tirto.id - “Bernie! Bernie! Bernie!”
Rekaman situasi Konversi Partai Demokrat menunjukkan dengan jelas bagaimana para pemilih di partai itu sengaja menunjukkan dukungan kuat buat Bernie, bukan Hillary yang resmi jadi calon presiden partai mereka. Selain elu-elu untuk Bernie di dalam gedung, di luar pun para pemilih Bernie berunjuk rasa.
Ketaksukaan pada Hillary sangat jelas sepanjang ia berkontestasi dengan Bernie, apalagi saat diputuskan Hillary-lah yang akan maju. Seperti diberitakan The New York Times, beberapa pendukung Bernie Sanders bahkan walk out dari Konvensi setelah Hillary yang lolos menjadi calon presiden resmi Demokrat.
Demonstrasi pun kerap dilakukan para suporter Bernie di luar gedung. Sampai-sampai Bernie harus mengirim meminta pendukungnya untuk berhenti. "Saya meminta Anda melakukannya untuk saya, untuk tak terlibat dalam setiap jenis demonstrasi. Ini sangat penting untuk disampaikan pada delegasi Anda," tulis Bernie seperti dikutip The Verge.
Anda tentu bisa membayangkan. Jika kader partainya saja bisa membenci Hillary, bagaimana dengan non-kader Partai Demokrat?
Situsweb jurnalisme data milik Nate Silver, fivethirtyeight.com pada Mei 2016 pernah menurunkan laporan ihwal Donald Trump dan Hillary Clinton sebagai capres-capres paling tak disukai. Sebelum Clinton dan Trump, capres paling tak disukai sejak 1980 sampai 2012 adalah George W. Bush pada pencalonannya yang kedua di tahun 2004.
Rekor itu pecah pada pemilu kali ini. Pada sampel poll dari Maret hingga akhir April, rating rata-rata ketidaksukaan yang tinggi terhadap Clinton adalah 37 persen. Dibanding angka ketaksukaan pada Bush Junior di 2004, angkanya lebih tinggi lima persen. Trump lebih buruk lagi. Tingkat ketidaksukaan padanya 20 persen lebih tinggi dibanding semua calon selain Hillary.
Dari Moralis Menjadi Pro-Bisnis
Banyak pro-Bernie yang menganggap Hillary kurang progresif sehingga mereka pun pesimis akan ada perubahan yang dibawa Hillary jika ia menjadi presiden.
Made Tony Supriatma, yang sedang studi ilmu politik pada program Ph.D di Cornell University, menyebut banyak yang tak suka Hillary karena dianggap akan membawa kembali ideologi zaman Bill Clinton.
“Clinton ini sangat centrist,” kata Tony. “Dia banyak negosiasi dengan konservatif Republikan. Hillary dianggap akan kembali ke jaman itu. Memang benar sih. Dia 'cozy' sama bisnis. Itu sebabnya, ceramah-ceramahnya di Wall Street yang sekali ceramah dibayar 1/4 juta dollar itu diminta untuk diumumkan transkripnya.”
Pendeknya, ia terlalu kanan. Hillary juga, menurut Made Tony, “terlalu berpihak pada bisnis dan tidak tulus mengusung nilai-nilai liberal-progresif.”
Tapi ternyata ketaksukaan, bahkan kebencian, terhadap Hillary bukanlah hal baru. Menurut Michelle Goldberg dalam tulisannya di Slate, ketidaksukaan terhadap Hillary sudah ada sejak 20 tahun lalu.
“Banyak orang tak suka Hillary Clinton saat ia pertama muncul di panggung politik, dan banyak orang tak menyukainya sekarang. Ia menjadi calon Demokrat paling tak populer dalam sejarah modern, meski para pemilih lebih tak menyukai Donald Trump,” tulis Goldberg.
Ironisnya, jika sekarang banyak kader Demokrat membencinya karena kurang progresif, terlalu kanan, bahkan konservatif, dulu Hillary dibenci karena justru dianggap moralis. Alasan-alasan orang yang membencinya secara umum sekarang hampir kebalikan dari alasan-alasan orang membencinya pada 1990an.
“Dulu ia ideolog yang merasa paling benar, sekarang ia malah alat korup dari kemapanan. Dulu ia terlalu kaku, tapi sekarang malah terlalu fleksibel.”
Goldberg juga mengutip hasil poling dari Morning Consult yang hasilnya menyebut 84 persen setuju dengan pernyataan bahwa Hillary mengubah posisinya jika menguntungkan secara politis. Sedangkan 82 persen melihatnya sebagai orang yang korup.
“Motif membenci Hillary berubah. Tapi kebenciannya sendiri tetap.”
Contoh gamblangnya adalah akuntan dan analis keuangan Brian Greene, salah satu narasumber Goldberg. Pada 1900an, ia adalah konservatif dan tak menyukai pasangan Clinton. Hillary adalah “Bill tanpa karisma,” Goldberg mengutip Greene.
Setelah perang Irak, Greene mengubah pandangan politiknya. Tak lagi menyebut diri sebagai konservatif, kini ia menyebut diri liberal-libertarian. Greene memang memilih Clinton di putaran awal Illinois.
Jika saja Partai Republik memilih orang yang lebih waras dari Trump, Greene tak segan kembali ke partai itu November nanti.
“Aku tak menganggap gerakan Hillary ke kiri, atau menjadi lebih populis belakangan ini sebagai sesuatu yang [secara tulus] benar-benar datang dari dirinya, tapi lebih sebagai reaksi atas Sanders dalam pertarungan,” tutur Greene.
Meski sangat tak disukai, Hillary patut bersyukur punya rival yang lebih tak disukai. Poling di Real Clear Politics menunjukkan ia masih unggul. Sampai 31 Oktober, menurut poling itu, Hillary Rodham Clinton masih menang pada angka 47,7 persen dibandingkan Trump yang meraih suara 44,8 persen.
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Zen RS