Menuju konten utama
Seri KNIL

Para Serdadu Kolonial dari Tanah Pasundan

Sejumlah menak dan cacah Sunda masuk KNIL. Ketika pecah revolusi, sebagian perwira bergabung dengan Republik Indonesia.

Para Serdadu Kolonial dari Tanah Pasundan
Ilustrasi KNIL Sunda. tirto.id/Sabit

tirto.id - Hidayat Martaatmadja adalah anak pensiunan Wedana Cimahi bernama Raden Rangga Martaatmadja. Dia pernah menjadi serdadu kolonial (KNIL) dengan pangkat letnan kelas dua dan bergaji cukup besar. Sebagai gambaran, gaji seorang letnan kelas dua yang baru dinas, seperti dicatat Didi Kartasasmita dalam Didi Kartasasmita: Pengabdian Bagi Kemerdekaan (1993: 30,91), sekitar 105 gulden, dan harga emas per gram kala itu masih 2 gulden. Seiring bertambahnya masa dinas, naiknya pangkat, serta statusnya sudah disamakan dengan perwira Belanda, maka gaji pun bertambah, jumlahnya bisa mencapai 420 gulden.

Namun, sebagaimana ditulis Dewi Rais Abin dalam Hidayat: Father, Friend, and a Gentlemen (2017:122), sebelum Jepang menyerbu Hindia Belanda, Hidayat keluar dari KNIL karena sakit. Sementara menurut orang-orang terdekatnya, dia keluar dari dinas tentara kolonial karena tidak tahan dengan diskriminasi yang berlaku di kalangan tentara saat itu. Hidayat memilih kembali menjadi sipil dan menikahi janda wedana bernama Ratu Aminah, yang usianya sembilan tahun lebih tua darinya.

Jumlah serdadu kolonial yang beretnis Sunda lumayan banyak, tapi jumlahnya masih kalah oleh para prajurit yang berasal dari Ambon, Minahasa, dan Jawa. Menurut RP Suyono dalam Peperangan Kerajaan di Nusantara (2003:325-326), pada tahun 1916 hanya terdapat 1.792 orang Sunda dari total 30.402 personil KNIL.

Selain Hidayat, personel KNIL asal Sunda lainnya yang merupakan lulusan Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda adalah Didi Kartasasmita. Ketika dia baru lulus dari sekolah, situasi ekonomi Hindia Belanda tengah terpuruk, imbas dari depresi ekonomi global. Tak banyak pilihan, Didi akhirnya mendaftarkan diri sebagai serdadu kolonial.

Tentara lainnya yang lulusan Breda adalah Raden Saleh Sadeli, anak patih Sumedang. Pada 15 Mei 1942, dia ditawan Jerman saat negara tersebut menduduki Belanda, dan baru bebas pada 28 Mei 1945 di Neubrandenburg--sebuah kota otonom di Jerman.

Sebelum Jepang mendarat di Hindia Belanda, sejumlah keturunan bupati di Priangan juga banyak yang masuk KNIL, salah satunya Adimamiet Praaning, keturunan Prawiradiningrat (pejabat kebupaten di Bogor). Seperti dicatat Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: de Indonesische Officieren uit het KNIL, 1900-1950 (1995:373), Praaning yang lahir pada 22 November 1920 itu menjadi prajurit milisi mulai tahun 1941. Namun, karena Jepang keburu datang, maka dia tak sempat menjadi perwira, dan malah ditawan.

Sementara Muharam Wiranatakusumah--anak Bupati Bandung, Wiranatakusumah V--pernah ikut latihan calon perwira cadangan KNIL atau Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO). Pangkatnya hanya sampai kopral milisi. Dia selanjutnya berkarier di kepolisian.

Pemuda Sunda yang kelak terkenal dan sempat mengikuti pelatihan calon perwira KNIL sebelum tahun 1942 adalah Husein Sastranegara. Menurut laporan koran De Locomotief (27/12/1939), Husein dilatih menjadi penerbang pada tahun 1939 bersama Samboedjo Hoerip, Moerkidjo (Surabaya), Soelistjo (Magelang), dan Djoehari Soeriadarma (Bandung).

Setelah proklamasi kemerdekaan, Husein berdinas di Yogyakarta dan meninggal setelah peswat yang diterbangkannya jatuh dan terbakar di Kampung Gowongan Lor, Yogyakarta. Namanya kemudian menjadi nama bandara di Andir, Bandung.

Para prajurit Sunda juga pernah terlibat dalam Perang Aceh, salah satunya Sersan Narkim. Dia menerima bintang ksatria Militaire Willems Orde kelas empat atas prestasinya di Aceh.

Sementara dalam buku Orang Terkemoeka Di Djawa (1944:485) disebutkan, terdapat nama Raden Djamhoer Haman yang berdinas sebagai bintara sejak 1932, tetapi dipecat pada 1936. Dia pernah ditempatkan di Magelang. Setelah dipecat dari KNIL, Djamhoer Haman berdagang di beberapa kota di Jawa Barat seperti Sukabumi, Subang, dan Pamanukan. Selain itu, dia juga menjadi instruktur di beberapa kepanduan seperti Surya Wirawan, Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), dan Ansor Nahdlatul Ulama.

Pada zaman Jepang, setelah KNIL luluh-lantak, banyak pemuda Sunda yang masuk Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang. Kemudian setelah proklamasi kemerdekaan, mereka juga banyak yang bergabung dengan Republik Indonesia, termasuk Didi Kartasasmita dan Hidayat Martaatmadja.

Infografik KNIL Sunda

Infografik KNIL Sunda. tirto.id/Sabit

Personel Andjing NICA, Batalion Tjakra, dan NEFIS

Setelah Jepang menyerah, pasukan KNIL yang hancur dihidupkan kembali untuk melawan para pejuang Republik. Salah satu pasukan yang terkenal ganas terhadap para gerilyawan adalah Batalion Infanteri ke-5 Andjing NICA yang dibentuk di Bandung. Orang-orang Sunda banyak yang tergabung dengan batalion ini.

Mereka adalah orang-orang dengan usia produktif, miskin, dan sulit mencari pekerjaan di zaman perang. Maka itu, menjadi serdadu Belanda adalah pilihan menarik: gaji prajurit rendahan KNIL setara dengan gaji sersan TNI yang baru dibentuk.

Dalam buku Het Andjing NICA Bataljon (KNIL) in Nederlands-Indie (1988:102-113) disebutkan beberapa nama prajurit bawahan dari suku Sunda yang terluka dan gugur di Jawa Tengah ketika Agresi Militer II. Mereka antara lain: Djenel, Emed, Ene, Entjer, Ikim, Joesoef bin Kembang, Kandi alias Soemantri, Manta alias Widaria, Moestapa, Abdoellah, Ahdi, Arwah, Dajeh, dan Badroedin. Pangkat mereka kebanyakan prajurit kelas dua.

Pada zaman revolusi yang kacau, ada bekas perwira TNI yang kembali masuk KNIL. Bahkan ada juga yang pernah menjadi taruna di Akademi Militer Yogyakarta milik Republik, tetapi juga menjadi menjadi peserta pelatihan perwira Belanda, Opleidingscentrum voor Officieren (OCO), di Bandung. Salah satunya adalah Raden Daoed Hyngersa Natawijagja. Menurut Benjamin Bouman (1995:405), Natawijagja adalah anak Bupati Cianjur kelahiran 15 Januari 1929. Setelah KNIL dibubarkan pada tahun 1950, dia kembali masuk TNI dengan pangkat terakhir kolonel.

Selain Natawijagja, pada zaman revolusi Adimamiet juga memilih membela Belanda. Dia melaporkan diri ke KNIL pada 1945. Setelah ikut pelatihan lagi, dia menjadi letnan KNIL dan pernah diperbantukan di Batalion Tjakra Madoera dan Batalion Infanteri ke-23. Setelah 1950, Adimamiet memilih pergi ke Belanda.

Di kesatuan artileri Belanda, ada seorang Sunda yang cukup terkenal, namanya Tolo. Menurut laporan surat kabar De Locomotief (03/12/1948), selama Agresi Militer Belanda I tahun 1947, sersan artileri Tolo bergabung dengan satuan intel NEFIS. Pada Agustus 1947, dia masuk ke Tegal yang dianggap sebagai daerah Republik, yang hanya ditemani seorang pegawai negeri sipil. Dia tengah mengumpulkan data intelijen.

Dalam perjalanan, dia berpapasan dengan patroli tentara Republik. Baku tembak pun terjadi. Tolo berhasil menewaskan dua prajurit Republik, dan seorang lagi ditangkap serta dibawa ke pangkalan militer Belanda. Kerjanya pada dinas rahasia beberapa kali berhasil membuat pasukan Belanda menyapu bersih kantong-kantong perlawanan Republik. Atas jasa-jasanya, Tolo dianugerahi bintang ksatria Militaire Willems Orde kelas empat.

Baca juga artikel terkait KNIL atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh