tirto.id - “Halo!” suara seorang perempuan mengangkat telepon dengan suara latar agak riuh.
“Halo, apa benar ini dengan Asuransi Raya?” tanya si penelepon.
Perempuan penerima telepon bukannya menjawab malah terdiam sesaat. Setelah itu, seketika telepon ditutup. Upaya Tirto kembali menelepon berkali-kali hasilnya nihil. Percakapan sangat singkat dalam sambungan telepon ke nomor perusahaan Asuransi Raya ini menggambarkan kondisi perusahaan asuransi terkini. Sementara itu, situs resminya, www.asuransiraya.com sudah tak bisa dibuka. Akun twitternya terakhir aktif akhir tahun lalu. PT Asuransi Raya seperti perusahaan yang tidak bisa diakses lagi.
Pada 25 Juli lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menutup izin usaha PT Asuransi Raya karena gagal memenuhi ketentuan permodalan. Rasio solvabilitas atau risk based capital (RBC) perusahaan sampai akhir 2016 hanya 70 persen. Padahal, OJK mematok RBC minimal 120 persen dari modal bagi perusahaan asuransi. RBC adalah indikator kesehatan perusahaan asuransi, semakin besar angkanya, semakin sehat pula perusahaan asuransi tersebut.
Sebelum izin usahanya dicabut, Asuransi Raya memang sudah kesulitan membayar klaim. Berbagai peringatan telah diterima perusahaan asuransi umum itu. Dalam keputusan Dewan Komisioner OJK, disebutkan bahwa pada 13 Desember 2016, Asuransi Raya gagal membayar jaminan uang muka kepada Kantor Pusat Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta VII.
Pada 30 Januari 2017, Asuransi Raya mendapat peringatan ketiga karena memperlambat proses penyelesaian klaim KMShinpo18. OJK juga sempat lebih dulu melayangkan peringatan pertama pada 11 Januari 2017 terkait dengan kegagalan Asuransi Raya memenuhi RBC minimum. Peringatan juga kembali diberikan karena perusahaan tak dipenuhinya ketentuan modal minimum. Perusahaan asuransi ini pernah mendapat peringatan yang lainnya karena tak menyampaikan rencana bisnis 2017.
Selama industri asuransi berada di bawah pengawasan OJK, setidaknya ada empat perusahaan asuransi yang sudah dicabut izinnya. Dua di antaranya telah dinyatakan pailit. Pada 2013, OJK mencabut izin usaha PT Bumi Asih Jaya dan PT Asuransi Jiwa Nusantara. Kedua perusahaan asuransi jiwa itu kini telah dinyatakan pailit. Kemudian OJK mencabut izin operasional PT Asuransi Jiwa Bakrie. Saat ini perusahaan milik Bakrie Group itu belum pailit. OJK masih menunggu iktikad baik perseroan untuk menyelesaikan pembayaran klaim kepada nasabah.
Bagaimana nasib pemegang polis ketika perusahaan asuransinya bermasalah hingga dicabut izinnya? Nasib pemegang polis asuransi umum tentu akan berbeda dengan pemegang polis asuransi jiwa. Masa pertanggungan asuransi umum biasanya cenderung lebih singkat, hanya satu tahun. Ia bisa juga lebih panjang dari itu, tetapi tak sepanjang masa pertanggungan asuransi jiwa, apalagi produk unit linked yang melibatkan investasi.
- Baca juga: Hati-hati dengan Unit Linked
Dari apa yang terjadi dengan para pemegang polis Bumi Asih, Bakrie Life, dan AJN, uang mereka belum kembali. Bumi Asih dan AJN bahkan sudah dinyatakan pailit dan hingga saat ini, nasabah belum menerima haknya.
Bagi pemegang polis perusahaan asuransi yang belum dinyatakan pailit, sebenarnya masih ada harapan untuk menerima pembayaran yang ditunggu nasabah atau pemegang polis. Terlebih jika perusahaan asuransinya memiliki iktikad baik untuk menyelesaikan kewajiban dan memenuhi ketentuan OJK agar izin usahanya kembali diberikan.
Ketika pailit pun, pemegang polis masih bisa mendapatkan haknya. Namun memang sulit. Dalam banyak kasus pailit, aset debitur seringkali tak cukup untuk membayar seluruh utang kepada para kreditur atau nasabah.
Misalnya, sampai akhir 2012, aset Bumi Asih tercatat hanya Rp522 miliar padahal utang klaimnya saja lebih dari Rp3 triliun. Dari sini sudah tampak jelas bahwa kalaupun seluruh aset berhasil dijual oleh tim kurator, nilainya tak akan mampu membayar seluruh nilai tanggungan aktif klaim para pemegang polis.
- Baca juga: Setelah Tikar Perusahaan Asuransi Digulung
Untuk kasus Asuransi Raya, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Julian Noor mengharapkan pihak Asuransi Raya segera mengalihkan portofolio para pemegang polis aktif ke perusahaan lain. Namun, jika pihak asuransi tak menjalankan ini, ia menyarankan para pemegang polis untuk segera membeli polis baru.
Menurutnya, hal itu lebih untuk menjamin risiko daripada berharap pada perusahaan asuransi yang sudah dicabut izinnya. “Karena kalau tidak, dan tiba-tiba di masa transisi itu terjadi klaim, maka pemegang polis akan rugi dan lebih direpotkan,” kata Julian.
Bagi pemegang polis yang sudah mengajukan klaim, sambung Julian, mau tak mau harus menunggu iktikad baik atau menunggu perusahaan itu dinyatakan pailit.
Dari kacamata asosiasi, banyaknya perusahaan asuransi yang dicabut izinnya sebenarnya hal yang merugikan industri asuransi. Julian mengatakan selama ini industri asuransi susah mencari dan meyakinkan masyarakat bahwa asuransi itu penting dan dibutuhkan.
Kenyataan bahwa ada asuransi yang bangkrut dan merugikan nasabah akan menggerus kepercayaan konsumen terhadap industri asuransi secara keseluruhan. Dan kondisi semacam ini menjadi bukti nyata bahwa seperti perbankan yang memiliki Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), industri asuransi juga membutuhkan Lembaga Penjamin Polis.
Undang-undang tentang Perasuransian yang baru direvisi pada 2014 lalu sebenarnya sudah mengamanatkan pembentukan lembaga penjamin polis itu. Pasal 53 ayat 1 UU No. 40/2014 itu berbunyi, “Perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis.”
Akan tetapi, UU menyatakan bahwa penyelenggaraan program penjaminan polis ini akan diatur dalam undang-undang yang baru. Pengesahan UU yang baru itu harus dilakukan paling lama tiga tahun sejak UU Perasuransian diundangkan.
Itu artinya, paling lama tahun ini, UU yang mengatur penjaminan polis harus sudah ada. OJK dan DPR punya waktu hanya sekitar lima bulan lagi untuk menyelesaikan UU baru itu. Para pemegang polis di perusahaan asuransi yang bermasalah tentu tak ada perlindungan dan dirugikan.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Suhendra