tirto.id - The Shape of Water dari sutradara del Toro memenangkan film terbaik dalam Oscar tahun 2018. Film ini mengalahkan The Big Sick, Call Me by Your Name, Dunkirk, Get Out, I, Tonya, Lady Bird, Molly's Game, The Post, Three Billboards Outside Ebbing, Missouri, dan Wonder Woman.
Selain kategori film terbaik, The Shape of Water juga berhasil memboyong piala Oscar untuk kategori sutradara terbaik, desain produksi, dan musik score terbaik.
Selain dalam penghargaan Oscar, The Shape of Water juga mendapatkan ragam penghargaan lain, diantaranya adalah 7 nominasi di Golden Globe, dan berhasil menang sebagai sutradara terbaik. Selain itu, ia juga jadi favorit Academy Awards, karena memboyong 13 nominasi dalam Oscar tahun ini—film paling banyak masuk nominasi.
Beragam penghargaan didapatkan film ini, termasuk film dengan nominasi Oscar terbanyak tahun ini. Dari laporan Tirtoyang ditulis Aulia Adam, disebutkan bahwa kemenangan The Shape of Water tidak terlepas dari alasan politis—khas oscar—di baliknya.
The Shape of Water sendiri mengangkat relasi Elisa Esposito, seorang wanita bisu petugas kebersihan di sebuah fasilitas pemerintahan keamanan tinggi, dengan makhluk penelitian di tempat kerjanya.
Pada 2016 lalu, saat Donald Trump belum terpilih jadi Presiden Amerika Serikat, ajang Academy Awards atau Piala Oscar dijuluki rasis karena tak ada satu orang kulit hitam pun dalam nominasinya.Tahun ini, protes pada Trump juga masih sorotan utama Oscar dan para seniman Hollywood. Membuat kehadiran The Shape of Water jadi unggulan terasa wajar.
Karakter utama film ini, perempuan bisu dari kalangan ekonomi bawah adalah faktor penting. Karakter Elisa jadi simbol yang tepat melambangkan gerakan progresif perempuan dalam dua tahun terakhir yang terus bergaung di AS. Dalam film ini, meskipun tak punya kuasa apa-apa, ia berani menyelundupkan Si Aset atas nama perikemanusiaan, dan tak gentar melawan Strickland, bos tempatnya bekerja.
Strickland sendiri (yang diperankan Michael Shannon) digambarkan del Toro secara gamblang sebagai lambang kekuasaan Trump saat ini: orang pemerintahan, pria, dan kulit putih. Secara implisit, lewat karakter Strickland, ia juga ingin menunjukkan privilege yang digenggam golongan tersebut sudah sejak lama memang ada dan nyata.
Alasan lain film ini jadi favorit di Oscar adalah karena ia merupakan karya del Toro, sutradara kenamaan dunia yang berasal dari Meksiko—salah satu negara yang paling sering disebut Trump secara negatif selama kampanye dan masa pemerintahannya. Kemenangan del Toro dalam Oscar—ajang pesta perfilman terbesar di AS—telah menjadi simbol protes paling akbar buat sang presiden dari para seniman Hollywood.Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Yulaika Ramadhani