Menuju konten utama

Pasang-Surut Karier "Si Rasis" Steve Bannon

Bannon memainkan manuver politik canggih yang mendudukkannya sebagai orang kepercayaan Trump.

Pasang-Surut Karier
CEO kampanye kandidat partai Republik Donald Trump Stephen Bannon terlihat dalam pertemuan di Trump Tower di Manhattan, New York, Amerika Serikat, 20 Agustus 2016. ANTARA FOTO/REUTERS/Carlo Allegri/File Photo.

tirto.id - Sehari setelah perayaan HUT RI ke-72, kabar mengejutkan datang dari Gedung Putih: penasihat utama Gedung Putih Steve Bannon diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden Donald Trump.

Juru Bicara Gedung Putih Sarah Sanders mengatakan pada awak media bahwa Kepala Staf Gedung Putih dan Steve Bannon telah menyepakati 18 Agustus 2017 sebagai hari terakhirnya sebagai penasihat Trump. "Kami menghargai pekerjaan yang telah dijalankannya dan mendoakan semoga ia sukses," tambahnya.

Berbagai pemberitaan simpang siur mewarnai keluarnya Steve dari pusat pemerintahan Amerika Serikat tersebut. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa Bannon telah menyampaikan pengunduran dirinya pada 7 Agustus lalu, sementara beberapa laporan lainnya menunjukkan bahwa Bannon sebenarnya dipecat oleh Presiden Donald Trump.

Siapa sesungguhnya Steve Bannon dan kenapa pemecatan dirinya dari Gedung Putih mendapat sorotan khusus?

Stephen Kevin Bannon lahir di Norfolk, Virginia, pada tanggal 27 November 1953. Setelah menyelesaikan studinya di tiga tempat—Virginia Tech (1976), Georgetown University, dan Harvard University (1985)—ia memasuki Angkatan Laut AS. Bannon sempat memiliki peran lumayan penting di luar negeri dan pernah menjabat sebagai asisten khusus untuk Kepala Operasi Angkatan Laut di Pentagon, kantor pusat Departemen Pertahanan AS.

Usai rampung menjalani dunia militer, Bannon bekerja di bank spesialis investasi Goldman Sachs hingga 1990, ketika ia membuka bank investasi bernama Bannon & Co. Pada waktu itu, ia juga melebarkan sayap ke bisnis media. Di sisi lain, Bannon juga punya karier di dunia hiburan Hollywood dan membuat beberapa film fiksi maupun dokumenter.

Tak ada yang spesial dari dua elemen bisnis ini, bahkan bisa dikatakan Bannon gagal menghidupinya dengan baik.

Fase penting dalam perjalanan karier Bannon yang sekaligus menjadi tulang punggung dalam karier politiknya kemudian, adalah saat ia mengambil alih kursi kepemimpinan Breibart News Network dari tangan pendirinya, Andrew Breitbart, yang meninggal pada 2012.

Baca juga: Inilah Breibart, Corong Nazi ala Amerika Serikat

Breibart News Network adalah media kesayangan kelompok kanan-jauh (far-right) AS. Konten berita dan opini yang dihasilkan, menurut penilaian Zeke J. Miller dari Time, “mendorong konten rasis, xenofobia, dan anti-Semit dalam platform ideologi alternative right atau alt-right.” Kemudi yang dipegang Bannon membuat Breibart News makin kanan dan nasionalis, sebagaimana deklarasinya di tahun 2016, dan membuat kanal ini makin disukai oleh orang-orang konservatif di AS.

Angka pengunjung Breitbart News meledak di awal kepemimpinan Bannon, dari sebelas juta tampilan halaman per bulan menjadi dua ratus juta lebih. Ia lalu menjual kekuatan medianya untuk memenangkan pertarungan memperebutkan kursi kepresidenan setelah Barrack Obama lengser dari periode dua kekuasaannya.

Dalam laporan The New York Times, Bannon dan Stephen Miller, direktur komunikasi untuk senator Alabama Jaksa Agung Jeff Sessions, pada tahun 2014 pernah mengonsolidasikan kekuatan untuk mengusung Sessions sebagai calon presiden dalam Pemilihan Umum (Pemilu) AS 2016 dari Partai Republikan. Setelah lobi-lobi panjang, Sessions tetap menolaknya. Keduanya pun beralih ke Trump.

Keliaran idealisme Bannon bersanding mesra dengan pandangan politik Trump yang mentah sekaligus kontroversial. Ketika Bannon ditunjuk untuk menjabat pimpinan eksekutif kampanye presidensial Trump pada 17 Agustus 2016, publik bergejolak, termasuk orang-orang di kalangan Partai Republikan sendiri. Alasannya sederhana: Bannon memang dikenal punya strategi politik yang jenius dan teruji, namun idealismenya dinilai bak bom waktu yang akan menghancurkan karier Trump.

