Menuju konten utama

Ombudsman: Ada Potensi Maladministrasi di Putusan PK Baiq Nuril

Ombudsman menilai ada potensi maladministrasi di putusan PK Baiq Nuril. Putusan itu dinilai telah mengesampingkan ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017.

Ombudsman: Ada Potensi Maladministrasi di Putusan PK Baiq Nuril
Anggota Ombudsman Ninik Rahayu (kiri) dan Adrianus Meliala (kanan) saat konferensi pers di Gedung Ombudsman, Jakarta, Selasa 5/3/2019. tirto.id/Andrian Pratama Taher

tirto.id - Putusan Mahkamah Agung yang menolak pengajuan Peninjauan Kembali (PK) terhadap vonis bagi Baiq Nuril Maknun menuai protes dari banyak kalangan.

Penolakan PK Baiq Nuril dinilai mengabaikan fakta bahwa warga Nusa Tenggara Barat (NTB) itu merupakan korban pelecehan seksual verbal di tempat kerja.

Anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu juga menyoroti putusan tersebut. Dia menduga putusan itu bermasalah dan berpotensi ada maladministrasi di dalamnya.

"Memang ada potensi maladministrasi, setidaknya ada [indikasi] penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan prosedur dalam penanganan kasus ini," kata Ninik di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (7/7/2019).

Dia menilai putusan tersebut mengesampingkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

Peraturan Mahkamah Agung itu, kata dia, memuat ketentuan bahwa dimensi kekerasan berbasis gender harus menjadi perhatian para hakim.

"Peraturan Mahkamah Agung ini produk hukum, tapi justru mengesampingkan [peraturan] itu. Ini menjadi catatan tersendiri bagi lembaga itu untuk segera melakukan koreksi, termasuk koreksi terhadap hakim yang memutuskan perkara tersebut," kata Ninik.

Menurut Ninik, dalam kasus Baiq Nuril, korban malah menjadi tersangka dan kemudian terpidana. Dia menganggap hal itu menunjukkan kegagalan lembaga peradilan dalam membaca posisi dan kondisi para pihak yang berperkara.

Ninik juga setuju dengan langkah sejumlah aktivis mendorong Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Baiq Nuril.

"Kami mendukung imbauan yang disuarakan oleh masyarakat sipil, karena memang tidak mungkin grasi. Kalau grasi setelah berkekuatan hukum tetap, ancamannya juga hukuman mati atau seumur hidup. Sementara Baiq hanya dihukum enam bulan," ujar Ninik.

Sementara peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai Presiden Jokowi seharusnya memberikan amnesti kepada Nuril tanpa harus pikir panjang.

“Itu kewenangan presiden. Ada di Pasal 14 UUD 1945,” kata Erasmus kepada reporter Tirto, Sabtu (6/7/2019).

Dia menambahkan, “berdasarkan penelitian kami, tidak ada ketentuan [soal] amnesti. Ini masalah kemanusiaan saja. Kalau dia [Presiden Jokowi] mau ikut campur, tidak masalah."

Menurut Erasmus, presiden juga boleh saja memberikan amnesti itu tanpa menunggu permohonan disampaikan oleh terpidana.

Baca juga artikel terkait BAIQ NURIL atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Addi M Idhom