tirto.id - Marwan Hajiarsyad, 45 tahun, hanya bisa menatap sendu Pantai Banawa ke arah Teluk Palu--lahan tempat ia biasa bekerja. Ia dan mungkin ratusan nelayan lainnya, kesulitan mengais rejeki pasca-tsunami menyapu habis daerah Banawa, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, pada Jumat, 28 September 2018.
Tsunami sore itu, tidak hanya menghancurkan rumah mereka, tapi juga mengakibatkan puluhan kapal nelayan rusak. Akibatnya, para nelayan berpotensi kehilangan mata pencahariannya.
"Kapal-kapal yang rusak itu [diterjang tsunami] ketika sedang di bibir pantai, yang sedang melaut tidak rusak. Karena memang pusat tsunami di Donggala, ada di Kecamatan Banawa ini," kata Marwan saat saya temui di depan Pusat Koperasi Kopra Daerah (PKKD), Kamis, 11 Oktober lalu.
Sebagai koordinator nelayan di Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, apa yang dipikirkan dan dialami Marwan bisa jadi mewakili ratusan nelayan lain di daerah tersebut. Setidaknya, mereka sama-sama kehilangan mata pencahariannya.
"Gempa dan tsunami luar biasa berpengaruhnya terhadap pekerjaan kami sehari-hari sebagai nelayan, karena saat ini orang-orang nelayan seperti saya masih disibukkan dengan kerusakan rumah, kapal, dan lain sebagainya. Sehingga sekarang nelayan yang ada di Banawa ini baru ada lima persen yang sudah beraktivitas kembali," kata Marwan.
Marwan bercerita, para nelayan di Banawa bisa meraup untung hingga Rp5 juta per bulan dengan melaut setiap hari. Akan tetapi, setelah bencana tsunami menerpa mereka, Marwan pesimistis keadaan akan kembali normal dalam waktu yang cepat.
"Masih pengeluaran terus hingga sekarang. Kami rasa satu bulan setelah bencana pun tak akan bisa mencapai angka segitu [Rp5 jutaan]. Karena kerusakan rumah dan kapal masih belum memungkinkan nelayan beraktivitas lebih dulu," kata Marwan.
Marwan sudah menjadi nelayan secara turun-temurun sejak kakeknya. Ia merasa tak punya pilihan pekerjaan lain. Kendati trauma akibat gempa masih membekas, namun melaut adalah perjuangan yang mesti ia tempuh.
"Karena memang wilayah Donggala, khususnya Banawa ini, untuk menghidupkan perekonomian hanya dengan melaut sebagai nelayan. Kami masih ingin terus berjuang sebagai nelayan," kata dia optimistis.
Tsunami yang memporak-porandakan wilayah Banawa, di Kabupaten Donggala itu setidaknya menghilangkan nyawa 20 nelayan, teman-teman seprofesi Marwan.
"Sebagian meninggal ketika berada di rumah akibat reruntuhan, sebagian ketika sedang melakukan aktivitas ambil ikan dan sedang istirahat di pinggir laut," kata dia.
"Sedih kalau diingat-ingat," kata Marwan mengenang rekan-rekan profesinya itu.
Saat Para Nelayan Berharap
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Donggala, sebagian besar masyarakatnya memang masih mengandalkan sektor pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan sebagai mata pencaharian utama. Total terdapat 79.227 orang yang berprofesi di empat sektor ini, yang terdiri dari 62.785 laki-laki dan 16.442 orang perempuan.
Keluhan Marwan dan nelayan lainnya merupakan keluhan yang masuk akal. Kabupaten Donggala, dalam dua tahun terakhir, memiliki persentase penduduk miskin terbesar di Sulawesi Tengah.
Pada 2016, jumlah penduduk miskinnya mencapai 18,59 persen dari total penduduk Donggala yang mencapai 55.690 jiwa. Setahun setelahnya hanya turun sedikit menjadi 18,17 persen penduduk miskin dari total 54.440 ribu jiwa. Sementara garis kemiskinan masyarakat Kabupaten Donggala dalam dua tahun terakhir menyentuh Rp281.374 per kapita per bulan pada 2016, dan Rp291.011 per kapita per bulan pada 2017.
Marwan berkata, hingga saat ini belum ada bantuan dari pemerintah daerah untuk pembenahan rumah dan kapal yang rusak bagi para nelayan. Padahal, kata dia, hal itu menjadi salah satu kunci untuk menghidupkan kembali roda perekonomian di sektor perikanan.
"Untuk bahan-bahan pokok itu sudah. Itu pun kebanyakan dari relawan," kata Marwan mengisahkan.
Marwan berharap pemerintah segera memperkuat dan meninggikan tanggul-tanggul yang ada di laut. Hal tersebut, kata dia, agar ketika terjadi tsunami kembali, tanggul dapat memecahkan ombak tsunami.
Selain itu, kata Marwan, pemerintah diharapkan mempercepat proses rehabilitasi rumah dan kapal para nelayan karena itu menjadi sumber ekonomi warga.
"Pemerintah harus bisa memastikan bahwa nelayan dapat melaut kembali dan masyarakat yang rumahnya rusak atau hilang bisa dibangunkan rumah lagi," kata dia berharap.
Marwan bisa saja berharap proses perbaikan rumah dan kapal dipercepat. Namun, hasil rapat koordinasi penanganan darurat gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah memutuskan untuk memperpanjang masa tanggap darurat hingga 26 Oktober. Keputusan ini diambil karena masih ditemukan kendala di lokasi bencana.
"Dengan menimbang bahwa masih banyak masalah yang harus diselesaikan di lokasi, maka penanganan tanggap darurat diperpanjang 14 hari ke depan, yaitu 13-26 Oktober," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho di kantornya, Kamis (11/10/2018).
Namun, lanjut Sutopo, pencarian, penyelamatan dan evakuasi korban hanya diperpanjang satu hari, yakni hingga Jumat kemarin (12/10/2018). Kondisi medis, psikologi, sosial dan agama menjadi faktor yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam memperpanjang waktu evakuasi ini.
Berdasarkan data BNPB per 11 Oktober 2018, jumlah korban jiwa mencapai 2.073 orang meninggal dunia. Dengan rincian Kota Palu (1.663 orang), Donggala (171 orang), Sigi (223 orang), Parigi Moutong (15 orang) dan Pasangkayu (1 orang). Sedangkan pengungsi mencapai 87.725 orang.
Untuk rumah rusak ada 67.310 unit dengan rincian 65.773 unit di Kota Palu, 897 unit di Sigi, dan 680 unit di Donggala. Selain itu, 99 unit fasilitas peribadatan, 22 unit fasilitas kesehatan, dan 662 unit sekolah rusak.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz