tirto.id - Sampai saat ini, publik Jerman masih terbelah ketika menempatkan sosok pemimpin pertama mereka, Otto von Bismarck. Satu abad yang lalu, Bismarck adalah kebanggan Jerman karena berhasil menyatukan Jerman pada 1871 dan menjadikannya sebagai negara kesejahteraan (welfare state) pertama di dunia. Nama Bismarck dipakai di banyak jalan dan alun-alun di seluruh negeri. Monumen Bismarck pun banyak dijumpai di dalam maupun luar negeri.
Namun semua berubah pasca Perang Dunia II. Seiring dengan keruntuhan Jerman Nazi, pandangan positif orang Jerman terhadap negara yang menitikberatkan pada kepemimpinan otoriter dan militerisme yang juga melekat pada era Bismarck itu rontok.
"Bismarck, Prusia, kekaisaran - bukankah itu semua adalah bagian dari era Abad Kegelapan yang telah lama terlupakan?" ucap Joachim Gauck, mantan Presiden Jerman kepada Reuterspada 2015, tepat 200 tahun kelahiran Bismarck.
Nama Bismarck memang dipuja sekaligus dicela. Ketika menjabat sebagai Perdana Menteri Kerajaan Prusia selama dua periode, Bismarck berhasil membawa Kerajaan Prusia memenangkan tiga edisi pertempuran sekaligus dalam kurun waktu 1864 sampai 1871, melawan Denmark, Austria, dan Prancis.
Kemenangan terakhir melawan Prancis membikin penyatuan Jerman utara dan selatan menjadi sempurna, menandai era baru bernama Kekaisaran Jerman. Selama 19 tahun menjadi kanselir, Bismarck sukses mempertahankan perdamaian dan stabilitas di kawasan Eropa lewat kepiawaiannya berdiplomasi dengan negara-negara Eropa.
Hari ini, tepat 121 tahun yang lalu, Bismarck menghembuskan nafas terakhirnya di Hamburg dengan keadaan gelisah memikirkan negaranya yang dinilai carut marut selepas ia pensiun dari kanselir pada 1890. Saat mendekati akhir hidupnya, Bismarck pernah meramalkan masa depan Jerman yang suram disapu peperangan.
“Jena (kekalahan besar bangsa Prussia di tangan Napoleon) terjadi dua puluh tahun setelah kematian Frederick the Great; kehancuran (Kekaisaran Jerman) akan terjadi dua puluh tahun setelah kepergian saya jika keadaannya terus begini," ujarnya.
Benar saja. Jerman kian tak stabil di bawah Kaisar Wilhelm II, cucu dari Wilhelm I. Puncaknya, Perang Dunia I meletus dan Jerman bersama aliansi Blok Sentral keok melawan aliansi sekutu. Kekaisaran Jerman bubar meski warisan penyatuan bangsa Jerman oleh Bismarck masih tersisa hingga sekarang.
Keluarga Aristokrat
Bismarck lahir di Schönhausen, Prusia (sekarang Jerman) pada 1 April 1815 dari keluarga aristokrat. Encyclopaedia Britannica mencatat, ayahnya, Ferdinand von Bismarck-Schönhausen adalah tuan tanah dari keluarga asal Swabia yang menetap sebagai pemilik tanah di Pomerania. Ibunya, Wilhelmine Mencken berasal dari keluarga borjuis berpendidikan dan menikah dengan Ferdinand saat berusia 16 tahun.
Pendidikan Bismarck terjamin. Ia masuk sekolah bergengsi di Berlin. Dengan dorongan ibunya, Bismarck belajar hukum di Universitas Göttingen di kerajaan Hanover. Di kampus ia bukanlah sosok yang menonjol. Malahan ia banyak menghabiskan waktu dengan nongkrong bersama teman-temannya sesama aristokrat.
Setelah lulus kuliah, Bismarck muda menjadi pegawai negeri sipil bagi Kerajaan Prusia. Namun ia memilih keluar pada 1838 karena bosan. Selama hampir satu dekade, Bismarck lantas membantu ayahnya mengelola perkebunan keluarga.
Bismarck mulai terlihat berubah saat menjalin hubungan asmara dengan Johanna von Puttkamer, putri dari keluarga aristokrat Kristen Lutheran yang taat dan menjalankan Pietisme. Keduanya memutuskan menikah pada 1847 dan Bismarck berhijrah mengikuti keyakinan istrinya.
Karier politik Bismarck dimulai saat ia menjadi anggota legislatif Prusia dan mendukung penuh pemerintahan monarki. Kariernya terus menanjak ketika di tahun 1851 ia diangkat Raja Frederick Wilhelm IV sebagai wakil Prusia untuk Konfederasi Jerman kemudian menjadi duta besar untuk Rusia dan Prancis. Pulang ke Prusia pada 1862, ia diberi kepercayan oleh raja baru Prusia Wilhelm I untuk duduk di kursi Perdana Menteri Prusia.
Menyatukan Jerman
Sejak diberi amanah oleh Raja Wilhelm I menjadi Perdana Menteri Prusia, Bismarck bertekad untuk menyatukan kerajaan-kerajaan, haryapatih, dan kadipaten di Jerman menjadi satu kekaisaran tunggal di mana Prusia menjadi pemimpin besarnya. Satu per satu daerah ditaklukkan dengan modal awal berupa sokongan dari Austria dan merebut provinsi Schleswig dan Holstein dari Denmark lalu memerangi Austria dan sekutu lainnya untuk merebut provinsi-provinsi lain.
Ketika Prusia berhasil menghimpun Konfederasi Jerman utara pada 1867, tersisa negara-negara di Jerman selatan yang masih enggan diajak bersatu. Bismarck lantas memprovokasi permusuhan dengan Prancis sebagai cara agar Jerman selatan bersatu dengan utara, dan Perang Prancis – Prusia (1870 – 1871) meletus. Hasilnya sesuai harapan. Prusia menang atas Prancis dan Jerman selatan mengakui kedaulatan Prusia.
Setelah utara dan selatan bersatu, Kekaisaran Jerman berdiri pada 1871. Raja Wilhem I menjadi kaisar dan Bismarck naik pangkat menjadi kanselir. Bismarck segera menetapkan garis politik yang menitikberatkan pada penguatan identitas nasional agar Kekaisaran Jerman tak terpecah belah.
Ketika itu, halangan terbesar yang dihadapi Bismarck adalah kuatnya pengaruh Gereja Katolik Roma di Jerman selatan. Bismarck juga menyangsikan kesetian penganut Katolik Roma kepada Kekaisaran Jerman. Untuk mengatasinya, Bismarck meluncurkan Kulturkampf, sebuah program yang menjadikan gereja Katolik Roma di bawah kendali negara atau serangkaian aturan yang bernuansa anti-Katolik.
Dengan dukungan kelompok liberal Jerman, Bismarck menghapus biro Katolik Roma di Kementerian Kebudayaan Prusia di tahun pertama ia menjabat sebagai kanselir. Kemudian ia melarang para imam bicara politik di mimbar gereja, membebaskan sekolah dari pelajaran agama, dan membubarkan ordo Yesuit. Pada akhir 1871, hubungan diplomatik dengan Vatikan terputus. Pihak Katolik Roma yang secara politik diwakili oleh Partai Pusat secara konsisten menentang aturan Bismarck di parlemen dan tak banyak membuahkan hasil.
Meski menerima dukungan dari kelompok liberal dalam urusan Katolik, Bismarck tetaplah seorang konservatif dan pendukung setia monarki Prusia. Pidatonya yang terkenal pada 30 September 1862 berisi sindiran pada kelompok liberal.
“Pertanyaan besar hari ini tidak akan diselesaikan melalui pidato dan keputusan mayoritas, tetapi dengan besi dan darah," ujar Bismarck merujuk pada kegagalan Revolusi Jerman 1848 yang menentang kekuasaan monarki Prusia dan Austria atas Konfederasi Jerman.
Pidatonya itu sempat tidak disukai Wilhelm I meski tak sampai membikin sang raja menarik dukungan. Malahan pada akhirnya Wilhelm membiarkan Bismarck menggenapi pidatonya ketika mengikat konsep bangsa Jerman lewat perang, kekuasaan, dan konservatisme monarki.
Selain membendung arus Katolik dan liberal, kebijakan dalam negeri Bismarck turut mencegah penyebaran sosialisme. Bismarck benci dengan kelompok sosialis dan anarkis saat berhasil mendirikan pemerintahan Komune Paris 1871 di saat Prancis menderita kekalahan dari Prusia. Ia menyebut kelompok kiri ini sebagai tikus negara dan layak dimusnahkan.
Meski hanya ada dua perwakilan suara sosialis yang duduk di Reichstag (parlemen) pada 1871, keinginan Bismarck untuk menghajar kelompok kiri tetap kuat. Buktinya, ia mengajukan undang-undang pelarangan partai bercorak kiri di parlemen pada awal 1876 dan ngotot memperjuangkannya agar mendapat persetujuan suara mayoritas dari parlemen namun gagal. Bismarck baru berhasil membekukan kaum sosialis yang bernaung di Partai Sosial Demokrat pada 1878. Ia memakai kampanye propaganda menyalahkan kelompok sosialis dalam peristiwa percobaan pembunuhan Kaisar Wilhelm I.
Bagaimanapun, Bismarck tahu bahwa kelompok liberal dan kiri di Jerman tidak bisa dianggap remeh dan ia mengeluarkan kebijakan domestik yang bernuansa tuntutan dari kedua kelompok tersebut. Neil MacGregor dalam Germany: Memories of a Nation (2014) mencatat, Bismarck memperkenalkan tarif impor untuk melindungi industri Jerman, mendirikan negara kesejahteraan pertama di Eropa dengan serangkaian undang-undang tentang kesehatan, asuransi kecelakaan cacat dan pensiun hari tua.
Kebijakan luar negeri yang diterapkan Bismarck secara garis besar bertujuan untuk membuat kekaisaran Jerman menjadi negara terkuat di Eropa. Caranya dengan menjaga perdamaian kawasan dan berkongsi dengan hitung-hitungan menggugurkan niatan lawan yang ingin menyerang Jerman.
Misalnya pada 1878 ketika Bismarck berkoalisi dengan Austria-Hungaria ditambah Italia untuk menangkal kekuatan Prancis dan Rusia. Saat terjadi krisis besar di Balkan tahun 1876, di mana gerakan pemberontakan lokal tumbuh subur dan menarik negara-negara lain untuk ikut bertarung, Bismarck menahan Jerman agar tidak ikut terpancing ke dalam konflik. Ia bilang kepada Reichstag bahwa keterlibatan Jerman dalam konflik akan berakhir sia-sia.
Tetapi semua berubah ketika kaisar Wilhelm I meninggal dunia. Friedrich III, anak lanang satu-satunya kaisar Wilhem I hanya mampu duduk di tahta kerajaan selama 90 hari akibat meninggal diserang kanker tenggorokan. Wilhelm II menggantikan ayahnya dan kaisar baru ini tidak lagi sejalan dengan Bismarck si kanselir besi.
Bismarck akhirnya memilih undur pada 1890 karena kehilangan legitimasi. Ia pulang ke daerah perkebunan miliknya di Friedrichsruh dekat Hamburg. Bismarck sebenarnya menunggu dipanggil kembali oleh Wihlem II untuk menakhodai Jerman. Tetapi sampai ajalnya menjemput pada 1898, panggilan itu tak kunjung datang. Banyak orang ketika itu melihat keputusan Wilhelm II mengabaikan Bismarck sebagai langkah bodoh dan dikaitkan dengan situasi buruk yang melanda Jerman dan Eropa karena Perang Dunia I akhirnya meletus.
Di batu nisan Bismarck tertulis "Seorang hamba Jerman sejati dari Kaisar Wilhelm I" menandai dengan bangga kesetiaan dan masa kejayaan ketika bersama kaisar pertama.
Beberapa dekade setelah kematiannya, Nazi lahir dan bangkit menguasai Jerman. Mereka kadang-kadang berusaha untuk menggambarkan dirinya sebagai pewaris Bismarck. Namun beberapa sejarawan berpendapat jika Bismarck masih hidup bakal tidak setuju dengan sepak terjang Nazi yang ultra-nasionalis dan fasis itu.
Editor: Nuran Wibisono