tirto.id - Kemenangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dalam Pilpres 2019 tidak bisa dilepaskan dari peran serta partai politik pengusung. Wajar jika kemudian Jokowi-Ma'ruf memberi mereka hadiah kursi menteri.
Jika dasar penilaiannya adalah kontribusi untuk Jokowi, maka selain parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja, ormas Nahdlatul Ulama (NU) juga layak mendapatkan kursi menteri. Selain relawan-relawan, pada dasarnya NU juga punya basis massa (nahdliyin) yang besar di Jawa Timur dan Jawa Tengah--dua wilayah di mana Jokowi-Ma'ruf memperoleh suara signifikan.
Rais Aam PBNU, Miftachul Akhyar, juga mengatakan telah menyiapkan kader terbaik untuk diajukan sebagai menteri dalam kabinet Jokowi. "Kalau siap, sejak dulu siap," kata Miftachul di Jakarta, Minggu (23/6/2019) kemarin.
Perkaranya, NU itu sendiri secara kultural dekat dengan salah satu partai pendukung Jokowi, PKB. Sementara PKB, diwakili sang Ketua Umum Muhaimin Iskandar, mengatakan mereka meminta jatah kursi hingga 10.
Jika begitu keadaannya, apakah kursi yang diterima oleh NU dan PKB semestinya digabung? Atau sebaliknya, dipisah?
Dipisah Karena Berbeda
Jika pertanyaan ini dilayangkan ke pendiri lembaga survei KedaiKOPI Hendri Satrio, maka jawabannya adalah: mesti dipisah. Alasannya sederhana: bahwa dua lembaga ini, meski beririsan, pada dasarnya berbeda. Apa yang bisa dilakukan satu organisasi belum tentu bisa dilaksanakan yang lain.
"Karena mereka (NU) yang menjaga marwah Islam," ujar Hendri kepada reporter Tirto, Selasa (2/7/2019). Peran inilah yang menurutnya tak bisa dijalankan PKB, meski prinsip mereka, sebagaimana tercatat dalam laman resmi pkb.id, adalah "pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala."
"Kemudian NU juga mampu mengembangkan isu-isu syariah," tuturnya.
Pendiri dan CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali mengatakan hal serupa, bahwa jatah menteri untuk PKB dan NU mesti dipisah. Alasannya, peran dua lembaga ini tidak bisa disama-ratakan.
"NU lebih besar dari PKB. Banyak organisasi relawan NU secara struktural yang tidak masuk ke PKB. Organisasi semacan inilah yang kemungkinan bisa masuk ke dalam kabinet Jokowi-Ma'ruf," ujar Hasanuddin kepada reporter Tirto.
Ada Fungsinya
Hasanuddin mengatakan Jokowi sebenarnya butuh NU (non-PKB) untuk membantunya di kabinet karena isu miring terhadapnya, yaitu anti-Islam, belum hilang sepenuhnya meski dia telah menggandeng Ma'ruf Amin sebagai presiden.
NU juga penting untuk menandingi ormas-ormas oposisi Jokowi yang ideologinya--seperti dikutip langsung dari Hasanuddin, "berlawanan dengan Pancasila."
"Serangan ke pemerintah Jokowi-Ma'ruf bukan hanya dari oposisi partai, melainkan ormas. Apalagi membawa ideologi yang berlawanan Pancasila. NU terlibat aktif meng-counter ormas-ormas model begitu," tambahnya.
Hasanuddin menganggap partai-partai koalisi lain tak keberatan jika akhirnya Jokowi memang meminta orang NU membantunya.
"Saya kira partai-partai bisa memahami, ya, dari komentar mereka juga tidak meragukan peran NU dalam kemenangan Jokowi-Ma'ruf. Tinggal komposisinya saja kursi kabinet yang diperebutkan," terangnya.
Apa yang diprediksi Hasanuddin dikonfirmasi oleh Wakil Sekretaris Jenderal PKB Daniel Johan. Menurutnya PKB tidak masalah dengan itu, meski, misalnya, jatah menteri untuk mereka jadi berkurang.
"Iya, masing-masing mewakili," kata Daniel kepada reporter Tirto.
Namun pendapat berbeda disampaikan fungsionaris PDIP Eva Kusuma Sundari. "Kan biasanya berisan, jangan double-double," kata Eva.
Wakil Sekretaris Jenderal PPP Achmad Baidowi pun resisten. Dia bilang selama ini sudah banyak kader NU yang membantu Jokowi. Tak perlu ada lagi pos khusus untuk mereka. "Masak kader kami atau Golkar yang NU tidak dianggap?" katanya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino