Menuju konten utama

Pahit Industri Gula Indonesia

Pabrik gula di Indonesia terpuruk. Jumlahnya kini menurun drastis dibandingkan era kolonial silam. Kendati demikian pemerintah abai terhadap kondisi ini. Kekurangan pasokan justru ditutupi dengan impor.

Pahit Industri Gula Indonesia
Petani menaikkan tebu ke atas truk saat panen di kawasan Wonoayu, Sidoarjo, Jawa Timur. [Antara Foto/Umarul Faruq]

tirto.id - Dr. IHF Sollewijn Gelpke, inspektur Jawatan Budidaya Tebu dan Padi pemerintah kolonial, harus memutar otak untuk mendongkrak industri gula di Hindia Belanda pada 1880. Ia lantas memulai rencana panjangnya dengan penelitian dan publikasi-publikasi ilmiah tentang perkebunan tebu di Jawa, terutama di Pasuruan Jawa Timur.

Gelpke mendirikan Proefstation voor de Java-suikerindustrie atau Stasiun Penelitian Industri Gula di Jawa. Belakangan lembaga penelitian gula era kolonial ini berubah menjadi Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) di era Orde Baru.

Salah satu poin penting dalam penelitiannya, Gelpke membandingkan kondisi pertanian Jawa dan Italia. Ia akhirnya pada satu kesimpulan bahwa industri gula adalah faktor penting dalam pengembangan pedesaan Jawa—terutama bagi kepentingan kolonial.

Gelpke butuh waktu 50 tahun untuk melihat dampak dari penelitiannya. Dalam catatan kolonial pada 1931, sebagaimana ditulis dalam buku “Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang” industri gula di Hindia Belanda mencapai puncaknya. Pada 1930 jumlah pabrik gula di Jawa mencapai 179 pabrik, sebagian besar tersebar di Jawa Timur.

Pada tahun itu juga, menurut catatan Simatupang dkk dan Dewan Gula Indonesia, dengan luas 196,592 hektare, produksi tebu bisa menembus 25,6 juta ton. Namun, jumlah itu terus merosot di masa kemerdekaan, Orde lama, Orde baru, bahkan hingga sekarang.

Mengutip data data Dewan Gula Indonesia, Yanto Togi Ferdinand Marpaung dan kawan-kawan dalam publikasi ilmiah berjudul “Perkembangan Industri Gula Indonesia dan Urgensi Swasembada Gula Nasional”, pada 2010 dengan luas tanaman tebu 398,8 ha produktivitas tebu hanya 31,8 juta ton atau sekitar 5,74 ton/ha. Angka ini lebih kecil dibanding era 1930 yang bisa mencapai 14,79 ton/ha padahal luas areal lahan tebu saat itu baru ada setengah dari yang ada saat ini.

Menurut data dari BPS tahun 2014, produksi gula tebu nasional hanya 3,9 ribu ton. Dengan penduduk 255 juta jiwa di tahun itu, konsumsi gula per kapita per minggu mencapai 1.23 ons. Bila ditotal konsumsi gula pada 2014 mencapai 462.3 ribu ton.

Sementara pada 2016, angka perkiraan dari Kementerian Perindustrian lebih gigantis lagi. Kemenperin memperkirakan kebutuhan gula nasional pada 2016 mencapai 5,7 juta ton dengan rincian 2,8 juta ton gula kristal putih konsumsi masyarakat dan 2,9 juta ton gula rafinasi untuk kebutuhan industri makanan dan minuman.

Impor Versus Produksi Dalam Negeri

Untuk menutupi kekurangan kebutuhan gula nasional, pemerintah memilih jalan pintas dengan impor, ketimbang cara yang berkesinambungan dengan menambah jumlah produksi gula dalam negeri. Solusi singkat itu merupakan warisan dari Orde Baru. “Pada tahun 1967, Indonesia mulai menjadi benar-benar pengimpor gula,” sebut Mubyarto dalam “Masalah Industri Gula di Indonesia” (1967). Sejak itu pula Indonesia menjadi negeri agraris yang bergantung pada impor gula.

Kebijakan ini berlanjut di setiap pemerintahan pascareformasi, termasuk di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada 2014 lalu, misalnya, Indonesia mengimpor 65,8 ribu ton gula dengan nilai sekitar 35,7 juta dolar AS atau setara Rp428 miliar, demikian data Comtrade 2014 menyebut.

Taksiran itu lebih kecil dibandingkan data Kemenperin yang yang menyebutkan untuk semester II-2014 saja Indonesia mengimpor gula mentah sebanyak 502.000 ton dari total alokasi impor itu sebanyak 2,8 juta ton. Sedangkan pada 2015 lalu pemerintah mematok impor gula sebesar 3,13 juta ton.

Sebaliknya, pemerintah tak melihat penambahan pabrik gula penghasil gula Kristal putih (GKP) sebagai solusi atas kekurangan gula nasional. Buktinya menurut data Kemenperin 2015, jumlah pabrik gula Indonesia hanya ada 62 unit pabrik. Rinciannya 50 unit dikelola BUMN dan 12 pabrik swasta.

Bila dibandingkan data pabrik gula di era Hindia Belanda, jumlah pabrik gula Indonesia saat ini menurun drastis. Padahal pada 1930an lalu setidaknya ada 179 pabrik gula berdiri di tanah yang kini bernama Indonesia. Artinya, selama delapan dekade terakhir jumlah pabrik gula berkurang sebanyak 90 unit. Pabrik-pabrik gula yang masih beroperasi hingga hari ini, terutama pabrik gula BUMN, umumnya merupakan warisan kolonial.

Uniknya, pada April lalu Menteri Perindustrian yang masih dijabat Saleh Husin pernah menyebutkan pemerintah akan mengurangi jumlah pabrik gula yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara di Pulau Jawa. Kata Saleh, 50 unit pabrik gula kristal putih berbasis tebu yang dikelola oleh BUMN dan berada di Pulau Jawa selama ini beroperasi tidak efisien dan menghasilkan mutu gula rendah.

“Pabrik gula yang dikelola oleh BUMN pada umumnya berkapasitas kecil, peralatan tua, jumlah karyawan banyak dan beroperasi hanya 150 hari setahun,” ujar Saleh Husain April lalu.

Kendati mengetahui persoalan itu pemerintah tak pernah secara serius memperbaiki kondisi pabrik gula saat ini. Kabar terakhir soal pabrik gula ini tersiar ketika ketika PT Pabrik Gula Gorontalo (PGG) melakukan ekspansi pada Selasa 19 Juli lalu.

"Mereka [PGG] akan mengembangkan pabrik gula untuk konsumsi dan industri di lahan yang baru," kata Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto di Jakarta seperti dikutip Antara.

Tanpa menyebut nilai investasi pembangunan pabrik gula itu, Panggah menyebut PGG memiliki kapasitas produksi 8.000 ton tebu per hari, sementara luas lahan tebu yang digarap seluas 8.000 hektar. "Pabrik akan diperluas dari Sulawesi Tenggara ke tempat lain untuk investasi baru," tambahnya.

Tapi ekspansi itu tak banyak berarti untuk menyelesaikan persoalan pergulaan nasional yang sudah kadung carut marut seperti kualitas gula rendah, penggunaan teknologi lama, dan lahan tebu yang makin menyempit, selain juga rendahnya tingkat beli tebu dari petani.

Padahal dalam roadmap industri gula yang disusun oleh Kemenperin, Indonesia pada 2015-2019 sudah bisa menghapus kebijakan impor gula secara umum, kecuali bagi industri dengan persyaratan khusus. Pemerintah juga menargetkan bisa melakukan promosi produk gula Indonesia ke berbagai negara apabila produksi telah melebihi kebutuhan di dalam negeri. Di sisi alat produksi, pemerintah menargetkan penggantian mesin peralatan industri gula dengan teknologi proses yang berkembang dan efisien.

Sayangnya, target tersebut mungkin masih butuh waktu lama untuk pencapaiannya. Barangkali senasib dengan Sollewijn Gelpke yang membutuhkan waktu selama 50 tahun untuk melihat hasil dari penelitiannya.

Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti

Artikel Terkait