Menuju konten utama
1 Juli 1946

Orientasi Polisi Modern untuk Kepentingan Publik, Bukan Sebaliknya

Dalam manual tahun 1930, polisi yang modern harus berorientasi pada kepentingan publik, tidak peduli kebangsaan, ras, atau status sosialnya.

Orientasi Polisi Modern untuk Kepentingan Publik, Bukan Sebaliknya
Ilustrasi Mozaik Polisi Sebagai Alat Negara. tirto.id/Sabit

tirto.id - Dalam profil resminya, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menyebut sejarah kelembagaannya berawal dari masa klasik—tepatnya dalam wujud lembaga Bhayangkara Kerajaan Majapahit (1293–1510-an). Menarik garis sejarah hingga selampau itu tampaknya tindakan yang terlalu romantis.

Lembaga kepolisian yang strukturnya kini diwarisi Polri lebih realistis untuk ditelusuri sejak akhir masa kolonial Hindia Belanda. Berdasarkan penjelasan Ian Brown dalam Economic Change in Southeast Asia c. 1830–1980 (1997), negara kolonial Hindia Belanda disebut sebagai negara modern pertama yang wilayahnya mencakup keseluruhan wilayah Republik Indonesia sekarang.

Namun, mengapa lembaga kepolisian modern tidak lahir bersama dengan negara baru itu pada tahun 1816, dan justru baru mendapat wujudnya pada pengujung abad? Untuk menjawab ini, kita perlu menilik perubahan wajah bertahap dari kolonialisme Belanda di Kepulauan Indonesia sepanjang abad ke-19 dan 20. Kolonialisme Belanda bukanlah sebuah sistem yang tunggal dan tak berubah sepanjang seratusan tahun.

Pada permulaan kekuasaan kolonial, menurut Bernard H. M. Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2016:264), orang seperti Gubernur Jenderal Godert van der Capellen (menjabat 1819–1826) berusaha memperbaiki pola hubungan ekonomi model Kompeni (VOC) yang monopolistik. Dia ingin menghadirkan iklim hubungan yang lebih baik dengan kawula bumiputra, namun ini tidak memuaskan bagi negeri induk.

Sepanjang empat puluh tahun berikutnya (1830–1870), negara kolonial bertindak sebagai eksploitator tunggal yang hanya berkepentingan secara ekonomi pada negara koloni. Pola ini akhirnya mendapat tentangan pada dekade 1860-an melalui karya sastra Max Havelaar (1860) karya Eduard Douwes Dekker dengan nama pena Multatuli. Namun, kritik itu pada akhirnya justru menyebabkan liberalisasi ekonomi besar-besaran yang sama sekali tak mengubah nasib negeri koloni menjadi lebih baik. Perusahaan swasta Belanda maupun asing lain dibukakan pintu ke Hindia sehingga eksploitasi dan kapitalisasi tanah jajahan menjadi semakin masif.

Pada masa-masa penuh eksploitasi ini, lembaga kepolisian seperti yang kita kenal sekarang belum lahir. Fokus utama kolonialisme sepanjang abad ke-19 adalah eksploitasi ekonomi, bukan pengembangan kehidupan dan taraf ekonomi masyarakat tanah jajahan.

Menurut Marieke Bloembergen dalam “The Perfect Policeman” yang dimuat jurnal Indonesia (2011a, Vol. 91), kelahiran kepolisian modern di Kepulauan Indonesia berkait erat dengan perubahan haluan kolonial pada awal abad ke-20, yaitu melalui penegakan Politik Etis (1901). Lembaga kepolisian menjadi jawaban atas kegalauan pemerintah kolonial yang dihadapkan pada dua permasalahan utama, yaitu kebutuhan pemerintah kolonial untuk menjadikan pola kekuasaannya “lebih beradab”, namun mereka melihat bahwa kekuasaannya sedang dalam bahaya keruntuhan.

Hingga permulaan abad ke-20, berbagai masalah ketertiban banyak diselesaikan dengan kekerasan karena otoritas yang berurusan dengannya adalah tentara kolonial (KNIL). Namun, perkembangan pandangan dunia pada abad ke-20 meletakkan model penyelesaian yang penuh darah sebagai model yang sudah usang dan perlu ditentang. Apalagi kekuasaan koloni pada permulaan abad itu sudah mulai berada di bawah orang-orang etis yang kebanyakan secara jujur ingin mewujudkan persekutuan sehat antara orang Eropa dan orang jajahannya.

Dalam Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan (2011), Bloembergen menyebut bahwa perkembangan awal kepolisian modern dimulai dari reformasi kepolisian pada tahun 1897. Namun, kepolisian terus mengalami perombakan modernisasi secara bertahap pada 1911 hingga 1914 dan terakhir pada 1918 hingga 1920. Sepanjang periode kepolisian modern tadi hingga pergantian kekuasaan ke tangan Jepang pada 1942, semua personel polisi dinaungi di bawah nama Algemeene Politie (Kepolisian Umum).

Titik yang membedakan lembaga kepolisan lama—yang sebenarnya sudah mulai berembrio sejak dekade 1860-an—dengan lembaga kepolisian modern yang mengalami tiga kali reformasi birokrasi adalah garis komandonya kepada negara. Polisi modern merupakan alat negara yang bertanggung jawab pada jaksa agung. Selain itu, untuk menegaskan kesan “modern” di dalam dirinya, kepolisian harus bersikap inklusif. Dalam manual tahun 1930 yang diberikan kepada murid-murid Sekolah Polisi Sukabumi (Opleidingsschool der Algemene Politie), polisi yang modern harus berorientasi pada kepentingan publik, tidak peduli kebangsaan, ras, atau status sosialnya.

Statistik keanggotaan polisi pada tahun 1930-an yang ditampilkan oleh Bloembergen (2011b:169–170), dari 54.000 total anggota kepolisian, 52.000 di antaranya adalah anggota bumiputra dari berbagai pulau. Namun, ini bukanlah suatu gambaran kesetaraan yang ideal karena anggota-anggota bumiputra tidak pernah menduduki posisi-posisi tinggi dalam kepolisian kolonial. Selain itu, pengaturan kolonial yang segregatif dengan menempatkan anggota polisi dari pulau lain ke pulau yang bukan kampung halamannya, akhirnya menciptakan ketegangan rasial antarmasyarakat bumiputra.

Namun, statistik kepegawaian yang didominasi oleh masyarakat bumiputra menyediakan fakta-fakta yang menarik. Misalnya, cara pandang bahwa selama ini negara kolonial Hindia Belanda dalam diri pejabat-pejabat Eropanya telah menjadi “polisi” bagi warga jajahannya tidak sepenuhnya benar—karena jelas personel terbanyak kepolisian adalah masyarakat bumiputra.

Ada sudut pandang bumiputra yang menentukan arah kepolisian kolonial, dan ada pula pandangan pribadi polisi bumiputra yang dapat kita teliti di dalamnya, misalnya Roesad Soetan Pepatih, wedana polisi di Pantai Timur Sumatra (menjabat 1929–1939). Ia sempat membuat rangkaian monografi tentang gerakan politik dan keagamaan di Minangkabau semasa menjabat sebagai polisi. Karya Roesad dapat menjadi pintu masuk tentang bagaimana pandangan seorang polisi bumiputra ketika mengawasi kawan-kawan “sebangsanya”.

Infografik Mozaik Polisi Sebagai Alat Negara

Infografik Mozaik Polisi Sebagai Alat Negara. tirto.id/Sabit

Meskipun disertai berbagai macam isu, terutama pembedaan rasial yang kentara, perkembangan kepolisian kolonial pada awal abad ke-20 menggariskan satu prinsip pasti dari kepolisian modern. Hal ini seperti diungkapkan oleh sejarawan Ong Hok Ham dalam Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018:194), yaitu menjadi alat negara tidak peduli siapa dan bagaimana haluan penguasa.

Kepolisian menjadi alat negara dalam banyak kesempatan, termasuk menjadi sarana unjuk menunjukkan eksistensi kekuatan negara. Misalnya, seperti yang pernah saya tulis dalam Mempertahankan Imperium: Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer dan Kebijakan Kolonial Akhir Hindia Belanda, 1936–1942 (2021:58–59), ketika pengaruh Nazi Jerman mulai menguat di Hindia Belanda pada tahun 1938 dan kepemimpinan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh (menjabat, 1936–1942) dinilai lemah dalam menghadapi fenomena ini. Untuk menegaskan bahwa pemerintah kolonial masih memiliki kekuatan, diadakanlah operasi polisi besar-besaran pada tahun 1938 untuk membasmi praktik homoseks terhadap anak di bawah umur.

Bloembergen dalam “Rein zijn is sterk zijn [Menjadi Bersih adalah Menjadi Kuat]” (2011c) menyebut bahwa operasi moral yang disebut zedenschoonmaak (pembersihan moral) itu menyasar banyak pejabat tinggi bahkan di dalam kepolisian sendiri. Motivasi unjuk kekuatan negara kolonial menjadi kentara karena sebenarnya masalah praktik seksual itu sudah dikemukakan sejak Oktober 1936 di De Ochtenpost. Saat itu, Gubernur Jenderal Tjarda sama sekali tidak menggubris masalah tersebut.

Dengan demikian, operasi moral ini jelas tidak dilakukan semata-mata atas dasar alasan moral. Namun dilakukan untuk menunjukkan kepada rakyat jajahan dan golongan Eropa di koloni bahwa negara kolonial masih kuat dan stabil. Jika tentara dijadikan simbol kekuatan negara di mata kekuatan asing, kepolisian dijadikan simbol kekuatan negara terhadap rakyat atau kawulanya.

Kepolisian kolonial adalah salah satu lembaga formal yang tidak dibubarkan oleh pemerintah pendudukan Jepang saat menguasai Hindia Belanda tahun 1942. Jepang hanya menginternir segelintir pejabat tinggi Eropa dan mentransformasikan lembaga itu, salah satunya, ke dalam Tokubetsu Keisatsutai (Polisi Istimewa).

Setelah proklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, lembaga kepolisian zaman Jepang juga tidak dibubarkan—tidak seperti nasib PETA—tetapi ditransformasikan ke dalam Pasukan Polisi Republik Indonesia (di Surabaya), Badan Kepolisian Negara (oleh pemerintah pusat di Jakarta). Dan akhirnya pada 1 Juli 1946, tepat hari ini 75 tahun lalu, diintegrasikan ke dalam Djawatan Kepolisian Indonesia yang dilepaskan dari Kementerian Dalam Negeri, dan bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri Indonesia.

Sepanjang abad, lembaga kepolisian sama sekali tidak dibubarkan, tak peduli siapa pun penguasanya. Karena satu prinsip yang mengakar dari kepolisian modern masa kolonial—ia adalah alat negara untuk mewujudkan tata tenteram, siapa pun penguasanya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH POLRI atau tulisan lainnya dari Christopher Reinhart

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Irfan Teguh