Menuju konten utama

Nasib TKI yang Tak Kunjung Terlindungi

Bekerja menjadi seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri merupakan pilihan yang diambil karena minimnya pendidikan dan keahlian, serta sulitnya mendapatkan pekerjaan di Indonesia. Niat hati untuk memperbaiki nasib di negeri orang, ternyata tak selamanya berakhir bahagia.

Nasib TKI yang Tak Kunjung Terlindungi
Unjuk rasa mengenai rencana penghentian pengiriman TKI ke luar negeri pada 2017, di Semarang. [Aantara Foto/R Rekotomo]

tirto.id - Ima Matul Maisaroh, wanita asal Malang, Jawa Timur, sedang menjadi pembicaraan. Namanya mengharumkan Indonesia. Wanita berusia 33 tahun itu mendapat kesempatan untuk berpidato di depan puluhan senator Gedung Putih, Amerika Serikat. Ia menjadi seorang bintang dalam acara Konvensi Nasional Partai Demokrat yang digelar di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat.

Meski kini sarat dengan prestasi, tetapi perjalanan Ima Matul sungguh tidak mudah. Ia adalah korban perdagangan manusia, dan pernah mengalami buruknya perlakuan majikan selama beberapa tahun.

Kisah suram tersebut bermula 19 tahun lalu, saat dia berencana untuk mencari rezeki di Hong Kong sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Saat itu, Ima baru berusia 17 tahun dan dijanjikan bekerja sebagai pengasuh anak dengan upah sekitar $150 per minggu. Bukannya ke Hong Kong, Ima malah dibawa ke Negeri Paman Sam. Selama tiga tahun, Ima dijadikan pembantu rumah tangga. Selama itu pula ia kerap menerima siksaan dari majikannya dengan jam kerja yang sungguh tidak manusiawi hingga 18 jam per hari.

Ia tak bisa berbuat banyak karena tak bisa berbahasa Inggris. Ima terjebak dalam situasi yang buruk selama tiga tahun, hingga akhirnya mendapatkan pertolongan. Ima pun kini menjadi salah satu pejuang bagi apra buruh migran memperoleh keadilan dan mendapat kehormatan berbicara di forum resmi di Amerika Serikat.

Kisah Ima berujung bahagia. Namun, tidak demikian dengan Yufrinda Selan. Tenaga kerja asal Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT ini pulang dalam keadaan tak bernyawa. Jasad Yufrinda ditemukan terikat di tali pada Sabtu 9 Juli 2016. Saat itu majikannya sedang tak berada di rumah. Yufrinda dikabarkan bunuh diri. Namun, keluarga menemukan sejumlah bekas penyiksaan sehingga meyakini Yufrinda tidak mati bunuh diri.

Yufrinda bukan satu-satunya TKI yang meninggal saat mencari peruntungan di luar negeri. Kepala Balai Pelayanan Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT), Tato Tirang mengatakan bahwa sejak Januari 2016 hingga akhir Juli ini, tercatat sebanyak 23 TKI yang berasal dari NTT dipulangkan dalam kondisi tak bernyawa. Ini baru satu dari 34 provinsi di Indonesia, dan ini baru salah satu contoh dari sekian banyak permasalahan yang di hadapi para TKI di luar negeri.

Data BNP2TKI mencatat, pada tahun 2015 ada 680 pengaduan terkait TKI yang meninggal di negara tujuan. Tak hanya dipulangkan dalam kondisi tak bernyawa, gaji yang tak dibayar juga menjadi masalah yang banyak dilaporkan para TKI. Sepanjang tahun 2015, tercatat sebanyak 488 kasus pengaduan TKI yang tidak mendapatkan bayaran gaji, jumlah ini menurun dari tahun sebelumnya yang sebanyak 514 aduan.

Masalah yang paling banyak diadukan adalah keinginan TKI untuk kembali ke Tanah Air. BNP2TKI mencatat, sebanyak 524 aduan sepanjang tahun 2015. Angka ini menurun tajam dari tahun sebelumnya yang sebanyak 818 aduan. Masalah lain yang dihadapi TKI adalah putusnya hubungan komunikasi dengan TKI serta pekerjaan yang tak sesuai dengan perjanjian kerja (PK).

Melihat banyaknya masalah ini, pada 2015, pemerintah berencana untuk menghentikan pengiriman tenaga kerja Indonesia sektor informal ke luar negeri secara bertahap.

TKI informal atau biasa disebut domestic worker atau penata laksana rumah tangga adalah mereka yang bekerja di luar negeri pada pengguna perseorangan yang tak berbadan hukum sehingga hubungan kerjanya subjektif dan relatif rentan menghadapi permasalahan. Sedangkan TKI formal adalah mereka yang bekerja di luar negeri pada berbagai perusahaan atau organisasi yang berbadan hukum, memiliki kontrak kerja yang kuat, dilindungi secara hukum di negara penempatan sehingga relatif tidak mendapatkan permasalahan selama bekerja di luar negeri, dikutip dari Antara.

Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan, pada tahun 2017, diharapkan Indonesia tak lagi mengirimkan tenaga kerja dari sektor informal ke luar negeri. Hanif Dhakiri menyatakan, penghapusan sektor informal ini dilakukan sebagai upaya perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia di luar negeri karena TKI di sektor ini memiliki tingkat kerawanan yang sangat tinggi seperti terjadinya kekerasan terhadap mereka dari majikan. BNP2TKI mencatat, penurunan jumlah TKI informal sudah berlangsung sejak 2011 yang mencapai 320.611 orang menjadi 123.342 pada 2015.

Namun, Migrant Care menilai penghentian TKI bukan solusi yang baik dan diskriminatif. Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengungkapkan penghentian pengiriman tenaga kerja Indonesia sektor informal atau pembantu rumah tangga ke luar negeri, sangat bertentangan dengan janji kampanye Presiden Joko Widodo dalam kampanyenya yang menyatakan bahwa negara hadir dimana rakyat bekerja.

Jika pengiriman TKI informal dihentikan maka akan menimbulkan masalah baru yakni meningkatkan jumlah pengangguran di Indonesia. Padahal, menjadi TKI di luar negeri adalah salah satu jalan akibat dari sulitnya mendapat pekerjaan di Indonesia. Sehingga, jika ingin berhenti mengirim TKI maka pemerintah harus membuat membuat strategi agar lapangan kerja tercipta seluas-luasnya. Tak hanya itu, pusat pelatihan keterampilan juga perlu diperluas, agar dengan keterapilan itu masyarakat dapat bersaing untuk mendapat pekerjaan.

Masalah lain yang kemudian muncul saat pengiriman TKI dihentikan adalah dapat meningkatnya TKI ilegal di negara tujuan. Ini juga akan memberi masalah baru pada negara tujuan. Misalnya, selama 2015 Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Johor Bahru mencatat telah memulangkan sekitar 19 ribu warga negara Indonesia (WNI) yang masuk Malaysia secara ilegal.

Pemerintah Taiwan juga mencatat bahwa Indonesia menyumbang sekitar 45 persen jumlah orang asing yang bekerja secara ilegal di Taiwan. Indonesia menduduki peringkat kedua penyumbang tenaga kerja asing ilegal di bawah Vietnam yang mencapai 24 ribu orang.

Meskipun Indonesia adalah salah satu penyumbang pekerja ilegal untuk Taiwan, tetapi pemerintah negara itu berterima kasih terhadap para pekerja Indonesia. "Kami atas nama pemerintah dan masyarakat Kota Taipei mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada masyarakat Indonesia di sini. Kami tidak akan melupakan kontribusi dan jasa-jasa masyarakat Indonesia di Taipei," kata Wakil Wali Kota Taipei Chen Jin Jun, dikutip dari Antara.

Para TKI di Taipei yang berjumlah sekitar 100 ribu jiwa itu disebut sangat membantu roda perekonomian dari negara itu. "Kota Taipei bisa tertib dan nyaman seperti ini juga atas kontribusi masyarakat Indonesia," kata Chen Jin Jun, dikutip dari Antara.

Malaysia yang juga menjadi salah satu tujuan utama dari para TKI baik legal maupun ilegal juga mengakui bahwa negara itu membutuhkan TKI. Meskipun muncul banyak masalah TKI di Malaysia tapi, diakui bahwa salah satu faktor sukses Malaysia dari segi pembangunan adalah TKI.

Menghentikan pengiriman TKI jelas bukan solusi. Keberadaan TKI terbukti menguntungkan Indonesia dan juga negara lain. Yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan memberikan perlindungan maksimal. Terutama sekali melindungi TKI dari PJTKI nakal dan majikan jahat yang menyengsarakan para pahlawan devisa itu.

Baca juga artikel terkait TKI ILEGAL atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti