terpimpin.
Zaman Baru yang Terhempas Badai Politik ‘65
Zaman Baru diperkirakan muncul beriringan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berdiri pada 17 Agustus 1950. Dalam Lekra Tak Membakar Buku (2008, hlm. 48), disebutkan bahwa “Zaman Baru barangkali adalah oase ketika tabloid atau majalah kebudayaan sangat minim pada warsa 50-an, bahkan 1960-an.”
Zaman Baru menjadi tempat sastrawan dan budayawan Lekra untuk mengimplementasikan realisme sosialis dalam rangka menggugah kesadaran massa-rakyat.
Majalah ini dipimpin Rivai Apin dan AS. Dharta, sementara jajaran redaksi diasuh anggota Lekra seperti Basuki Resobowo, Siti Rukiah Kertapati, hingga Agam Wispi. Dari tangan mereka-lah karya sastra seperti sajak, cerpen, dan esai menjadi sajian wajib Zaman Baru.
Menurut Pradopo yang dikutip dalam Belajar Sejarah Melalui Sastra: Teori dan Aplikasi Pembelajaran (2020, hlm. 122), Zaman Baru juga dihiasi oleh sajak dari Sitor Situmorang yang berasal dari Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)--didirikan oleh Soekarno dan berafiliasi dengan PNI. Hal ini tidak terlepas dari hubungan LKN dan Lekra yang seirama dalam “revolusi” pada masa Demokrasi Terpimpin.
Memasuki 1958, majalah ini sempat mengalami krisis materi karena kesibukan para kontributor. Zaman Baru berakhir menyapa pembaca tidak lama setelah gemuruh politik menerjang pada 1965.
Kisah Kalah Bersaing dengan Kisah Cabul
A. Teeuw dalam Belajar Sejarah Melalui Sastra: Teori dan Aplikasi Pembelajaran (2020) menyebut setelah kepergian Chairil Anwar pada 1949, dunia sastra Indonesia mengalami krisis. Menurut Soedjatmoko, krisis dalam sastra dan kebudayaan ini terjadi akibat ketiadaan kepemimpinan. Sementara H. B. Jassin menyatakan krisis tersebut merupakan hal yang wajar mengingat kondisi bangsa sedang di masa peralihan.
“Menghadapi hal tersebut maka pengarang lebih banyak menulis di majalah-majalah Siasat, Zenith, Mimbar Indonesia dan lain-lain. Karena keterbatasan ruang maka majalah hanya memuat sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang,” demikian dicatat Sejarah Sastra Indonesia (2011, hlm.62-63) (PDF).
Majalah Kisah yang terbit pada 1953 mencoba menjawab tantangan krisis ini. Kisah dirintis oleh Sujati S. A, sementara ruang redaksi diisi oleh H. B. Jassin, M. Balfas, dan Idrus. Nama majalah ini diilhami oleh karya Sujati S. A yang berjudul “Al-Kisah”.
Majalah ini tidak berpolitik. Mereka membawa semangat bacaan yang baik untuk masyarakat dan berperan penting dalam menyediakan ruang sastra. Menjelang 1955, majalah ini menyediakan ruang khusus untuk sajak dan esai yang diberi nama “Persada”. Kolom diasuh oleh Ramadhan K. H. dan Nugroho Notosusanto.
Sayangnya Kisah gagal bersaing dengan terbitan-terbitan lain yang memuat bacaan-bacaan cabul--ketika itu menjamur. Kisah harus undur diri pada 1957.
Namun H. B. Jassin selaku pengurus redaksi tidak mau menyerah. Dia mengubah majalah yang diasuhnya ini menjadi majalah Sastra.
Sastra Tersandung Penistaan Agama
Majalah Sastra terbit pertama kali pada 1961. Pengganti Kisah ini, selain H. B. Jassin, dikemudikan oleh Bambang Muhari dan DS. Mulyanto. Nama terakhir merangkap sebagai sekretaris dan penyelenggara redaksi.
Dalam Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanah Air Bahasa (2008, hlm. 791-792), disebutkan bahwa majalah ini dibuat untuk menghidupkan kembali tradisi bersastra yang dihantam mahalnya harga cerpen dan puisi. Namun demikian, Sastra sesekali melemparkan kritik pada elite politik.
Nama-nama seperti M. Balfas, W. S. Rendra, N. H. Dini, Goenawan Mohamad hingga Iwan Simatupang bergiliran mengisi rubrik sastra.
Goncangan menerpa Sastra ketika pengurusnya yang terlibat dalam pembentukan Manifesto Kebudayaan pada 1963 ditahan. Manifesto yang mengusung aliran humanisme universal dianggap sebagai bentuk kontrarevolusi yang tengah bergaung pada masa itu.
Tapi itu bukan akhir kisah Sastra. Dalam Belajar Sejarah Melalui Sastra: Teori dan Aplikasi Pembelajaran (2020, hlm. 121), disebutkan bahwa Sastra kembali menyapa pembaca pada 1967.
Sayangnya setahun kemudian majalah ini tutup selama-lamanya. Penyebabnya adalah artikel “Langit Makin Mendung” dari Ki Panji Kusmin yang dianggap menghina Islam. Karena ini pula H. B. Jassin dihukum satu tahun penjara karena tidak bersedia membuka identitas Ki Panji Kusmin dalam pengadilan.
Tutup setelah Ditinggal Nugroho Notosusanto
Empat belas tahun sebelum koran Kompas yang dirintis Jakob Oetama dan P. K. Ojong menyapa pembaca, sudah terbit majalah dengan nama yang sama. Pada 1951, Kompas dirintis Muhardjo Djojodigdo, Hd. Suhardjo Ramadhan, K. H. R. Tasman, dan A. Sambik, dan Sri Budojo sebagai pemimpin umum.
Dalam Seabad Pers Kebangsaan:Bahasa Bangsa, Tanah Air Bahasa (2008, hlm. 706-708), dikatakan bahwa majalah ini menyajikan rubrik sastra yang memuat puisi dan cerpen, juga rubrik internasional, berita nasional, serta olahraga. Di luar itu ada satu lagi rubrik unik, yaitu komentar pembaca.
Sasaran dari majalah ini sebenarnya adalah masyarakat umum. Namun ia menjadi magnet tersendiri bagi kalangan pelajar, seniman, dan guru.
Kepergian Sri Budojo ke luar negeri pada 1952 menjadi ujian besar bagi Kompas. Ujian itu terlewati dengan Nugroho Notosusanto bergabung sebagai ketua redaksi. Di bawah kendalinya, Kompas menempatkan diri sebagai trompet pemuda dan generasi baru yang tidak berafiliasi dengan partai politik.
Namun karena Nugroho Notosusanto pula nasib Kompas berhenti. Keputusannya untuk melanjutkan karier jurnalistik di majalah kampus UI pada 1954 menjadi akhir perjalanan majalah ini.
Sebelum berhenti menyapa pembaca, pada 1953, majalah ini pernah memuat cerita bersambung dari Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Tjerita dari Blora”. Hal itu terjadi karena kekaguman Nugroho Notosusanto kepada Pram yang menurutnya adalah sosok jujur.
Dana Terbatas untuk Kalam
Kalam terbit pada 1994 sebagai jurnal kebudayaan yang diprakarsai Goenawan Mohamad. Mengutip Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanah Air Bahasa (2008), dengan mengusung jargon “Postmodernime di Sekitar Kita”, jurnal kebudayaan ini dimaksudkan sebagai antitesis dari jurnal ilmiah yang kaku.
Jurnal kebudayaan ini menjadi wadah pertemuan antara sastrawan Indonesia dengan dunia karena juga menerima karya terjemahan dalam bentuk fiksi maupun esai ilmiah. Selain itu pengurusnya juga dan beberapa kali mengadakan ruang penanggap dan tertanggap.
Meski pada awal penerbitan sempat menghadirkan kehebohan, jurnal ini tetap gagal keluar dari masalah klasik: duit. Meski tak lagi terbit, Kalam edisi pertama tahun 1994 hingga edisi 22 tahun 2005 tersedia dalam bentuk online.
Digitalisasi Majalah Horison
Satu majalah sastra yang terbukti langgeng adalah Horison. Majalah ini terbit pada 1966 dan akhirnya bertransformasi ke edisi online di awal abad ke-21.
Mochtar Lubis, Taufiq Ismail, Zaini, dan Arief Budiman adalah perintis awal majalah ini, dengan P. K. Ojong sebagai penyedia dana. Ruang redaksi pernah diisi oleh Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, hingga Sutardji Calzoum Bachri.
Buku Belajar Sejarah Melalui Sastra: Teori dan Aplikasi Pembelajaran (2020, hlm. 123), menyebutkan bahwa Horison adalah salah satu realisasi dari Simposium Kebangkitan Semangat ’66: Menjelajah Tracee Baru. Horison edisi 2 Agustus 1966 memuat tulisan yang bertajuk “Angkatan ’66: Bangkitnya Satu Generasi” dari H. B. Jassin. Horison bertujuan mendobrak belenggu pikiran yang sudah lama terjadi, khususnya pada masa polemik antara Lekra dengan Manifesto Kebudayaan pada masa Demokrasi Terpimpin.
Horison tumbuh sebagai majalah sastra yang nyaris tanpa pesaing pada masa Orde Baru. Bahkan muncul semacam adagium bahwa “kesastrawanan seseorang baru diakui bila sudah menulis di Horison”.
Meski begitu, Horison tetap menemui goncangan. Wijaya Herlambang (2019, 230) menyebut pemicunya adalah Kompas, Femina, Sinar Harapan, dan Tempo menghentikan bantuan dana kepada mereka pada pertengahan 1990.
PT. Grafiti sebagai penerbit Tempo terpilih untuk mengurus Horison. Namun hal tersebut tidak terealisasi karena syarat yang diajukan Tempo mengenai pengambilalihan SIUPP Horrison tidak disepakati oleh para pendirinya. Keputusan tersebut memicu konflik antara Goenawan Mohamad dari Tempo dengan pengurus Horison khususnya Taufiq Ismail.
Beragam upaya ditempuh untuk menyiasati masalah keuangan. Misalnya dengan membuka program “Sepuluh Gerakan Horison” pada 1996. Sasarannya adalah kalangan pelajar. Mereka diberi pelatihan menulis, mengulas karya, lokakarya, hingga Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB). (2008, hlm. 846). Program ini mendapat dana dari Depdiknas.
Pada 2016, majalah ini mengumumkan bahwa mereka resmi beralih ke online. Hal ini dilakukan untuk memangkas biaya penerbitan dan mengikuti perkembangan teknologi. Selain itu diharapkan juga dapat dibaca lebih banyak orang.
Sayangnya saat ini laman Horisononline tidak lagi dapat diakses.
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Rio Apinino