Pandangan politik Bannon, bagi orang luar, bisa dibaca dari apa yang ditulis di kanal Breitbart News, media yang ditinggalkannya sejak punya tugas memenangkan Trump pada Pemilu AS 2016. Ia kerap dideskripsikan sebagai seorang nasionalis, populis sayap kanan, dan paleo-konservatif. Bannon mengoreksinya sebagian dengan mengatakan bahwa dirinya adalah nasionalis-ekonomi dan menolak dianggap sebagai nasionalis kulit putih. Trump sendiri menyebutnya sebagai seorang libertarian.

Baca juga: KKK Gaya Baru dan Kebangkitan Supremasi Kulit Putih AS

Satu hal yang bisa disepakati, ia adalah seorang anti-globalis. Sejak masa kampanye Trump hingga pengangkatan sebagai Kepala Strategi Gedung Putih dan Penasihat Senior Presiden, apa yang keluar dari mulut Trump adalah representasi dari ide-ide Bannon, termasuk kebijakan pengetatan aturan imigrasi dan menguatnya sentimen anti-(imigran) muslim, yang dinilai Bannon sebagai upaya mencegah masuknya ISIS ke teritori AS.

Pendukung Trump berlatar belakang pekerja kulit putih menyambut proposal Bannon, apalagi ditambah dengan propaganda yang menekankan bahwa imigran kulit berwarna yang datang ke AS merebut lapangan kerja. Dalam pandangan yang lebih ekstrem, imigran kerap dipandang sebagai biang keladi pengangguran tinggi di kalangan orang kulit putih AS. Bannon mampu mengolah dampak krisis ekonomi 2008 dengan cukup baik.

Sebagai anti-globalis sejati, Bannon ingin pemerintah AS melakukan pengetatan aturan dalam aturan dan praktik perdagangan bebas (free trade) antara AS dengan negara-negara lain, terutama dengan Cina dan Meksiko. Ia juga menolak Perjanjian Paris terkait perubahan iklim, dengan alasan kesepakatan tersebut akan merugikan ekonomi AS. Lobinya yang mumpuni mampu membuat Trump juga mengambil sikap yang sama. Tak hanya mencuit tentang betapa hoax-nya pemanasan global, salah satu kebijakan paling awal Trump adalah mengeluarkan AS dari Perjanjian Paris.

Bannon adalah pendukung gerakan sayap kanan di luar negeri seperti Front Nasional Perancis, Partai Kebebasan Belanda, Alternatif untuk Jerman, Partai Kebebasan Austria, atau Partai Kemerdekaan Inggris. Parpol-parpol tersebut punya basis pendukung dari organisasi massa (ormas) sayap kanan dari yang lunak hingga yang ekstrem dan suka meneror imigran di negaranya. Mereka, termasuk Bannon, kerap dilabeli rasis dan fasis sebab mengangkat kembali semangat nasionalis-kulit putih.

Baca juga: Fasis yang Baik adalah Fasis yang Tobat

Infografik Steve bannon

Sikap ini tentu saja mendapat tantangan yang keras dari elemen-elemen liberal hingga hingga pelbagai spektrum kelompok sayap kiri sejak setahun belakangan. Puncaknya adalah tragedi Charlottesville yang terjadi di Virginia pada Sabtu (12/8/2017) lalu.

Di Charlottesville, aksi kaum nasionalis kulit putih yang memprotes rencana pemindahan patung seorang jenderal Konfederasi (kubu pro-perbudakan semasa Perang Saudara AS tahun 1861-1865), bentrok dengan elemen sayap kiri khususnya para aktivis Antifasis (Antifa) dan Black Lives Matter (BLM). Di hari yang nahas itu, Heather Heyer, perempuan berusia 32 tahun tewas ditabrak oleh pendukung nazi bernama James Alex Fields Jr.

Trump dikritik oleh rakyat AS karena tak mengecam kelompok penyebar kebencian dari ekstrem kanan, tapi justru mengecam kedua kelompok. Tindakannya juga mendapat kritik dari internal partai. Beberapa hari kemudian ia kembali mengadakan konferensi pers yang berisi kecaman terhadap sikap rasisme dan kelompok-kelompok yang menganutnya. Manuver ini pun menuai kritikan, sebab publik menilai apa yang diucapkan Trump tergolong hipokrit dan hanya muncul setelah ia dihujani kecaman “pro nasionalis-kulit putih”.

Tragedi memilukan ini disebut-sebut sebagai penyebab utama pemecatan Bannon, yakni untuk mengurangi gelombang tuduhan bahwa pemerintahan Trump disetir olah orang berotak rasis dan fasis seperti Bannon.

Meski telah keluar dari Gedung Putih, editor-at-large CNN Chris Cillizza menilai pengaruh Bannon kepala Trump setahun belakangan akan tetap menghiasi kebijakan-kebijakan dalam dan luar negeri AS. Bannon dan Breitbart secara khusus telah memberikan Trump pondasi sikap yang berpengaruh besar pada apa yang disebut Trumpism, ideologi—sekaligus olok-olok—yang kini sedang dijalankan Trump.

“Bannon tak menciptakan Trump. Tapi ia berhasil menancapkan pengaruhnya dalam diri Trump,” kata Cillizza.

Baca juga artikel terkait PEMERINTAHAN DONALD TRUMP atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf