tirto.id - Isu penguasaan asing terhadap ekonomi Indonesia menjadi salah satu bahan serangan kubu oposisi terhadap pemerintah. Calon Presiden Prabowo Subianto termasuk yang sempat menyampaikan kegelisahannya soal dominasi asing pada sendi-sendi ekonomi di Indonesia.
Salah satu yang melekat keterlibatan asing adalah di bidang aliran modal atau investasi asing. Faisal Basri, Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) pernah menegaskan ekonomi Indonesia tidak dikuasai oleh asing, karena penanaman modal asing atau foreign direct investment (FDI) terhadap pembentukan modal tetap bruto (PMTB) relatif kecil.
Bagaimana realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan porsinya terhadap indikator produk domestik bruto (PDB) di Indonesia?
PMA Era Orde Baru
Istilah PMA telah dikenal sejak era Presiden Soeharto. Kala itu, masa pemulihan perekonomian negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing berhasil terbit. Salah satu catatan historis yang terjadi setelah adanya UU itu adalah beroperasinya PT Freeport Indonesia. Kala itu, UU PMA terpisah dengan UU soal penanaman modal dalam negeri (PMDN).
Pada era setelah reformasi, perubahan politik yang ada tidak lantas menyurutkan aliran PMA ke dalam perekonomian. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum sempat terbit. Melalui PP tersebut, setidaknya, warga asing diperbolehkan untuk membeli saham bank umum hingga 99 persen.
Kelonggaran itu diambil sebagai salah satu langkah dan strategis memulihkan sektor perbankan setelah krisis moneter 1998 menerpa. Harapannya, investor asing kembali mau untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Pada pemerintahan presiden Megawati Soekarnoputri, realisasi PMA sempat turun tajam seiring situasi politik di Indonesia. Namun, setelah adanya peningkatan rating investasi Moody’s pada September 2003 (dari B3 menjadi B2) kepercayaan investor terhadap Indonesia turut meningkat.
Pada masa itu memang adalah periode akhir program kerja sama pemerintah dengan IMF (International Monetary Fund). Instruksi Presiden Nomor 5/2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program Kerjasama dengan IMF terbit sebagai siasat menghadapi potensi kesenjangan keuangan. Terutama soal pembiayaan pemerintahan dan pertimbangan terhadap sentimen pasar.
Kebijakan lain Presiden Megawati yang memulihkan kepercayaan investor asing adalah instruksi soal layanan satu atap dan Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi (Timnas PEPI) untuk menangani persoalan inter-sektoral. Tujuannya untuk memperbaiki kebijakan investasi dan perdagangan.
Namun, pembatalan UU Kelistrikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan masih lambatnya usaha privatisasi, membuat performa realisasi investasi tidak optimal. Nilai realisasi investasi pada 2004 hanya mencapai Rp132,64 triliun. Pada PMA realisasi nilainya turun dibandingkan sebelumnya, menjadi Rp95,5 triliun. Pada masa presiden kelima itu, proporsi PMA terhadap total nilai investasi berada pada rentang 70-80 persen (2002-2004).
Penurunan total realisasi PMA juga dialami oleh presiden keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada 2005 misalnya, total investasi turun sekitar 14,32 persen dari tahun sebelumnya, sebesar Rp118,32 triliun. Total investasi itu pun kembali turun pada 2006 menjadi Rp74,7 triliun.
SBY sempat memberikan penjelasan penyebab rendahnya realisasi investasi dalam dua tahun itu. Dalam sebuah pidato di awal 2007, SBY menyebut faktor suku bunga dan berbelitnya izin penanaman modal adalah penghambat investasi terjadi.
UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal lantas terbit beberapa bulan setelahnya. UU turut diikuti dengan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 yang mengatur tentang bidang yang tertutup dan terbuka terhadap penanaman modal asing. Instrumen PP menjadi semacam petunjuk mana sektor investasi yang diproteksi dan tidak dari pengaruh asing. Peraturan juga memperjelas bidang usaha yang memperbolehkan adanya investor asing dengan porsi kepemilikan tertentu atau daftar negatif investasi (DNI).
Sektor bidang usaha bank devisa dan non devisa, bank Syariah, dan perusahaan pialang pasar uang adalah contoh yang terbuka dengan PMA. Porsi kepemilikan modal asing pun dapat mencapai 99 persen. Hal yang sama terjadi di bidang pengeboran migas di darat dan pembangkit tenaga listrik juga diperbolehkan dimodali asing hingga 95 persen.
Hasil dari kepastian aturan main berinvestasi ini lantas terlihat di akhir 2007. Realisasi PMA naik menjadi Rp97,41 triliun dari sebelumnya Rp53,91 triliun pada 2006. Sedangkan PMDN pun turut meningkat, walaupun tidak begitu signifikan, dari Rp20,79 triliun pada 2006 menjadi Rp34,88 triliun pada 2007. PMA dan PMDN dicatat oleh lembaga khusus yang kini bernama Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Krisis keuangan pada kuartal akhir 2008 pun tampak tidak mengganggu performa realisasi PMA. Dengan kondisi perekonomian saat itu, dan peringkat rating investasi Ba3 Moody’s, PMA Indonesia pada 2008 mencapai Rp162,84 triliun.
Tren PMA dan PMDN
Sejak 2006 tren negara asal investor PMA ke Indonesia memang bergeser. Jika tahun-tahun sebelumnya investor dari Eropa dan AS punya porsi besar dalam aliran modal asing, sejak tahun itu, porsi investor regional, seperti Jepang dan Singapura mulai terlihat nyata.
Dampaknya, realisasi PMA yang masuk ke Indonesia pada tahun itu melambung tinggi menjadi Rp162,84 triliun. Jumlah tersebut menyumbang porsi 88,89 persen dari total nilai realisasi investasi pada tahun tersebut. Sementara, PMDN hanya mengumpulkan investasi sebesar Rp20,36 triliun.
Pada kurun waktu 2005 hingga 2009, porsi realisasi PMA terhadap total nilai investasi berkisar pada level di atas 70 persen hingga hampir mencapai 90 persen. Sementara itu, proporsi realisasi PMA terhadap PDB Indonesia berkisar pada level dua hingga tujuh persen setiap tahunnya.
Pada April 2014, peraturan baru mengenai bidang usaha yang terbuka dan tertutup terhadap modal asing atau DNI kembali direvisi. Melalui Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014, jumlah bidang usaha yang terbuka terhadap PMA kembali ditambah. Pada konteks tertentu, perubahan dilakukan sebagai salah satu syarat dalam persiapan rencana kawasan perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015.
Hingga era Presiden Jokowi yang mulai menjabat sejak Oktober 2014, kenaikan realisasi investasi masih terjadi. Pada 2015 realisasi PMA naik menjadi Rp403,86 triliun dari tahun sebelumnya sebesar Rp354,91 triliun. Sedangkan PMDN naik menjadi Rp179,47 triliun dari tahun sebelumnya sebesar Rp156,13 triliun.
Beberapa paket kebijakan ekonomi lantas terbit. Hal itu sebagai kebijakan dalam strategi penyelesaian masalah ekonomi (terutama investasi), seperti kemudahan birokrasi, menghilangkan hambatan regulasi, termasuk izin investasi. Paket kebijakan yang mulanya diterbitkan pada kuartal akhir 2015, mencapai jilid ke-14 hingga akhir 2016.
Selain itu, Presiden Jokowi juga membuat Perpres Nomor 44 Tahun 2016, yang mengatur tentang bidang usaha yang terbuka dan tertutup terhadap penanaman modal. Aturan itu lantas menambahkan daftar bidang usaha yang dapat dimasuki modal asing. Salah satunya, usaha pertunjukan film atau bioskop.
Pada 2017, realisasi PMA naik menjadi Rp436,78 triliun setelah tahun sebelumnya hanya mencatat Rp389,16 triliun. Selama tiga tahun kepemimpinan Jokowi, proporsi realisasi PMA terhadap total nilai realisasi investasi dalam tren mengecil dari 69 persen jadi 62 persen, sedangkan PMDN sebaliknya makin membesar dari 31 persen jadi 38 persen.
Selain porsi PMA yang mengecil terhadap PMDN, porsi realisasi PMA juga mengecil terhadap produk domestik bruto (PDB) atau perekonomian. Porsi PMA terhadap PDB pada 2017 hanya 4,41 persen, turun dari 2015 yang sempat 4,5 persen. Namun, secara historis total nilai realisasi PMA di Indonesia memang dalam tren mengalami kenaikan. Realisasi PMA tak terpisahkan dari kondisi dan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah yang berkuasa.
Editor: Suhendra