Menuju konten utama

Jan Kaseger, Kerabat Didi Kartasasmita yang Menolak Merah Putih

Jan Kaseger menumpas Tentara Republik Indonesia Sulawesi Utara (TRISU) dalam Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946.

Jan Kaseger, Kerabat Didi Kartasasmita yang Menolak Merah Putih
Ilustrasi Jan Kaseger. tirto.id/Rangga

tirto.id - Jan Keseger lulus dari sekolah perwira KNIL di Jatinegara pada 1922. Delapan tahun kemudian pangkatnya letnan satu, dan pada 1939 telah naik menjadi kapten. Kondisi ekonominya sejahtera, sebab menurut Didi Kartasasmita dalam otobiografinya, gaji seorang letnan satu KNIL sebesar 450 gulden. Sebagai gambaran, harga seekor kambing saat itu hanya 3 gulden.

Jan Kaseger dan Didi Kartasasmita sama-sama punya istri yang berasal dari keluarga Ruatta. Saat Jepang menyerbu Hindia Belanda, kedua perwira KNIL itu bertempur di Ambon dan mengalami kekalahan memalukan.

Setelah sempat menjadi tawanan Jepang, Didi Kartasasmita menyewa kapal kayu untuk pulang ke Jawa Barat. Sementara Jan Kaseger pulang ke Manado.

Pada 1945, usia Jan Kaseger sudah lebih dari 40 tahun. Ia menghendaki hidup nyaman dan aman di usia menjelang senja. Namun, amuk revolusi setelah pendudukan Jepang berakhir membuatnya ditarik kembali berdinas sebagai kapten KNIL di Minahasa.

Peristiwa Merah Putih

Charles Choesoy Taulu masuk KNIL pada masa sebelum kedatangan Jepang. Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, dia direkrut kembali masuk KNIL hingga jadi bintara. Usia Taulu lebih muda dari Kaseger.

Taulu berkawan dengan Wuisan yang juga bintara KNIL. Seperti Kaseger, keduanya orang Minahasa. Setelah tahun 1945 atau ketika revolusi tengah berkecamuk, banyak serdadu KNIL asal Minahasa yang susah untuk loyal kepada Kerajaan Belanda. Maka tak heran sejak awal 1946, mereka mulai kasak-kusuk membuat gerakan yang bertujuan mengambil alih kekuasaan di Manda dan sekitarnya dari tangan Belanda.

Sebelum gerakan dimulai, Taulu menyambangi Bernard Wilhelm Lapian, mantan anggota dewan rakyat kolonial yang pro Republik. Lapian mendukung rencana Taulu dan kawan-kawannya, meski dia sadar peluang gagal teramat besar.

Menurut Laurens Manus dan kawan-kawan dalam Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Sulawesi Utara (1992:94-95), tanggal 7 Februari diadakan rapat rahasia di rumah Lapian di Desa Singkil, Manado Utara. Pertemuan berikutnya digelar di rumah Wuisan di Desa Titiwungen, Menado Selatan.

Pada 10 Februari 1946, Militaire Politie (Polisi Militer Belanda) menahan Taulu dan Wuisan berdasarkan perintah Kapten Bloom, Komandan Garnisun Manado. Anggota gerakan lain yang bukan berasal dari KNIL juga ditangkap, seperti John Rahasia dan Mat Canon.

Meski rencana mereka mulai tercium aparat Belanda, namun rapat-rapat rahasia terus dilakukan. Pada 12 Februari 1946, pertemuan dipimpin Lapian. Mereka sepakat mempercepat dimulainya gerakan dua jam lebih awal. Tanggal 14 Februari 1946, perebutan kekuasaan dimulai.

Mereka bergerak merebut gudang senjata di asrama Teling I. Tim ini terdiri dari Kopral Runtukahu yang dibantu 8 bawahannya dari Kompi VII. Meski mereka hanya membawa senjata tanpa peluru, namun berhasil mengelabui bintara piket dan bawahannya yang menjaga asrama dan gudang senjata. Mereka juga berhasil membebaskan Taulu dan Wuisan.

Banyak pejabat Belanda dan bukan Belanda tapi pro Belanda kena garuk para prajurit KNIL dan pemuda Republiken. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa Merah Putih.

Infografik Jan Kaseger

Infografik Jan Kaseger. tirto.id/Rangga

Kaseger Setia pada Triwarna

Para kombatan itu kemudian membentuk Tentara Republik Indonesia Sulawesi Utara (TRISU). Kaseger sebetulnya diajak bergabung dalam gerakan tersebut. Menurut seorang Republiken bernama AS Rombot, dia berusaha membujuknya. Namun bagi Jan Kaseger, dia masih merasa terikat sumpat setia kepada Ratu Wilhelmina. Rombot mencoba meyakinkannya bahwa sumpah itu tidak berlaku lagi.

Dalam buku Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 (1997:179) disebutkan bahwa ketika Kaseger tampak ragu untuk ikut gerakan, Chris Ponto membisiki Taulu, “het gaat verkeerd, neem de zaak over (itu salah [segera] ambil alih).” Sementara itu AF Nelwan memainkan pistolnya karena tidak puas dengan sikap Kaseger yang ogah-ogahan.

“Kalau demikian halnya, maka pimpinan ketentaraan saya ambil alih,” kata Taulu kepada Kaseger.

Tanpa berat hati Kaseger membalas, “baiklah, silahkan bertindak.”

Meski ogah-ogahan, Kaseger tetap diikutkan dalam gerakan. Dia sebagaimana ditulis dalam buku Republik Indonesia Propinsi Sulawesi (1953:239), “juga diangkat menjadi mayor, tetapi belakangan mengundurkan diri karena tidak menyetujui pemberontakan ini.”

Selain Kaseger, tokoh perwira senior lain yang menolak gerkan ini adalah dokter Roland Tumbelaka. Dia bahkan berkata, “jangan bertindak mengikuti jejaknya saudara-saudara di Jawa dan Sumatra karena bertentangan dengan undang-undang internasional.”

Dalam hitungan hari kelompok yang melakukan perebutan kekuasaan ini melemah. Rupanya sejumlah KNIL yang masih pro Belanda yang dipimpin Kaseger melakukan penyergapan. Pada 10 Maret 1946, seperti dicatat FR Mawikere dalam BW Lapian: Nasionalis Religius dari Timur 1892-1977 (2012:22), ketika Pasoekan Pemoeda Indonesia (PPI) hendak menaikkan senjata ke atas truk di Teling, Manado, mereka ditodong senjata oleh pasukan KNIL pimpinan Kaseger.

Para pimpinan pemberontakan pun ditangkap, termasuk Taulu. Mereka harus merasakan berpindah-pindah penjara. Setelah peristiwa tersebut, Mayor Kaseger ditarik ke Jakarta. Dia rupanya memilih berbeda jalan dengan kerabatnya, Didi Kartasasmita, yang ikut mendirikan TNI bersama Oerip Soemohardjo. Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, Kaseger memilih hidup di Belanda. Pada 1951, Kaseger tutup usia.

Baca juga artikel terkait KNIL atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh