tirto.id - Cara pandang ribuan jamaah yang mengiringi keberangkatan Rizieq Syihab (FPI) kemarin Senin (16/1) untuk demonstrasi sebenarnya cukup sederhana: kriminalisasi.
Itulah kebenaran yang dipercaya Imam Besar Front Pembela Islam FPI ini pada orasi demonstrasinya di depan Markas Besar Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Rizieq Syihab justru merasa dirinya adalah korban. Korban pencemaran nama baik.
Sempat diwarnai perang komentar dengan Kapolda Jabar, Anton Charliyan, sampai jatuhnya korban penganiayaan baik dari pihak FPI maupun pihak Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI). Semua tersaji dan tersulut dari pemeriksaan Rizieq atas laporan Sukmawati Soekarno Putri ke Bareskrim Polri, Oktober tahun lalu.
Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenisme ini mengaku tersinggung dengan penyampaian Rizieq dalam ceramah yang disampaikan pada Tabligh Akbar FPI di Gasibu, Bandung, 2011 silam. Perkara yang dimulai dari pilihan diksi “pantat” untuk menyebut Pancasila versi Sukarno menempatkan Ketuhanan yang Masa Esa ada di sila terakhir.
“Pancasila Sukarno, Ketuhanan ada di pantat. Pancasila Piagam Jakarta, Ketuhanan ada di kepala,” demikian kalimat yang disampaikan Rizieq.
Sekalipun ceramah yang disampaikan pada Tabligh Akbar FPI tersebut mulai kembali bermunculan salinan videonya dan semua orang bisa dengan mudah mendengarkan kembali apa yang disampaikan, rupa-rupanya Rizieq masih bersikeras bahwa dirinya memang tidak layak untuk diperkarakan secara hukum.
Rizieq pun beberapa kali mengklarifikasi, bahwa ceramah yang disampaikannya berdasarkan dari karya ilmiah tesisnya. Bahkan menyebut bahwa Sukmawati gagal paham dengan apa pesan yang ingin disampaikan.
Itulah mengapa, seusai memenuhi panggilan polisi untuk pemeriksaan awal di Mapolda Jawa Barat (12/1), klaim terbuka Habib Rizieq mengenai kriminalisasi berkumandang: “Pelaporan terhadap Sukmawati ini merupakan kriminalisasi tesis ilmiah.”
Di sisi lain, alih-alih mengakui menggunakan diksi “pantat”, saat mengklarifikasi di hadapan pendukungnya, Rizieq malah menggunakan diksi lain. Yakni: “buntut”.
“Saya orang Betawi, kalau bilang sila terakhir, itu namanya sila ‘buntut’,” jelas Habib Rizieq saat menggelar orasi sesaat setelah pemeriksaan.
Tentu saja ada ada poin perbedaan antara apa yang diperkarakan Sukmawati, dengan klarifikasi Rizieq. Jurang perbedaan yang cukup jauh antara penggunaan diksi “pantat” dengan “buntut” untuk menggunakannya sebagai sinonim dari “terakhir”.
Ketidakpercayaan Terhadap Hukum
Seiring dengan munculnya konflik horizontal antara massa FPI dengan massa GMBI terkait pihak pro dan kontra akan kasus ini, pada saat bersamaan massa yang pro atas pemeriksaan Rizieq—GMBI—memiliki Dewan Pembina seorang Kapolda di tempat di mana laporan Sukmawati diproses. Maka jelas sudah bahwa agenda utama demonstrasi di Mabes Polri Senin kemarin pada dasarnya merupakan bentuk ketidakpercayaan FPI terhadap kasus hukum Imam Besar. Tuntutan pencopotan Kapolda Jabar pun menggema.
Massa FPI pantas merasa khawatir karena hukum dianggap tidak akan bisa mengakomodasi perspektif keadilan mereka karena kepala penegak hukum yang berwenang memproses perkara berada di posisi yang dianggap tidak netral.
Ketidakpercayaan FPI terhadap hukum di Indonesia sebenarnya tidak terjadi satu atau dua kali. Paling tidak, sejak 2002, lebih dari 10 kali FPI mengerahkan massa untuk melakukan pengepungan ke pengadilan maupun ke kantor polisi.
Karena tidak sepenuhnya percaya akan hukum di Indonesia, maka yang dilakukan FPI adalah pembangunan opini publik bahwa sedang berlangsung tindak kriminalisasi terhadap ulama yang mereka cintai.
Celakanya, gejala ini juga muncul bahkan untuk kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur Petahana, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Memang betul, secara sekilas, gerakan “212” akhir Desember lalu—yang juga melibatkan massa FPI—adalah upaya FPI mempercayai hukum untuk menindaklanjuti kasus Ahok yang sempat tertunda.
Akan tetapi, jika dicermati kembali, apa yang disampaikan dalam aksi massa terbesar tahun 2016 tersebut sejatinya bukan bentuk kepercayaan FPI terhadap hukum di Indonesia, melainkan bentuk ketidakpercayaan terhadap hukum. Sebab yang dituntut dalam aksi bukanlah proses pengadilan yang dipercepat, namun langsung meloncat pada poin eksekusi hukuman: penjarakan Ahok.
Pelanggar hukum tentu sudah seharusnya ditindak. Namun menilai bahwa apa yang dilakukan Ahok merupakan pelanggaran hukum atau tidak—artinya terbukti secara meyakinkan melakukan penistaan—harus ditentukan di persidangan sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Demikian juga dengan kasus yang menjerat Rizieq kali ini. Terlepas dari pro dan kontra di masyarakat akan kasus ini, sebenarnya akan lebih fair jika FPI tidak selalu dilibatkan dalam setiap proses pemeriksaan.
Hukum Tidak Berada di Pantat
Mungkin bagi massa FPI, mestinya Sukmawati tidak perlu tersinggung. Sebab yang ditempatkan di posisi “pantat” dalam pernyataan Rizieq sebenarnya bukanlah nama Sukarno, ayahanda Sukmawati, namun justru diksi yang cukup sakral. Yakni: Ketuhanan yang Maha Esa.
Rizieq sendiri sudah mencoba mengklarifikasi, dengan membawa penalaran komunikasi ala Betawi, bahwa "pantat" dalam pernyataannya berarti "bontot", alias yang paling akhir. Diterima atau tidak klarifikasi dan argumentasi Rizieq biarlah pengadilan yang memutuskan.
Persoalannya adalah apakah FPI dan Rizieq percaya pada penegakan hukum di Indonesia? Jika perasaan dikriminalisasi yang masih diyakini, tentu persoalannya menjadi lain. Sebetulnya tidak masalah jika tak percaya penegakan hukum, menjadi problem jika ketidakpercayaan itu kemudian diejawantahkan dengan aksi massa dengan tendensi koersif alias memaksa.
Ini bukan hal baru, sudah cukup banyak peristiwa di mana FPI mengerahkan massa untuk menekan pengadilan. Saat Rizieq Syihab diadili dan divonis bersalah dalam dua kasus yang berbeda pada 2003 dan 2008, massa juga melakukan tindakan kekerasan.
Menjadi penting agar perdebatan soal "pantat" atau "buntut" dalam pernyataan Rizieq itu tidak berakhir dengan menempatkan hukum di pantat dan lebih menempatkan sentimen dan kemarahan di kepala. Rizieq Syihab relatif berhasil memimpin massa dalam rentetan unjuk rasa dalam kasus Ahok bisa berjalan dan berakhir dengan relatif damai.
Apakah pada kasus Rizieq Syihab yang terakhir ini juga akan berakhir damai? Semoga saja.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS