Menuju konten utama

Para Pelaku E-Commerce Enggan Didata BPS: Siapa yang Rugi?

Jika masalah yang dihadapi BPS adalah kurangnya kepercayaan e-commerce, langkah yang dilakukan adalah menggandeng asosiasi e-commerce.

Para Pelaku E-Commerce Enggan Didata BPS: Siapa yang Rugi?
Ilustrasi E-commerce. Getty Images/iStockphoto.

tirto.id - Rencana pemerintah mengendalikan impor barang konsumsi lewat perdagangan di e-commerce tampaknya sulit terealisasi. Penyebabnya, hingga saat ini pemerintah masih belum mendapatkan rekam data transaksi perdagangan usaha e-commerce di Indonesia.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto bahkan menyatakan data terkait perdagangan elektronik tersebut pun belum bisa dirilis tahun ini lantaran baru sedikit perusahaan yang berpartisipasi dalam survei yang dilakukan instansinya.

“Yang untuk e-commerce kami masih butuh waktu ya. Agak susah karena memang ini sesuatu yang baru. Di negara mana pun punya kendala untuk ajak partisipasi pelaku e-commerce,” kata Suhariyanto, di Hotel Swissbell, Jakarta Pusat, Senin (26/11/2018).

Saat ini, BPS baru mendata transaksi perdagangan dari sekitar 20 perusahaan e-commerce di Indonesia. Tak hanya transaksi perdagangan, BPS juga bakal merekam data penanaman modal asing dan dalam negeri, serta teknologi yang digunakan.

Dari data tersebut, kata Suharyanto, instansinya bakal mengklasifikasikan e-commerce dalam beberapa kategori seperti marketplace, transportasi, logistik, dan pembayaran.

“Data ini memang penting untuk menyusun bagaimana big picture dari e-commerce Indonesia,” kata pria kelahiran 15 Juni 1961 ini.

Data perusahaan e-commerce di Indonesia sebenarnya bisa dipakai untuk banyak hal. Selain sebagai basis data pengendalian impor barang konsumsi, data itu juga berguna sebagai pijakan pengambilan kebijakan agar lebih tepat sasaran.

Sayangnya, menurut Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Sri Soelistyowati, banyak pelaku e-commerce belum terlalu percaya dengan sistem keamanan data di BPS.

Kekhawatiran mereka akan penyalahgunaan serta bocornya data transaksi perusahaan cukup disesalkan, sebab BPS merupakan lembaga pemerintah yang independen. Basis data dagang elektronik ini diperlukan dalam membangun Indonesia di era Revolusi Industri 4.0.

Hingga saat ini, kata Soelistyowati, BPS masih membutuhkan tambahan data dari sekitar 10-20 perusahaan e-commerce untuk menyempurnakan data yang telah diperoleh. Oleh sebab itu, BPS terus berusaha memberikan sosialisasi kepada pelaku usaha lainnya agar bersedia memberikan datanya.

“Kami berusaha meneliti data tersebut lebih lanjut,” kata Soelistyowati, Sabtu (25/11).

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudisthira menyampaikan kesulitan pemerintah dalam mengumpulkan data transaksi e-commerce sebenarnya bisa diatasi dengan beberapa cara.

Salah satunya dengan menggunakan tools canggih, seperti web crawler untuk menghitung omzet penjualan produk e-commerce. “Metode ini lazim digunakan di lembaga survei internasional yang bergerak di ekonomi digital,” kata Bhima saat dihubungi reporter Tirto, Senin (26/11/2018).

Selain itu, kata Bhima, BPS sebenarnya bisa saja berkoordinasi lintas instansi seperti dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Ini karena semua transaksi e-commerce harus membayar PPn 10%.

“Dari data kepatuhan ini bisa dicek berapa transaksi per pedagang atau platform,” kata Bhima menyarankan.

Di samping itu, jika masalah yang dihadapi BPS adalah kurangnya kepercayaan pelaku e-commerce, BPS perlu menggandeng asosiasi e-commerce.

"Ada yang masih belum trust sama surveyor BPS yang turun ke lapangan. Saran saya formulir survei per responden yang kumpulkan asosiasi-nya. Itu lebih efektif,” kata Bhima.

Atau, jika memang diperlukan, pemerintah bisa memberikan insentif tambahan di samping insentif yang selama ini sudah dikeluarkan pemerintah. Namun pemberian insentif tersebut perlu dipikirkan lebih matang sehingga sesuai dengan kebutuhan para pelaku e-commerce.

"Sudah banyak insentif, misalnya, soal perpajakan. Tapi semua bayar pajak juga. Aturan pajak transaksi digital longgar. Insentifnya mungkin berupa channel khusus untuk proses perizinan jadi lebih cepat dari proses standar,” kata dia.

Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (Idea) Ignatius Untung menyampaikan rendahnya partisipasi pelaku usaha e-commerce dalam pengumpulan data yang sudah diinisiasi sejak tahun lalu memang disebabkan kekurangan percayaan terhadap BPS.

“Ada yang sudah terbuka dan siap bekerja sama. Ada yang masih curiga. Kendalanya komunikasi dan trust saja sebenrnya. Karena masih ada kekhawatiran datanya bocor,” kata Ignatius kepada reporter Tirto.

Kendati demikian, kata dia, dirinya tengah mendorong para pelaku e-commerce yang tergabung dalam Idea untuk mau berpartisipasi dalam pendataan BPS.

“Asosiasi sedang melakukan pendekatan satu per satu sih untuk support ini. Perlu waktu, tapi mudah-mudahan ada hasilnya,” kata Ignatius.

Baca juga artikel terkait E-COMMERCE atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Bisnis
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz