Menuju konten utama

Pandemi, Resesi, dan Bahaya Krisis Lanjutan Akibat Defisit Fiskal

Miliaran dolar stimulus harus digelontorkan untuk menyelamatkan ekonomi dari ancaman krisis akibat pandemi. Ada krisis utang yang mengintai di balik itu.

Pandemi, Resesi, dan Bahaya Krisis Lanjutan Akibat Defisit Fiskal
Ilustrasi Resesi Global. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Indonesia untuk sementara selamat dari resesi. Pada kuartal II, ekonomi Indonesia memang mengalami kontraksi hingga 5,32%. Namun, catatan positif ekonomi yang pada kuartal I masih tumbuh 2,97%, membuat Indonesia secara teknis belum masuk ke resesi.

Pandemi COVID-19 memang telah memukul keras perekonomian Indonesia, sebagaimana negara-negara lain di dunia. Seluruh struktur penopang PDB Indonesia mengalami kontraksi. Mulai dari konsumsi rumah tangga (-5,51%), investasi (-8,61%), ekspor (-11,66%), hingga konsumsi pemerintah (-6,90%).

Pemerintah kini berjuang keras agar pada kuartal III, ekonomi Indonesia tidak kontraksi sehingga terhindar dari resesi. Berbagai kebijakan digelontorkan mulai dari pemberian bantuan tunai kepada masyarakat tidak mampu, korban PHK, bantuan tunai untuk pekerja dengan gaji di bawah Rp5 juta, hingga berbagai stimulus fiskal yang bertujuan menggerakkan lagi roda dunia usaha.

Resesi di Berbagai Belahan Dunia

Sehari setelah Indonesia mengumumkan kontraksi ekonomi, Filipina juga mengumumkan hal yang sama. Bedanya, Filipina secara teknis masuk ke resesi setelah dua kuartal berturut-turut mengalami kontraksi yakni 0,7% pada kuartal I dan 16,5% pada kuartal II.

Filipina menyusul Singapura dan Korea Selatan yang juga sebelumnya telah mengumumkan resesi ekonomi. Singapura resesi setelah pada kuartal I mengalami kontraksi 0,3% dan kuartal II sebesar 12,6%. Sementara Korea Selatan mengalami kontraksi 1,3% pada kuartal I dan 2,9% pada kuartal II.

Bank Dunia menyebut resesi ekonomi selama pandemi ini sebagai yang terburuk sejak Perang Dunia II. Sementara IMF menyebutnya sebagai yang terburuk sejak era Depresi Besar (Great Depression) 1930-an.

Apapun itu, yang jelas nyaris tak ada ekonomi negara-negara di dunia yang bakal selamat dari hantaman badai pandemi. China dan Amerika Serikat sekalipun, yang merupakan dua kekuatan utama di dunia, ikut goncang. Bedanya, China selamat dari resesi, AS tidak.

Ekonomi China pada kuartal I memang sempat minus hingga 6,8% akibat lockdown yang diterapkan untuk meredam pandemi. Memasuki kuartal II, ekonomi China sudah kembali positif dan tumbuh 3,2% seiring mulai dibukanya lagi perekonomian. Sementara Amerika Serikat yang pada kuartal I sudah mengalami kontraksi hingga 5%, kondisinya justru memburuk di kuartal II, dengan kontraksi mencapai 32,9% (year on year/yoy).

Demikian pula Jepang dan Jerman, dua negara dengan kekuatan ekonomi yang tangguh. Jepang untuk pertama kalinya sejak 2015 kembali masuk ke resesi pada kuartal I-2020. Ekonomi Jepang terkontraksi hingga 3,4% akibat anjloknya ekspor dan turunnya belanja konsumen akibat pandemi.

PDB Jepang pada kuartal sebelumnya sempat diumumkan tumbuh 1,9%. Namun, data tersebut kemudian direvisi, menjadi kontraksi 7,1% karena anjloknya investasi, termasuk juga konsumsi swasta.

Jerman senasib dengan Jepang. Ekonomi Jerman tercatat mengalami kontraksi 2,2% pada kuartal I, yang merupakan kontraksi terbesar sejak 2009. Sama dengan Jepang, Jerman juga melakukan revisi angka pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2019, menjadi minus 0,1%. Ini artinya, Jerman secara teknikal masuk resesi per kuartal I-2020.

Stimulus Besar-besaran

Untuk menyelamatkan perekonomian, negara-negara di dunia menyusun serangkaian stimulus. Jumlahnya beragam, ada yang jor-joran, tapi ada yang penuh kehati-hatian.

Amerika Serikat tercatat sebagai negara yang akan menggelontorkan stimulus dengan jumlah paling besar. Ada tiga fase yang akan digelontorkan, masing-masing 8,3 miliar dolar AS, 192 miliar dolar AS, dan 2,5 triliun dolar AS. Nilainya total mencapai 13% dari PDB, menurut Statista. Namun, jika melihat dari persentase terhadap PDB, stimulus AS masih kalah jika dibandingkan dengan Jepang yang jumlahnya mencapai 21,1% PDB.

Pemerintah Jepang mengumumkan stimulus hingga 1 triliun dolar AS. Bank Sentral Jepang memperluas kebijakan stimulusnya untuk bulan kedua secara berturut-turut pada April.

Sementara Spanyol dan Italia--dua negara dengan kasus Corona terparah di Eropa--merencanakan stimulus dengan total masing-masing 7,3% PDB dan 5,7% PDB, menurut Statista.

Pada 26 Mei lalu Singapura mengumumkan stimulus keempat bernilai 23,2 miliar dolar AS untuk menyokong ekonominya. Bersama dengan stimulus tersebut, Singapura juga akan menggelontorkan 70,4 miliar dolar AS untuk membantu pebisnis dan rumah tangga dalam mengatasi dampak pandemi. Total stimulus ini setara dengan 20% dari PDB Singapura.

Tambahan stimulus dan paket bantuan itu membuat anggaran Singapura mengalami defisit hingga 52,3 miliar dolar AS atau sekitar 15,45% PDB. Ini merupakan defisit terbesar dalam sejarah Singapura.

Negara tetangga Indonesia lainnya, Malaysia, juga mengumumkan stimulus besar-besaran. Pada 5 Juni lalu, Malaysia mengumumkan juga paket stimulus keempatnya senilai 11,4 miliar dolar AS. Stimulus ini bertujuan untuk mengatasi ledakan pengangguran, yang mencapai level tertinggi dalam 10 tahun. Pada Maret, Malaysia sudah mengumumkan stimulus senilai 60 miliar dolar AS. Jika ditotal, paket stimulus Malaysia mencapai 20% PDB.

Sementara Indonesia menyiapkan anggaran sebesar Rp695,20 triliun atau setara dengan 4,2% PDB sebagai stimulus di masa pandemi. Biaya penanganan pandemi itu menyebabkan defisit APBN meningkat menjadi Rp1.039,2 triliun atau 6,34% PDB. Angka itu melonjak tajam dari yang diperkirakan pemerintah RI sebelum pandemi, yakni Rp307,2 triliun (1,72%).

Utang untuk Mendanai Stimulus

Stimulus besar-besaran untuk melawan kelesuan ekonomi akibat pandemi, memang memunculkan kekhawatiran soal timbunan utang. Negara-negara di dunia kini ramai-ramai masuk ke pasar utang untuk menutup defisitnya. Alternatifnya adalah mencari pinjaman multilateral.

Lembaga konsultan McKinsey memperkirakan, defisit negara-negara di dunia diperkirakan mencapai 9-10 triliun dolar AS pada 2020 dan secara kumulatif hingga 2023 bisa mencapai 30 triliun dolar AS.

“Sudah ada kekhawatiran bahwa beberapa negara akan berjuang untuk memenuhi komitmennya kepada kreditor, memicu krisis utang yang akan bergabung dengan krisis ekonomi akibat COVID-19,” jelas McKinsey dalam laporan bertajuk “The Great Balancing Act: Managing the Coming $30 trilion deficit while restoring economic growth”.

Infografik Resesi Global

Infografik Resesi Global. tirto.id/Fuadi

McKinsey mencatat surat utang yang diterbitkan negara-negara di dunia sudah mencapai 2,1 triliun dolar AS pada semester I-2020. Sejak COVID-19 dimulai, penerbitan sovereign bond meningkat 25% dibandingkan periode yang sama tahun 2019. Sebagian besar fokus pada utang jangka pendek untuk mengelola kebutuhan likuiditasnya. Penerbitan Sovereign bond dengan tenor yang lebih panjang dari 1 tahun turun sekitar 10% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Negara dengan peringkat “investasi” yang jumlahnya lebih dari setengah memimpin dengan sekitar 90% dari total yang diterbitkan.

Dengan pertumbuhan penerbitan surat utang tersebut, McKinsey mengingatkan rekor utang suatu negara akan mengganggu pemulihan ekonomi jika tidak dikelola dengan baik. Pemerintahan di berbagai dunia akan dihadapkan pada keputusan-keputusan yang sulit saat ini. Meningkatnya biaya utang dikhawatirkan akan mengganggu investasi utama seperti infrastruktur. Mencetak uang dikhawatirkan akan meningkatkan inflasi. Di sisi lain, menaikkan pajak dikhawatirkan akan mengganggu bisnis dan pertumbuhan ekonomi, serta daya saing. Karena itu, pengelolaan fiskal membutuhkan kehati-hatian agar tidak memunculkan masalah.

Masalah tersebut bukan tidak disadari oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. APBN Indonesia memang mengalami pelebaran defisit akibat penanganan pandemi. Sebagian besar dari defisit itu akan dibiayai melalui utang. “Kenaikan defisit ini kita akan tetap jaga secara hati-hati seperti tadi ada instruksi presiden dari sustainabilitas dan pembiayaannya. Kami akan menggunakan berbagai sumber pendanaan yang memiliki risiko terkecil dan biaya paling rendah,” ucap Sri Mulyani pada 3 Juni lalu.

Indonesia tercatat “hanya” menjatahkan stimulus sebesar 4,2%. Pemerintah Indonesia memilih berhati-hati dalam menggelontorkan stimulus mengingat saat ini utang yang dipikul sudah semakin besar. Bank Dunia bahkan sudah mengingatkan pemerintah Indonesia untuk menyusul strategi fiskal yang kuat untuk “flatten the debt curve”. Saat ini, posisi utang Indonesia mencapai Rp5.264,07 triliun atau 32,67% PDB. Masih di bawah batas utang pemerintah yang diperbolehkan yakni 60% PDB.

Langkah yang sama juga ditempuh oleh China. Stimulus yang digelontorkan untuk mengatasi dampak pandemi saat ini lebih kecil dari stimulus yang digelntorkan saat krisis finansial global 2007-2008 lalu, saat Cina mengeluarkan 4 triliun dolar AS.

Zhang Ming, periset dari Chinese Academy of Social Sciences seperti dilansir SCMP mengatakan pemerintah China sudah belajar dari stimulus besar-besaran yang menyebabkan menggunungnya utang, ditambah pembelanjaan yang tidak berguna.

Economist Intelligence Unit (EIU) mengingatkan kemungkinan pelemahan ekonomi yang lebih buruk akibat krisis utang ini. Hal itu bisa terjadi pada negara-negara dengan neraca keuangan yang lemah.

“Kebanyakan negara-negara Eropa yang paling parah terdampak pandemi, seperti Italia, Spanyol, sudah memiliki posisi fiskal yang lemah sebelum pandemi,” jelas Agathe Demarais, direktur forecasting global EIU, seperti dilansir dari BBC.

“Potensi krisis utang di sebagian negara-negara ini secara cepat akan menyebar ke negara dengan pendapatan tinggi dan juga negara emerging, kemudian membawa perekonomian global--mungkin lebih buruk--ke pelemahan lain,” tambahnya.

Baca juga artikel terkait RESESI atau tulisan lainnya dari Nurul Qomariyah Pramisti

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Windu Jusuf