tirto.id - Nicolas Cage tentu bukan nama yang sama sekali asing bagi para penikmat film, bahkan bagi para penonton kasual. Maklum saja, aktor bernama asli Nicolas Kim Coppola itu bisa dibilang salah satu aktor Hollywood paling prolifik saat ini. Bagaimana tidak, dia setidaknya telah membintangi lebih dari seratus judul dalam empat dekade kariernya.
Wajahnya kerap malang-melintang di TV lokal di era Layar Emas pada 1990-an hingga 2000-an. Raut wajah yang sama sangat mungkin dikenali banyak penonton yang bahkan tak familier dengan namanya. Dan hingga kini, Nicolas Cage belum berhenti.
Kurang selektifnya sang aktor dalam memilih film, konon karena utang, telah mengantarnya menjadi figur unik. Dia menyabet banyak penghargaan prestisius sekaligus kerap tampil dalam film-film buruk.
Penilaian tak kalah beragam ditujukan terhadap aktingnya. Selain diabadikan sebagai meme, performanya kerap dianggap overacting, mega-acting (apa pun itu artinya), juga sesekali dianggap aktor paling underrateddi masa ini.
Kendati kian jarang mendaratkan peran-peran yang lebih sesuai dengan kapasitasnya, setidaknya belakangan kita mendapati Cage mengisi peran sampingan yang simpatik pula mengesankan. Tengoklah misalnya dalam seri Kick-Ass, maupun sebagai voice actor salah satu varian Spider-Man dalam Spider-Man: Into the Spider-Verse.
Dia seolah sudah memerankan karakter apa pun, jadi siapa saja. Mundur lebih jauh, kita bisa melihatnya tampil dalam Face/Off (1997) arahan John Woo sebagai lawan mainnya sendiri dan tampil sebagai dua bersaudara Kaufman dalam kisah meta-comedy Adaptation (2002) garapan Spike Jonze.
Yang belum kesampaian adalah melihat Nicolas Cage memerankan secara penuh Nicolas Cage alias jadi dirinya sendiri.
Tentu tak ada yang aneh dengan gagasan itu bila melihat sepak terjang sang aktor. Maka tahun ini, sang aktor akhirnya betul-betul memerankan dirinya sendiri dalam film besutan sutradara Tom Gormican (yang ditulisnya bersama Kevin Etten), The Unbearable Weight of Massive Talent.
Buddy/Spy Movie
Film dibuka dengan salah satu adegan Nicolas Cage dalam film lain. Terus terang, saya baru tahu kalau The Unbearable adalah film soal Cage sendiri ketika nama asli sang aktor disebutkan di awal film. Oh, dia memerankan dirinya sendiri—pikir saya.
Karakter itu adalah diri Cage sendiri versi fiktif (selanjutnya disebut Nick), sebagai seorang aktor yang telah melewati masa jayanya dan kini hendak pensiun. Sederet referensi diambil dari dunia nyata, dari Cage yang asli, entah itu film-film yang pernah dia perankan, acuan pada kritik terhadap kurang selektifnya dia dalam memilih peran, hingga bagaimana dia menerapkan metode artistiknya, "shamanic instinct".
Karikatur Cage itu memiliki keluarga yang mungkin sepenuhnya fiktif. Nick digambarkan sebagai ayah yang bersikukuh menjadikan putrinya sebagai "little me", termasuk dengan mendorong sang anak menonton film-film jadul kesukaannya seperti The Cabinet of Dr. Caligari.
Sebagai aktor yang sudah habis masanya, pertentangan terjadi dalam diri Nick: sampai sini saja atau maju terus.
Dilema itu hadir dan mengambil wujud Nicolas Cage yang lebih muda, berambut pirang (seperti penampilannya dalam film-film antah-berantah), narsistik, yang terus mengingatkan Nick bahwa dia bukan sekadar aktor, melainkan bintang film.
Suatu waktu di tengah peliknya kehidupan sebagai aktor dan ayah, Nick menerima undangan dari seorang penggemar beratnya, Javi Gutierrez (Pedro Pascal) untuk menghadiri pesta ulang tahun sang biliuner di Majorca. Dari sinilah petualangannya dimulai dan The Unbearable bertransformasi menjadi buddy movie berkat persahabatan baru Nick dan Javi.
Kedua pria kaya raya itu serta-merta menghabiskan banyak waktu bersama, mempraktikkan dialog cheesy dari film (Pedro Pascal berakting menyerupai orang yang tak bisa akting dengan bagus), lantas berniat memproduksi film sendiri soal persahabatan mereka.
Bibit-bibit konflik mulai disemai ketika CIA menugaskan Nick yang seorang aktor untuk menjadi agen rahasia demi membongkar kejahatan Javi. Sang penggemar sekaligus kawan itu ternyata gembong sindikat perdagangan senjata yang diduga menculik putri kandidat presiden Catalan.
Ini bukan jenis kisah yang baru memang, ketika karakter dari profesi lain harus menjadi mata-mata dadakan. Namun, Nicolas Cage tentu berbeda. Dia punya bekal sebagai aktor yang memiliki akting meyakinkan, kadang memerankan stunt-nya sendiri, dan pernah berperan sebagai agen rahasia di film Guarding Tess.
Segala pengalaman itu setidaknya memudahkannya tatkala harus menggunakan prostetik di wajah, mengenakan jaket Napoli, dan berbahasa Italia untuk berakting sebagai kepala keluarga kriminal Sergio Baldassari demi menyusup lebih dalam.
Humor sekaligus ketegangan hadir berkat Nick yang beberapa kali digambarkan nyaris terbuka kedoknya. Seiring berkembangnya cerita, "pengkhianatan" pun tak berlangsung satu arah lantaran Javi pun kini terjebak dalam situasi pelik harus membunuh idolanya.
Kedua sohib itu pun menyongsong third act dalam film dengan tak hanya menyusun third act untuk film mereka, tapi juga berusaha menghabisi satu sama lain.
Dalam kemasan kisah persahabatan sekaligus spionase, The Unbearable sesungguhnya berpusat pada upaya rekonsiliasi ayah dengan anak remajanya. Lebih jauh, ada proses pengenalan diri yang tak pernah berhenti, menyeret seorang bintang film untuk kembali menjadi manusia pada umumnya.
Hiburan Ringan untuk Fan
Kendati tak terasa benar-benar baru, The Unbearable Weight of Massive Talent hadir sebagai komedi aksi yang cukup rapi, mudah diikuti pada suasana mood apa pun, sekaligus cukup mendalam. Hiburan ringan yang pantas bagi para penggemar Nicolas Cage.
Ia film yang tepat pula untuk khalayak yang ingin melihat kelanjutan kiprah terkini sang “aktor seribu peran”.
Ada kesadaran terhadap pencapaian Nicolas Cage sebagai aktor, tapi juga cukup rendah hati memandang kritik dan pandangan publik terhadapnya—entah sebagai referensi karyanya ataupun untuk menertawakan diri belaka. Begitu pula hadirnya referensi terhadap kehidupan aktor maupun sinema secara luas.
Meski demikian, unsur beban-tak-tertanggungkan dari talenta besar itu terkesan tak sepenuhnya dimaksimalkan. Cage memang menampilkan beragam ekspresi, akting, dan penyampaian yang “pantas”, kadangkala berlebih. Di beberapa momen, saya bahkan mencurigai: beginilah Cage berlaku di dunia nyata.
Namun untuk film yang menyoal “dirinya”, rasanya tak semua potensi sang aktor dikerahkan.
The Unbearable tak bisa disandingkan dengan judul-judul sekaliber Face/Off maupun Adaptation. Arahan sutradara Tom Gormicon tak begitu spesial, tapi cukup untuk menambah panjang daftar film yang layak ditonton dalam filmografi Nicolas Cage—jauh lebih menghibur ketimbang film-film buruk dan terlupakan yang pernah diperankan sang aktor.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi