tirto.id - Film Ada Apa Dengan Cinta 2 (AADC 2) mampu menembus 3 juta penonton. Film kisah Cinta dan Rangga ini berhasil melampaui AADC 1 yang menyedot 2,7 juta penonton. Dalam waktu yang tak jauh berbeda, film My Stupid Boss di luar dugaan juga berhasil menyedot hampir 2,7 juta penonton dalam kurun waktu 18 hari pemutarannya.
Jumlah penonton AADC 2 hanya sedikit di bawah perolehan film Ketika Cinta Bertasbih (2009) yang berhasil menyedot 3,1 juta penonton. Rekor tertinggi masih dipegang oleh Laskar Pelangi (2008) dengan jumlah penonton mencapai 4,6 juta orang.
AADC, My Stupid Boss, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, dan Habibie dan Ainun, merupakan segelintir film-film yang beruntung karena berhasil menggaet lebih dari 1 juta penonton. Namun, tidak sedikit film Indonesia yang bernasib apes. Sudah heboh promosi dan pembuatannya, tetapi jumlah penontonnya sangat minim.
Terbatasnya layar bioskop membuat persaingan dengan film impor menjadi sangat ketat. Film Indonesia tak punya alternatif lain untuk diputar. Kalau tak bagus-bagus amat, dipastikan langsung terjungkal ketika berhadapan dengan film asing.
Jumlah layar bioskop di Indonesia saat ini memang masih minim. Salah satunya karena investasi sempat terhambat karena bisnis ini masuk dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) bagi asing. Untuk menggairahkan lagi industri perfilman, pemerintah kini sudah membuka lebar-lebar pintu investasi bioskop bagi asing, melalui revisi DNI. Mampu kah pasar Indonesia memikat investor asing?
Membuka Lebar untuk Asing
Kurangnya jumlah bioskop di Indonesia sempat mendapatkan perhatian dari Presiden Joko Widodo. Dalam kesempatan Hari Film Nasional, 30 Maret 2016 lalu, Presiden Jokowi menyatakan Indonesia masih kekurangan 4.000 layar bioskop lagi. Saat ini, jumlah gedung bioskop baru berkisar 1.000 layar lebih, sementara kebutuhan normal sesuai penduduk Indonesia mencapai 5.000 hingga 6.000 layar.
Fakta tentang minimnya jumlah layar bioskop itu tentu saja membuat para produser film gelisah. Mereka terus dibayangi rugi saat membuat film karena tak mampu bersaing.
"Saat ini baru ada 1.117 layar. Jumlah itu tidak bisa memfasilitasi penonton potensial di Tanah Air," kata Produser film Manoj Punjabi, yang juga Ketua Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) dikutip dari Antara.
Kegelisahan hati Manoj sebagai pelaku industri film lokal terjawab. Pada 11 Februari 2016, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengumumkan Paket Kebijakan Jilid X. Paket ini berisi tentang revisi DNI, yang selama ini diatur oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan.
Dalam Perpres 2014, usaha pertunjukan film atau bioskop hanya 100 persen untuk penanaman modal dalam negeri. Namun, pada Perpres No.44 Tahun 2016 yang diteken Jokowi pada 12 Mei 2016, tak lagi memasukan usaha pertunjukan film. Dengan kata lain, bisnis bioskop terbuka untuk investor asing. Selain itu, usaha jasa teknik film seperti jasa studio, dan pembuatan film juga dicabut dari DNI. Perpres terbaru ini benar-benar membuka kesempatan asing dari hulu hingga hilir di bisnis film.
Terbukanya bisnis ini, tujuannya apa lagi kalau bukan untuk mengisi kekurangan 80 persen layar bioskop di dalam negeri yang sudah terjadi selama puluhan tahun.
“Selama 35 tahun industri atau perfilman Indonesia dikungkung oleh aturan yang membatasi investasi bebas, terutama dari asing. Jadi 100 persen modal dalam negeri. Tanpa layar bioskop yang cukup, maka kreativitas anak muda Indonesia tidak ada dalam membuat film,” kata Ketua Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf kepada tirto.id beberapa waktu lalu.
Meski membolehkan investor asing masuk, tetapi pemerintah tetap punya rambu-rambu kepada investor bioskop, yaitu dengan adanya ketentuan wajib putar film lokal. Dalam UU Nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman, ada ketentuan pelaku usaha bioskop wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60 persen dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama enam bulan berturut-turut.
Liberalisasi bisnis bioskop bukan hanya persoalan misi menambah dan pemerataan jumlah layar bioskop di Indonesia. Kebijakan ini disebut-sebut sebagai upaya mengakhiri praktik dugaan oligopoli yang menghinggapi bisnis bioskop. Bisnis layar bioskop dalam negeri selama dua dekade terakhir hanya dinikmati oleh kelompok usaha tertentu saja. Praktik dugaan oligopoli telah mengganggu pertumbuhan jumlah layar bioskop dalam negeri. Selain itu, akses masyarakat di kota-kota kecil untuk menikmati film di layar lebar jadi terbatas.
Terbukanya asing di bisnis bioskop diharapkan dapat mendorong perkembangan industri film dalam negeri. Salah satunya dalam menambah jumlah layar bioskop yang masih terbatas. Saat ini, rasio penduduk dan layar bioskop di Indonesia terbilang minim, padahal penduduk Indonesia mencapai 250 juta jiwa lebih.
Pemerintah cukup menyadari adanya ketimpangan dalam persebaran bioskop dalam negeri. Dari jumlah layar yang ada, sebanyak 87 persen berada di bioskop-bioskop di Pulau Jawa, ironisnya 35 persen ada di Jakarta.
“Padahal warga luar Pulau Jawa juga ingin menikmati hiburan nonton bioskop,” kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Dominasi di Bisnis Bioskop
Pelaku usaha skala besar di bisnis bioskop masih bisa dihitung dengan jari. Salah satunya Grup 21 yang didirikan oleh konglomerat Sudwikatmono pada 1986. Saat ini, Grup 21 masih mendominasi industri bioskop tanah air, dengan kepemilikan layar terbanyak.
Di bawah bendera PT Nusantara Sejahtera Raya, Grup 21 menggurita dengan merek dagang bioskop Cinema 21, Cinema XXI, The Premiere, dan paling baru adalah IMAX. Hingga akhir 2015, Grup 21 telah memiliki 829 layar tersebar di 205 lokasi.
Selama dua dekade merajai bisnis bioskop tanah air, Grup 21 hampir tanpa pesaing yang berarti. Baru memasuki tahun 2006, Grup 21 mulai mendapat pesaing dengan hadirnya Blitzmegaplex. Di bawah bendera PT Gapura Layar Prima, Blitzmegaplex mulai membayangi bisnis bioskop Grup 21.
Gedung bioskop pertama Blitzmegaplex berada di Kota Bandung. Pada Agustus 2015, Blitzmegaplex berganti nama menjadi CGV Blitz setelah sukses menggandeng raksasa jaringan bioskop asal Korea Selatan, Cheil Jedang Cheil Golden Village (CJ CV). Hampir sepuluh tahun beroperasi, CGV Blitz kini telah memiliki 123 layar di 19 lokasi.
Selain dua pemain besar tadi, Grup Lippo juga ikut meramaikan bisnis bioskop, melalui PT Cinemaxx Global Pasifik. Pada Agustus 2014, berdiri gedung bioskop Cinemaxx di Jakarta. Jumlah layar bioskop yang dimiliki grup ini masih minim bila dibanding Grup 21 dan CGV Blitz. Hingga akhir tahun lalu, Cinemaxx baru memiliki 79 layar di 15 lokasi.
Grup Lippo memiliki target fantastis untuk mendirikan 2.000 layar bioskop di 300 lokasi yang tersebar dalam 85 kota di Indonesia dalam 10 tahun ke depan. Mereka menggandeng Deutsche Bank untuk memperoleh dana investasi sebesar 100 juta dolar AS atau sekitar Rp1,35 triliun.
Selain tiga pemain besar itu, ada sejumah layar bioskop yang dikelola oleh operator jaringan bioskop lain seperti Platinum Cineplex di bawah bendera grup Multivision milik Taipan Sinetron Raam Punjabi.
Platinum memiliki 18 layar bioskop di 4 lokasi dan mengincar segmen menengah ke bawah. Bioskop Platinum Cineplex berdiri di wilayah kabupaten yaitu Cibinong, Magelang, Solo, dan Sidoarjo. Pemain bioskop lainnya yaitu New Star Cineplex juga mengincar segmen yang sama, mereka memiliki 16 layar di 7 lokasi Kabupaten Pasuruan, Jember, Madiun, Sidoarjo, Banyuwangi, dan Kudus.
Kehadiran pemain-pemain baru di bisnis bioskop belum mampu menggoyahkan dominasi Grup 21. Sampai saat ini, Grup 21 masih menguasai 80 persen pangsa pasar penonton film di Indonesia. Selain itu, persebaran jumlah layar bioskop yang mereka bangun masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah ketika pintu bisnis bioskop sudah dibuka selebar-lebarnya untuk investor asing.
Persebaran bioskop-bioskop milik Grup 21, CGV Blitz, hingga Cinemaxx mayoritas terpusat di Jawa, khususnya di ibukota Jakarta dan sekitarnya. Dampaknya, hanya kalangan menengah ke atas saja yang bisa mengakses layar bioskop.
Triawan Munaf sudah menyadari persoalan ini. Bekraf sebagai pihak yang mengusulkan liberalisasi bioskop, ingin jaringan bioskop menjangkau lebih luas hingga ke kota-kota kecil. Dengan demikian, bioskop juga bisa menjangkau penonton kelas menengah ke bawah di kota-kota kecil termasuk di luar Pulau Jawa. Pemerintah juga akan melakukan pengaturan, tak seluruh wilayah bisa dimasuki pemodal asing. Asing hanya masuk di kota kecil untuk membangun bioskop, untuk kota besar akan dilarang.
Aturan ini tentunya tak hanya isapan jempol belaka. Bekraf akan mendorong investor lokal atau asing dengan memberikan insentif perpajakan agar investor tak hanya membangun bioskop di kota-kota besar saja yang daya belinya kuat. Bekraf juga akan melakukan perlindungan terhadap bioskop-bioskop kecil, caranya dengan mendorong investor bermitra dengan pengusaha layar bioskop lokal.
“Yang pasti ada keringanan pajak bagi investor yang harus kita ciptakan,” kata Triawan.
Pasar Gemuk Bioskop
Pangsa pasar penonton film di Indonesia sangat menjanjikan. Dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta orang, potensi jumlah penonton pasti sangat menggiurkan investor. Merujuk pada data yang dilansir tabloid hiburan Bintang, sepanjang 2015 jumlah penonton untuk film lokal mencapai 5 juta penonton.
Untuk penonton film impor diperkirakan mencapai angka yang sama dan bahkan lebih besar. Berdasarkan data IHS, Indonesia termasuk dalam 20 besar negara dengan pangsa pasar film box office terbesar di dunia. Di daftar itu, hanya Indonesia satu-satunya yang berada di kawasan Asia Tenggara.
Sayangnya, potensi pasar yang sangat besar itu tidak dibarengi oleh pertumbuhan layar bioskop yang signifikan dan merata. Revisi DNI diharapkan mampu memicu tambahnya layar bioskop. Harapannya, tak hanya pertambahan layar bioskop, tetapi juga ketersediaan layar bioskop di wilayah-wilayah yang selama ini belum terjangkau bioskop.
Kuncinya, ada ketegasan pemerintah menegakkan aturan kepada para investor asing yang masuk ke bisnis bioskop. Tanpa aturan main yang jelas dan tegas, terbukanya bisnis bioskop untuk asing hanya akan menimbulkan kesenjangan baru di masyarakat luas dalam menikmati hiburan bioskop.