tirto.id - Huru-hara Madiun 1948 tidak hanya bikin sial mereka-mereka yang bertikai, tapi juga orang yang “kebetulan lewat”. Salah satu orang yang ketiban sial itu adalah Mayor Jenderal Soetopo (1905-1949). Sebelum Peristiwa Madiun pecah, Soetopo adalah Kepala Staf Tentara Komandemen Sumatra. Pada 1948, dipanggil untuk bertugas di Jawa.
“Dia kemudian terluka parah oleh pendukung Musso dan meninggal di rumah sakit Belanda di Semarang,” tulis Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-wit: De Indonesische Officieren uit het KNIL (1995, hlm. 376).
Koran Belanda Het Dagblad (11/10/1948) dan Het Nieuwsblad voor Sumatra (12/10/1948)--yang mengutip Antara (10/10/1948)—menyebut Jenderal Mayor Soetopo diculik bersama perwira Angkatan Darat lain di sekitar Purwodadi.
Daerah itu jadi kacau balau gara-gara pertikaian antara tentara dan laskar kiri pendukung PKI Musso dan pendukung pemerintah. Banyak bangunan dan fasilitas publik penting dirusak. Hanya kantor perusahaan listrik dan bank rakyat saja yang terhindar dari kerusakan.
Pihak pendukung pemerintah menyebut para pemberontak itu menghambur-hamburkan uang sebesar Rp500 ribu—nominal yang besar sekali untuk ukuran zaman itu. Sementara itu, pasukan pemberontak yang satu kubu dengan Musso dikabarkan menahan setidaknya 60 orang. Koran-koran zaman itu menyebut Soetopo adalah salah satunya.
Kala itu, Soetopo sedang dalam perjalanan dinas bersama Letnan Soegeng Djarot dari satuan Polisi Militer di Yogyakarta dan Letnan Tjokrosantoso—kakak dari mantan Gubernur Jakarta Tjokropanolo.
Menurut Tjokropanolo dalam Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia (1992, hlm. 114), mereka bertiga baru saja menyelesaikan misi dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyeludupkan senjata dari Singapura ke Indonesia dengan pesawat amfibi Catalina RI-005. Posisi mereka semula di Malang dan hendak pulang ke ibu kota Yogyakarta.
Bersamaan dengan perjalanan itu, Madiun sedang kacau gara-gara konflik. Alhasil, Soetopo dan rombongannya harus mengambil rute memutar via Purwodadi. Sialnya, justru di sanalah mereka kena cegat pemberontak.
“Pak Soetopo karena berusaha untuk melarikan diri, dapat ditangkap kembali dalam perjalanan, dan harus menjalani hukuman mati sebagai hukuman, dengan terlebih dahulu menghancurkan kakinya dengan menggunakan batu kali,” tulis Tjokoropanolo dalam bukunya.
Di ambang eksekusi, Soetopo sempat terselamatkan oleh kedatangan pasukan dari Divisi Siliwangi. Mereka berhasil menghalau pemberontak dan menyelamatkan Soetopo. Meski begitu, nahas bagi Soetopo karena kakinya hancur.
Soetopo yang luka berat itu kemudian dirawat di sebuah rumah sakit di Surakarta. Lagi-lagi, dia ketiban sial di sana. Seperti diberitakan koran Belanda De Locomotief (22/03/1949), dia kemudian ditangkap pasukan Belanda saat menjalani perawatan. Bagi militer Belanda, Soetopo adalah tangkapan besar dan jelas tidak mungkin melepaskannya begitu saja karena dia seorang jenderal TNI.
Menurut Bouman, Soetopo pada akhirnya tak terselamatkan dari luka parahnya dan meninggal dunia pada 1949.
Lika-liku Soetopo
Terluka dan risiko kematian adalah hal-hal tak terhindarkan dalam kehidupan seorang tentara. Soetopo tahu benar hal itu dan sebelum insiden di Purwodadi itu pun dia pernah pula masuk rumah sakit.
Sewaktu masih berpangkatletnan dua infanteri di kesatuan Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL), Soetopo pernah mengalami kecelakaan sepeda motor bersama Letnan Dua van Poeteran. De locomotief (18/04/1932) memberitakan kecelakaan itu terjadi di daerah Salam dan kemudian dia dirawat di sebuahrumah sakit di Magelang.
Koran De Indische Courant (11/07/1930) menyebut Soetopo adalah anak dari Soemowidigdo, seorang dokter lulusan STOVIA. Dia adalah lulusan Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda. Setelah dilantik menjadi letnan dua infanteri pada Agustus 1930, Soetopo ditempatkan di Batalyon Infanteri ke-7 KNIL.
Setelah kecelakaan sepeda motor itu, seperti dicatat Bouman, Soetopo ditempatkan di Jambi dalam Batalyon Garnisun Palembang-Jambi sejak Agustus 1932. Dari Muara Tebo, Jambi, Soetopo lalu pindah tugas lagi ke Cimahi pada 1933. Namun, pada Agustus 1934, dia tiba-tiba dikabarkan mundur diri KNIL.
Rupanya dia tersandung masalah hukum. Seturut pemberitaan De Sumatra Post (14/04/1934), Soetopo diseret ke Krijgraad (Pengadilan Militer) karena didakwa telah melakukan penipuan sebesar 545 Gulden kala bertugas di Muara Tebo. Uang tersebut merupakan dana tabungan dan pemakaman prajurit bumiputra. Dia akhirnya mendapat hukuman masa pecobaan selama dua tahun.
Setelah tak di militer lagi, Soetopo bekerja di Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Liffrente Maatschappij (Nillmij)—kini menjadi perusahaan Asuransi Jiwasraya. Dia melakoni pekerjaan itu dari 1934 hingga kedatangan tentara Jepang pada 1942.
Setelah Indonesia merdeka, Soetopo ikut serta mendukung Republik Indonesia dan kembali ke kemiliteran. Dia mengawali karier militernya yang baru sebagai inspektur infanteri dan lalu ditunjuk menjadi Kepala Staf Komandemen Sumatra. Berkedudukan di Bukittinggi, Soetopo mendapat pangkat jenderal mayor.
Soetopo bekerja di bawah Panglima Komandemen Sumatra Jenderal Mayor Raden Soehardjo Hardjowardojo, bekas kapten Legiun Mangkunegaran. Seperti Soetopo, Soehardjo juga pernah punya masalah hukum di masa lalu. De Locomotief (02/02/1937) memberitakan, kala itu,Soehardjo punya masalah perdata terkait pemalsuan dengan Liem Tjien Goen.
Demi Republik, Soetopo rela menjalani misi sebagai penyelundup untuk mendapatkan dana revolusi. Koran De Locomotief (29/10/1948) menyebut Soetopo terkait dalam usaha penyelundupan opium sebanyak 90 kilogram. Penyelundupan itu berbuah dana sebesar $10 ribu yang kemudian dikirim ke Yogyakarta untuk kepentingan Republik.
Selama berdinas di Sumatra, Soetopo juga menjalani peran sebagai kepanjangan tangan dari petinggi militer pusat di Yogyakarta.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi