tirto.id - Sejumlah ahli waris keluarga korban pesawat JT-610 mengaku belum memperoleh ganti rugi dari Lion Air hingga 6 bulan usai kejadian.
Menurut keluarga korban, mereka kerap dihambat oleh perjanjian release and discharge (R&D) yang meminta mereka melepaskan haknya untuk menuntut pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kecelakaan pesawat tipe Boeing 737 Max 8.
Anggota Ombudsman RI dan pengamat penerbangan Alvin Lie menilai, pencairan ganti rugi itu seharusnya tidak terjadi berlarut-larut. Sebab, penetapan R&D itu menurutnya bertentangan dengan peraturan yang ada.
Alhasil, Alvin mengingatkan tak ada alasan apapun untuk menunda pembayaran ganti rugi itu.
"Saya gak tau R&D itu permintaan siapa yang pasti itu perbuatan melawan hukum. Bertentangan dengan peraturan di Indonesia," ucap Alvin saat dihubungi reporter Tirto pada Selasa (9/4/2019).
Dalam hal ini Alvin merujuk pada Pasal 3 Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 77 Tahun 2011 menetapkan, setiap korban meninggal akibat kecelakaan pesawat berhak menerima ganti rugi senilai Rp1,25 miliar.
Lalu mengaju juga ketentuan dalam UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan ada ketentuan di pasal 186 ayat 1, berbunyi:
“Pengangkut dilarang membuat perjanjian atau persyaratan khusus yang meniadakan tanggung jawab pengangkut atau menentukan batas yang lebih rendah dari batas ganti kerugian.....”
Berdasarkan aturan itu, Alvin menegaskan kembali bahwa tidak ada kewajiban untuk menandatangani R&D. Bahkan baik maskapai maupun pihak asuransi tidak bisa memaksakannya termasuk membuat perjanjian seperti yang sekarang ini dikeluhkan keluarga korban.
Alvin juga memastikan bahwa ganti rugi senilai Rp1,25 miliar merupakan kewajiban maskapai. Dengan demikian, pengakuan keluarga korban yang menyatakan isi R&D berkaitan dengan larangan mengguat hukum Lion Air, Boeing, dan 200 perusahaan yang terlibat dalam pembuatan pesawat dinilai tidak masuk akal.
"Itu ilegal. Kalau pun ditanda tangani itu merupakan perjanjian yang bertentangan dengan UU di indonesia. Apapun yang ditandatangani tidak berkekuatan hukum dan tidak sepatutnya mendesak memaksa keluarga korban," ucap Alvin.
Alvin pun mengingatkan Kementerian Perhubungan untuk segera bertindak. Menurutnya, hal ini perlu dilakukan agar kehadiran Permenhub No. 77 Tahun 2011 dan UU No. 1 Tahun 2009 sendiri juga tidak diabaikan oleh maskapai.
Selain itu, Alvin juga menuturkan bahwa Ombudsman telah menerima masukan dan data yang dapat diperoleh dari keluarga korban terutama berkaitan dengan dugaan pemaksaan menandatangani R&D.
Bersama tim Ombudsman, Alvin mengatakan tengah mendalami bila masalah penundaan ganti rugi ini dapat berujung pada tindak pidana.
"Apakah itu sudah termasuk tindak pidana sendiri karena melakukan pemaksaan dan tekanan. Kami masih mempelajari kebetulan keluarga korban sudah datang ke Ombudsman. Saya sudah mendapatkan penjelasan mereka," tukas Alvin.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno