tirto.id - Pahlawan Nasional terbaru tahun 2018 ini semuanya beragama Islam. Ada Abdul Rahman Baswedan (kakek Anies Baswedan dan tokoh penggalang nasionalisme peranakan Arab), Gusti Pangeran Mohammad Noor (Mantan Menteri Pekerjaan Umum dan Gubernur Kalimantan pertama), Ibu Agung Andi Depu (tokoh anti-Belanda Sulawesi Barat), K.H. Syam’un (pejuang kemerdekaan dan pendiri pesantren Citangkil Banten), Kasman Singodimedjo (mantan ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Jaksa Agung RI), dan Depati Amir (tokoh anti-Belanda dari Bangka Belitung).
Nama terakhir adalah Pahlawan Nasional pertama yang berasal dari Bangka Belitung. Ini tak lain karena penggalangannya atas orang-orang Bangka, baik yang Tionghoa dan yang bukan, dalam melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Nama Depati Amir berkali-kali dikaitkan juga dengan kecelakaan pesawat Lion Air JT-610, karena pesawat itu hendak menuju Pangkal Pinang, ibu kota Bangka Belitung, tepatnya di bandar udara yang menyandang namanya. Sejak 1999, nama Depati Amir dijadikan nama bandara berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan No. SK.1/AU.106/PHB-99 tanggal 25 Agustus 1999.
Depati Amir adalah keturunan orang terkemuka di Bangka. Dia adalah anak Depati Bahrin. Di sekitar Bangka Belitung, orang paling terkemuka semacam raja kecil digelari depati. Sedari dulu, Bangka Belitung dikenal sebagai penghasil timah. Kesultanan Palembang dan otoritas kolonial Hindia Belanda juga bermain timah di sana.
Bersama Cina Melawan Belanda
Dalam perlawanannya, Depati Amir punya panglima-panglima bawahan seperti Awang, Bujang Singkip, Bujang Enggak, Dahan, Ubin, Bangul, Tata, dan Darip. Keluarga Depati Amir, juga orang-orang di Bangka yang punya kepentingan atas timah, punya masalah serius dengan pemerintah kolonial.
Pada 1819, seperti dicatat Iskandar Zulkarnain dalam Konflik di Kawasan Pertambangan Timah Bangka Belitung (2005: 53), keluar Tin Reglement (Peraturan Timah) yang menguatkan kontrol pemerintah kolonial atas penambangan timah di sana. Pengelolaan timah di sana disebut Banka Tin Winning (BTW). Tak heran jika muncul pemberontakan yang dipimpin Depati Bahrin. Ayah Bahrin, Deputi Karim, juga anti-Belanda.
"[Pemberontakan] didahului dengan pembunuhan Residen Bangka Smissaert pada tahun 1819," tulis Sutedjo Sujitno dalam Sejarah Penambangan Timah di Indonesia (2007: 207).
Pemberontakan anti-Belanda di Bangka melibatkan orang-orang laut yang dipimpin seorang batin—semacam kepala klan. Orang laut yang ikut memimpin adalah Batin Tikal. Jadi tak hanya keluarga Depati. Setelah perlawanan Depati Bahrin tumbang pada 1830, maka Amir menggantikannya sebagai Depati dan melanjutkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Adik Depati Amir, Cing alias Hamzah, yang baru berumur 19, juga ikut turut melawan. Depati Amir dan keluarganya dibantu orang-orang Palembang dan kaum Tionghoa, bahkan bajak laut dari Mindanao.
Sebagai penguasa yang menguasai sebagian tambang timah, Depati Amir menjadikan timah sebagai modal perlawanan. Antara menyebut timah ditukarkan dengan bubuk mesiu untuk melawan tentara Belanda. Perlawanan Amir di Bangka berlangsung hingga sekitar 1850.
Semula yang dilawan bukan pasukan militer bersenjata dengan jumlah besar. Biasanya sebelum menghadapi tentara pemerintah, para musuh pemerintah kolonial berhadapan dulu dengan opas atau polisi kolonial. Ketika polisi kolonial sulit mengatasi, barulah tentara dikirim. Baik polisi dan tentara Belanda biasanya adalah orang-orang bumiputra.
Buku Gedenkschrift Koninklijk Nederlands-Indisch Leger 1830-1950 (1990:67) yang disusun Paulus van Meel menyebut, pada 1850 terjadi kerusuhan di Bangka. Tahun berikutnya, perlawanan Depati Amir berakhir.
Di mata pemerintah kolonial, Depati Amir adalah gangguan yang meresahkan masyarakat. Karena itu, hingga 1850, pemerintah kolonial perlu mengirimkan pasukan untuk memadamkan perlawanannya.
Dibuang ke Kupang
Surat kabar Algemeen Handelsblad (22/3/1851) dan De Nederlander (24/3/1851) memberitakan, pada 31 Desember 1850, pasukan di bawah komando Kapten Peterson yang bergerak dari Betawi telah mendarat di Bangka. Beberapa kerabat dekat Depati Amir ditangkapi ketika Pangkal Pinang diserbu pemerintah kolonial. Pada penangkapan pertama ini, Depati Amir gagal dicokok.
Pada 7 Januari 1851, Depati Amir bersama saudara-saudaranya dengan dua orang pengikutnya bertemu dengan orang-orang Belanda. Dari situ kemudian dia menjadi tawanan Belanda. “Depati Amir berhasil ditangkap ketika berupaya meloloskan diri ke Distrik Sungaiselan pada tanggal 7 Januari 1851 Masehi karena penghianatan,” tulis Antara.
Sementara itu, pemberitaan kolonial menyebut Amir menyerah setelah ditinggalkan sebagian besar pengikutnya.
Setelah ditangkap, Depati Amir dibawa ke Muntok, pusat karesidenan kolonial untuk daerah Bangka Belitung. Di Muntok pula Sukarno-Hatta pernah diasingkan pada 1948. Depati Amir juga diasingkan pemerintah kolonial, demi menegakkan rust en orde (ketenteraman dan ketertiban). Ia dan adiknya dibuang ke Kupang. Di daerah yang saat ini menjadi ibu kota Provinsi NTT itu, Depati Amir menjadi tokoh Islam dan mendirikan Masjid Al Ihklas.
Setelah Depati Amir tertangkap, tentunya pemerintah kolonial bisa mengeruk timah dengan nyaman. Perusahaan timah kolonial pun berjaya di sana. Perusahaan timah yang paling terkenal adalah Billiton Maatschappij.
Hingga meninggalnya pada 28 September 1867, Depati Amir tetap di pembuangan. Ia dan adiknya terus melawan dan mengobarkan sikap anti-pemerintah kolonial di Kupang. Selama di daerah itu, mereka tinggal di kampung bernama Air Mata.
Editor: Ivan Aulia Ahsan