Menuju konten utama

Nikel dan Bauksit Disinyalir Tak Dapat Relaksasi Ekspor

Pemerintah menyatakan bahwa nikel dan bauksit hampir dipastikan tidak akan mendapatkan relaksasi ekspor. Hal tersebut karena ke dua mineral tersebut sudah dapat diolah dengan baik di Tanah Air.

Nikel dan Bauksit Disinyalir Tak Dapat Relaksasi Ekspor
Lahan bekas tambang bauksit yang tandus menghampar di Pulau Bintan, Kepri, selasa (10/2). Antara Foto/Joko Sulistyo.

tirto.id - Nikel dan Bauksit hampir dipastikan tidak mendapatkan relaksasi ekspor mineral mentah dalam revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Hal tersebut dikemukakan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Menteri ESDM Luhut Binsar Panjaitan di Kemenko Kemaritiman, Jakarta. Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa perlu ada studi lebih lanjut untuk dapat benar-benar memutuskan hal tersebut.

"Jadi ini hampir ya, belum diputuskan, hampir pasti kita tidak akan memberikan relaksasi untuk nikel dan bauksit. Hampir pasti, karena saya ingin ada studi lagi," kata Luhut, Rabu (12/10/2016) malam.

Ia menjelaskan, berdasarkan kajian sementara item per item, ditemukan bahwa Indonesia memegang hampir 50 persen pangsa pasar nikel dunia. Indonesia, Filipina dan New Caledonia bahkan diklaim mengontrol 70 persen pasokan nikel dunia.

Hasil pengolahan nikel di Tanah Air yang sudah sampai produk turunan seperti "stainless steel" pun sudah dapat diekspor ke luar negeri, jelas Luhut.

Ada pun hingga saat ini tercatat sekitar 22 perusahaan telah melakukan hilirisasi nikel baik dalam bentuk smelter besar dan kecil.

"Sekarang ini China hampir 60 persen atau 40 persennya itu mengimpor dari kita. Sekarang mereka juga sudah buka di sini sampai industri stainless steel-nya. Makanya, ngapain kita ekspor kalau sudah bisa [diproses di] dalam negeri," katanya menambahkan alasan yang sama juga berlaku untuk bauksit.

Luhut menuturkan, selain nikel dan bauksit, mineral tanah jarang (rare earth) juga tidak akan mendapat relaksasi ekspor dalam revisi beleid tersebut. Meski diakui Indonesia belum memiliki teknologi pengolahan mineral tanah jarang, hasil tambang itu merupakan material yang sangat langka.

"Itu barang sangat langka dan kita punya besar sekali. Kami mau produksi sendiri sambil menyiapkan teknologinya. Kita mau [komoditas] ini seperti kelapa sawit, kita yang mengatur harga dunia," ujarnya.

Luhut menambahkan pihaknya masih akan melakukan kajian yang lebih detail terkait jenis mineral yang akan mendapat relaksasi ekspor, terutama tembaga dan turunannya. "Saya masih butuh waktu satu minggu bagi tim untuk mengkaji mengenai tembaga dan turunannya. Tapi kalau yang dua itu [nikel dan bauksit] hampir pasti posisinya begitu [dibatalkan relaksasinya]," katanya.

Untuk diketahui, ekspor mineral mentah sudah dilarang sejak 11 Januari 2014, seperti tercantum dalam UU Minerba. Akan tetapi, pemerintah masih memberikan kesempatan bagi mineral hasil pengolahan atau konsentrat untuk diekspor hingga 2017.

Perpanjangan waktu itu dilakukan guna memberi waktu bagi perusahaan tambang untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter). Padahal pemerintah tegas untuk melakukan hilirisasi minerba guna mendorong nilai tambah produk Indonesia.

Baca juga artikel terkait NIKEL

tirto.id - Ekonomi
Sumber: Antara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara